Chapter 2 - Naive

2.1K 191 15
                                    

Hinata menghembuskan hawa panas, menimbulkan jejak-jejak asap dingin di udara, Tokyo telah memasuki bulan Desember, namun, Hinata harus menerima kenyataan bahwa ia 'dipecat' lagi, iris perak berkabut Hinata bergulir, tiap langkahnya meninggalkan bekas sepatu di tanah bersalju, mengantungi kedua tangan di saku jaket, Hinata mencari kehangatan di sana. Setiap hari, Hinata selalu menghadapi persoalan mengenai uang, ia mencari kesana-kemari demi pekerjaan, sejurus kemudian, beberapa bulan setelahnya, ia akan dipecat, hari berganti, waktu terus berputar, dengan siklus yang selalu terulang sama, pekerjaan-dipecat, pekerjaan-dipecat.

Hinata memang sudah jatuh terperosok ke dalam keterpurukkan, hidupnya melelahkan seperti tiada tujuan yang harus ia capai, terlebih ia hanyalah gadis yatim-piatu miskin, sekolahnya hanya tamat sampai SMA, Hinata tidak sanggup melanjut ke jenjang lebih tinggi, seperti perguruan negeri, kala tahu bahwa gadis itu, tidak sanggup akan biaya yang harus ia bayar, jangankan biaya per semester, pakaian yang Hinata kenakan saja merupakan pakaian 3 tahun lalu, usang, butut, dan seperti pengemis jalanan, bahkan mirip kain lap lantai. Mau bagaimana lagi, yang bisa Hinata pikirkan hanyalah kebutuhan pokok seperti makan apakah ia hari ini, masih bisakah ia menahan kelaparan lagi, atau seperti itulah.

Pintu kayu berderit, Hinata memutar knop setelah memasukkan kunci, rambutnya terhiasi butiran-butiran salju, ia melepas alas kaki, tanpa menaruh ke rak, karena ia tidak memilikinya, kemudian menengadah kala sadar bayangan seorang pria menutupi pandangannya. Mata kelam yang sama. Hinata masih belum bisa terbiasa akan hal ini. Namun, kendati demikian, sang gadis tetap menunjukkan ekspresi tanpa riak seperti halnya si pria pucat, atau, sebut saja pria bernama Sasuke.

"Aku lapar."

Dua kata, satu kalimat.

Hinata melepas jaket terhias lubang yang sudah ia tambal, menggantungnya agar bisa ia pakai esok (menghemat cucian, agar tidak perlu membayar tagihan listrik mahal-mahal), kini, terpampanglah gadis berambut indigo, dengan kaus legam berlengan panjang, ekspresi Hinata sama sekali tidak berubah, ia merentangkan tangan di udara memberi isyarat pada Sasuke seperti yang sudah gadis itu ajarkan, yah, karena pria asing itu menumpang di rumahnya, ada beberapa hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah, Hinata tersenyum tipis, rentangan tangan Hinata dibalas pelukan hangat Sasuke, Hinata mengeratkan pelukan dengan begitu rakus, memenuhi paru-paru si gadis, oleh harum alami yang menguar dari tubuh Sasuke menggunakan peralatan mandi yang sama sepertinya, seandainya saja ada kekuatan menghentikan waktu... maka Hinata berani bersumpah dalam hidup dan matinya ia rela memberikan apa pun agar bisa seperti ini selamanya, kelopak feminim itu terpejam.

Beberapa menit berlalu, Hinata mulai menengadah. "Apa... kau... mengingat siapa dirimu?" Pertanyaan sama yang selalu diajukan berulang kali. Sasuke adalah pria asing yang Hinata temukan dengan luka parah di seluruh tubuh, terutama bagian kepala, setelah pergi menuju rumah sakit, dokter mengatakan bahwa ingatan Sasuke telah hilang, ia mengalami amnesia, akibat benturan teramat keras. Hinata yang bingung harus seperti apa ia bersikap, tidak tega bila mana meninggalkanya sendirian, tidak tahu harus melakukan apa, selain membawa pria asing tersebut di gubuknya, rumah minimalis kayu miliknya.

Dan, lihatlah sekarang, Hinata menjelaskan 'sedikit' kebohongan pada Sasuke, pria itu tidak pernah memproteskan diri, ia hanya menuruti apa yang dikatakan Hinata, tanpa terlihat peduli sama sekali, hal itu merupakan pertanda bagus, Hinata bisa menerapkan hubungan mutualisme, seperti Hinata yang menginginkan pelukan hangat setiap hari (singkatnya sebuah kasih sayang sederhana), pula, Sasuke yang bisa menumpang sebentar padanya sampai ingatan pria itu pulih.

Sasuke menggeleng cuek tidak peduli, tanpa menyadari bagaimana ekspresi bahagia Hinata, mengetahui bahwa Sasuke belum mengingat kenangan masa lalunya.

Perlu diingatkan sekali lagi, Hinata berasal dari Panti Asuhan, ia terlahir yatim-piatu, di temukan di tempat pembuangan sampah oleh pengasuh gereja. Maka dari itu, kala Hinata tumbuh dewasa dan memutuskan hidup sendiri agar tidak perlu merepotkan Panti, ia membutuhkan kasih sayang seperti orang-orang kebanyakan. Hinata hidup di lingkungan anak-anak beruntung yang masih memiliki kedua orang tua lengkap, ketika pengambilan nilai, atau acara penting seperti kelulusan dan lainnya, hanya Hinata saja yang tertinggal sendirian, tanpa adanya wajah bahagia dari mereka melihat keberhasilan seorang Hinata.

Sedikit memanfaatkan 'kecelakaan' ketidaksengajaan menemukan Sasuke, Hinata memberi syarat-syarat remeh, syarat-syarat sederhana yang mudah dilakukan siapa saja, mengambil keuntungan, meski, ia harus membayar resiko besar nanti, resiko perasaannya nanti. Seperti halnya labirin, Hinata memilih terjebak di jalan buntu, melupakan keinginan untuk bengkit berdiri mencari jalan keluar, selama di tempat jalan buntu tersebut, merupakan tempat terlimpahnya sebuah kasih sayang yang telah lama dibutuhkan Hinata seorang, seumur hidup, Hinata pasti akan baik-baik saja di sana.

"Saat... nanti ingatanmu pulih, kau harus memberitahuku." Hinata berujar, mulutnya masih berisi nasi goreng yang belum tuntas betul tertelan, mereka sedang berada di atas karpet, sebab, Hinata tidak mempunyai ruang makan seperti meja dan kursi, sebelumnya si gadis, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit memasak, dengan mudah, dua piring nasi goreng telah tersedia seperti sihir.

Sasuke terdengar merengut, ia berucap tidak sabar. "Kenapa kau tidak memberi tomat?" Ia bertanya akan nasi goreng Hinata yang hanya diisi sayuran tanpa ada tomat di dalamnya, jujur saja, sayuran apa pun tidak pernah terasa enak di mulut laki-laki bermata hitam itu, selain tomat tentunya.

"Aku tidak memiliki cukup uang untuk membeli tomat tadi." Hinata berdecak, ia melanjutkan suapan keempat. "Hei." Si gadis begitu saja berubah menjadi sesosok cerewet.

Sasuke menyuapkan nasi goreng buatan Hinata ke dalam mulut, seperti biasa, meski Hinata miskin, kemampuan masaknya tidak perlu diragukan, Sasuke mendengus sinis. "Kau ingin mengusirku?"

Hinata mengerjap, sedetik setelahnya, menunjukkan ekspresi hampa. "Lebih tepatnya adalah bukan kau yang pergi, tapi..., aku yang pergi."

Dentingan sendok tak lagi terdengar, Sasuke menyorot lurus, membiarkan atensinya berpusat pada Hinata seorang. Hinata tersenyum lebar, senyum yang biasa Hinata tunjukkan kala teman-temannya bertanya akan di mana orang tua Hinata, senyum yang biasa Hinata tunjukkan kala pengasuh panti bertanya apakah ia baik-baik saja. "Aku akan pergi, ke tempat di mana aku tidak bisa melihatmu lagi." balas sang gadis menggunakan nada main-main, lalu, tertawa setelahnya.

Tujuh puluh dua hari. Mereka menghabiskan waktu bersama selama dua bulan, satu minggu, lima hari, Hinata menyukai bagaimana sesosok Sasuke berada di sisinya, memiliki seseorang yang menggantungkan diri padanya, hingga Hinata merasa dibutuhkan kehadirannya. Hinata adalah kegelapan, tiap pintu hatinya terisi kekosongan, ia merasa sepi, sebab tidak memiliki orang tua seperti orang-orang pada umumnya, tak tahu arti keluarga, kecuali, 'balas budi' terhadap pengasuh panti, untuk itu, Hinata memilih menjauhkan diri, merasa tidak pantas, setelah menyadari kelahirannya entah berasal dari wanita yang mana, apakah merupakan wanita baik-baik, atau bahkan sebalikanya? Sasuke merupakan pengecualian, ia penyejuk di antara tandusnya musim kemarau gurun pasir, setitik cahaya redup di tengah kehampaan hati seorang Hinata, sang gadis merasa terisi, senang memiliki teman, tersenyum menerima pelukan, lalu kemudian hadirlah sebuah perasaan penuh keegoisan.

Pernah mendengar nasihat, jangan pernah berbicara sesuatu hal buruk sembarangan? Sesuatu yang tidak boleh diucapkan, karena masa depan nanti, kala ucapan tersebut benar terjadi adanya, Hinata sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

...seperti saat ini...

"Hei," Suara feminim itu mengalun, Hinata mengerjap. "Kau baik-baik saja?" Dia berbicara dengan bibir merah merekah alami yang sejujurnya begitu Hinata iri-kan. "Maaf jika ini terlihat tidak sopan, aku bertanya sekali lagi," Sang gadis musim semi menunjukkan sebuah foto usang, ia menatap Hinata lekat meminta kejujuran. "...apa kau pernah melihat lelaki ini?"

Naive Selesai

SNIACTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang