Dulu waktu kecil, aku sering mendengar ceramah-ceramah tentang alam setelah kematian. Sehingga, pada waktu itu aku berpikir bahwa alam setelah kematian itu memang benar-benar ada. Diperparah pada waktu itu beredar buku komik, siksa kubur. Yang juga menambahkan kesan dan bayangan alam kematian itu memang nyata dan ada.
Namun, semenjak tumbuh dewasa hingga sekarang sudah memiliki keluarga: istri dan anak. Aku sudah kurang percaya akan kehidupan setelah kematian. Mungkin sudah menganggapnya sebagai mitos atau cerita bohong yang dikarang oleh tokoh-tokoh agama. Umurku sekarang tak lagi muda lagi, aku sekarang berumur 45 tahun. Dimana seharusnya aku sudah pensiun, tapi dikarenakan kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik. Maka aku paksakan terus bekerja di sebuah kantor, yang menangani jasa pinjaman uang. Tapi semenjak aku didiagnosis oleh dokter bahwa hidupku tidak lama lagi. Aku mulai terbayang lagi dan mulai terpikir lagi akan kehidupan setelah kematian. Aku merahasiakan diagnosis dokter tersebut dari semua anggota keluargaku, dan dari teman-temanku juga.
Aku tak mau membuat mereka khawatir kepada diriku, terlebih lagi aku tak mau anakku sampai putus sekolah. Hanya untuk menyembuhkan penyakit jantungku. Aku rasa itu sangat egois, jadi aku memilih untuk merahasiakannya.
Pada sore hari dihari sabtu, anak perempuan satu-satuku yang tengah menempuh pendidikan SMA tersebut. Mengajak bicara aku, dia mengatakan:
"Ayah, malam ini aku boleh keluar sama teman aku engga?" Jelasnya kepadaku.
"Memangnya temanmu itu laki-laki atau perempuan?"
"Mmm.. laki-laki yah, tapi dia orangnya baik kok yah. Jadi, Ara mohon bolehin Ara keluar malam ini aja," Jelasnya lagi sambil memohon kepadaku.
"Emangnya mau kemana, kamu keluar malam sama laki-laki?" Jawabku mencoba tenang menghadapinya.
"Mau nonton film di bioskop yah. Nontonnya juga engga bakal lama kok yah, jam sepuluh udah nyampe rumah. Ara janji gabakal telat dari jam sepuluh," Mohonya sekali lagi dibarengi dengan janji
"Sebelum ayah izinkan, ayah mau tau dulu siapa temen laki-laki kamu itu. Jadi sebelum kamu sama dia pergi, ajak dia ketemu sama ayah dulu di ruang tamu."
"Oke siap yah, tapi nanti janji ya bakal ijinin Ara keluar sebentar."
"Iya nanti kalo udah ketemu temen kamu, ayah janji bakal ijinin."Malam hari pun segera tiba, dan teman anakku pun datang. Sedangkan aku masih duduk-duduk di sofa ruang tamu, sambil membaca koran pagi tadi. "Permisi!" Terdengar suara laki-laki, datang mulai memasuki ruang tamu. Ku lirik sepintas, ternyata teman laki-laki anakku lumayan sopan dan rapih juga. Ku persilahkan dia untuk duduk di sofa. Koran yang tadi ada ditangan pun telah ku simpan.
"Jadi ada apa? Kamu mau mengajak keluar anak saya?" Tanyaku tanpa berbasa-basi
"Anu om, saya mau ngajak Ara untuk nonton di bioskop."
"Kalau mau nonton-nonton aja sih boleh-boleh saja, tapi kamu rencananya bawa anak saya sampai jam berapa?"
"Kalau boleh sih om, sampai jam 11 atau jam 10 maleman om."
"Saya sih bolehin kamu bawa keluar anak saya, tapi jangan sampe lebih dari jam 10."
"Nanti kalau lebih, saya bakal gabolehin kamu bawa anak saya keluar malem lagi," Imbuh ku.
"Saya janji om, saya janji kalau pulangnya engga lebih dari jam 10."
"Baik, saya pegang janji kamu."
"Ara! Sini Ara, temen kamu sudah dateng," aku sedikit teriak untuk memanggil anakku.
"Iya Yah," sahut anakku.
"Jadi gimana, yah?" Tanya anakku kepadaku.
"Gimana apanya?" Ku balik bertanya
"Ya jadi dibolehin engga?"
"Ayah bolehin kok, tapi syaratnya entar pulangnya enggak lebih dari jam 10 malem."
"Wah makasih Yah, Ara janji engga bakalan pulang lebih dari jam 10 malem yah." Setelah itu anakku bersalaman dan pamit kepadaku dan pada istri saya juga.Singkat cerita anakku menepati janjinya, dia pulang dengan temannya. Pada jam 10 kurang 5 menit. Kulihat ketika pulang wajah anakku terlihat sangat senang, mungkin ini untuk pertama kalinya dia mengalami yang namanya masa pubertas. Aku pun membiarkannya saja.
Sebulan kemudian, ketika aku sedang bekerja di kantor. Aku merasakan sakit yang amat luar biasa di dadaku, hingga membuat kesadaran diriku perlahan-lahan memudar. Setelah sadar, baru kusadari bahwa aku sebenarnya bukan pingsan. Melainkan sudah mati. Kulihat tubuhku berada di ranjang sebuah rumah sakit, tubuhku sudah ditutupi oleh selembar kain. Di samping tubuhku ada anakku dan juga istriku, mereka berdua mungkin sangat terpukul atas kepergian ku.
Singkat cerita tubuhku sudah selesai dimakamkan, setelah acara pemakaman selesai keluargaku: istri dan anakku. Masih merasakan suasana duka yang dalam, mungkin mereka masih merasa itu tidak mungkin. Soalnya aku tidak memberitahukan bahwa aku sedang mengidap penyakit jantung koroner, yang sudah parah. Namun, aku cukup lega juga. Karena sebelum mati aku sudah mengasuransikan sebagian gajiku untuk hari dimana kematian ku tiba. Aku pula memiliki sebuah tabungan yang sudah ku wasiatkan dalam surat wasiatku untuk ku berikan semua tabungan itu kepada anakku. Untuk dia menempuh pendidikannya. Sehingga aku mati dengan damai, mungkin.
Seminggu kemudian, setelah kematian diriku. Mungkin keluargaku masih merasakan duka, tapi mulai mengikhlaskan kepergian ku. Aku pun setelah mati, masih bisa mengetahui kegiatan orang yang masih hidup. Mungkin ini yang namanya alam setelah kematian, aku hanya bisa menonton dan menonton.
Sebulan berlalu, keluargaku mulai bisa melaksanakan aktivitas tanpa diriku. Ya walaupun istriku setiap malam masih kulihat dia masih sering menangis. Tapi sekarang dia mulai sedikit tegar, dan mulai bekerja menggantikan ku disebuah restoran cepat saji. Kulihat anakku juga sudah mulai melupakan kesedihan atas kepergian ku. Dan sekarang dia jadi sering keluar malam dengan teman laki-lakinya, mungkin karena itu juga dia bisa melupakan kematianku.
Enam bulan kemudian, Istriku menikah lagi. Dia menikah dengan salah satu pelanggan setia restoran cepat saji tempat ia bekerja. Aku pun cukup senang melihatnya, tapi anakku mungkin tak suka ibunya menikah lagi. Sehingga anakku dan istriku mulai jauh.
Setelah satu tahun kematianku, aku baru sadar. Dunia setelah kematian itu adalah dilupakan. Dilupakan oleh orang-orang yang hidup, dilupakan oleh orang-orang yang kita cintai, dan dilupakan oleh sekitar. Setelah mengalami kematian seperti ini, aku menyesal. Kenapa semasa hidup aku tidak membuat sesuatu agar namaku dikenang, agar namaku ini abadi. Namun, kebodohan ku yang tidak melakukannya adalah suatu siksaan batin menurutku.
Kata-kata pepatah itu benar. "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama." Tapi jika kita tidak mampu meninggalkan nama kita untuk dikenang, maka kita akan dilupakan. Dan penyiksaan paling berat menurutku adalah dilupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oasis Di Tengah Tandusnya Cara Berpikir [Selesai]
Short StoryAntologi cerpen, yang sarat akan kehidupan sosial. - - - - - ⚠️Setiap tokoh dan kejadian dalam cerpen ini adalah fiktif belaka.