Titik Terang

7.8K 1.1K 49
                                    

Hanum tak bisa melepas senyuman dari wajahnya, akhirnya sang adik mau duduk diam dan mendengarnya.
Mereka duduk di tepi kolam renang dengan kedua kaki yang menggantung di dalam kolam berukuran besar itu.

"Kakak beneran udah cerai dari Fatir?" tanya Zara sambil melirik Hanum yang justru terkekeh.

"Benar. Sebulan lalu udah ketuk palu."

"Kenapa?"

"Apa menurutmu menikah dengan seorang pengkhianat bisa bahagia? Dia pernah berkhianat padamu, tentu begitu juga saat dengan kakak. Mungkin ini karma bagi kakak yang pernah melukaimu." Hanum menyibak rambut-rambutnya yang menjuntai menutupi pipinya ke belakang telinganya. Mengayunkan kedua kakinya di dalam air, lalu mendesah panjang. "Selain hobinya yang meniduri para wanita, dia masih sangat terobsesi padamu."

Saat itu juga Zara menoleh pada sang kakak. Ada kesedihan di wajah yang mirip dengan foto mendiang mamanya.

"Dia masih menginginkanmu. Tapi dia bukan pria yang bisa setia pada satu wanita. Sudah seperti itu sejak masih menjalin hubungan denganmu dulu, bahkan kakak pun tergoda pada rayuannya."

Zara tertegun, mencerna informasi yang Hanum berikan. Tapi Fatir tak terlihat seperti itu. Pikirnya.

"Kaget ya?" lagi-lagi Hanum tersenyum. "Kali ini kamu harus percaya kakak. Aku minta maaf untuk semua air matamu yang tumpah karena perbuatanku. Tapi andai kakak tak sejahat itu, kamu tak akan menikah dengan pria itu kan?" Hanum tertawa sumbang akibat candaannya yang sama sekali tidak lucu. Lalu sekali lagi dia mengucap maaf kepada adiknya.

"Sudahlah, jangan dibahas lagi. Lagian kakak udah kena batunya juga kan?" Balas Zara.

Hanum tertawa, "Meski terlambat, selamat atas pernikahanmu adikku, selamat juga udah mau jadi ibu, teruslah sehat. Zidni akan membahagiakanmu. Dia sudah menyukaimu sejak lama."

"Eh? Maksudnya?"

"Tak akan aku ceritakan apa yang aku tahu sejak dulu. Nanti kamu bisa besar kepala!" Hanum berdiri lalu meninggalkan Zara yang kesal sendirian di tempatnya.

"Lo!! Tetap saja ngeselin!" Teriak Zara yang justru dibalas pekikan tawa dari kejauhan oleh Hanum yang mulai masuk ke dalam rumah.

"Nak, doain ayahmu. Semoga kakek bisa membantunya melewati badai ini," kata Zara para perutnya yang rata.

Nampaknya wanita yang gamisnya sudah basah di bagian bawah itu masih enggan beranjak dari kolam nan luas itu, meski matahari mulai meninggi dan membuat air kolam sedikit menyilaukan akibat pancaran sinar mentari.

"Mbak Zara!!" Lengkingan suara dari arah belakang. Merasa namanya di sebut dengan begitu tak merdunya oleh seseorang yang dia kenal, Zara menoleh lalu tersenyum.

"Ngapain tuh orang ke sini? Ngajak ghibah nih pasti!" Gumam Zara sambil menunggu wanita tambun yang berstatus tetangganya berjalan setengah berlari ke arahnya, Bu Derry. Namun kali ini dia tak sendiri, Chacha ikut bersamanya. "Hai Bu! Apa kabar? Kok-- di sini?" Tanya Zara dengan senyum tulusnya.

"Mama khawatir sama mbak Zara, sampai maksa Chacha buat nganter nyari alamat Mbak ke sini," jawab gadis berbadan tinggi berisi itu. "Kolamnya luas banget! Boleh berenang?"

"Boleh. Silahkan Cha!"

Bu Derry mencubit putrinya, "jangan malu-maluin mama!" Dan gadis itu hanya bisa meringis menahan sakit.
Seolah abai pada rasa sakit sang putri, Bu Derry lalu fokus pada Sang Tuan Rumah. "Mbak Zara nggak papa?"

Zara tersenyum dan mengangguk, tanda dia memang baik-baik saja.

"Gosip itu? Apa benar?"

"Apa yang ibu dengar di luar sana?"

Zidni Dan Zara  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang