Zara Untuk Zidni

8K 1K 103
                                    

Zidni sedikit iri dengan kucing gendut berwarna abu-abu gelap yang kini nampak nyaman tidur di pangkuan Zara. Istrinya benar-benar memanjakan Si Abu, bahkan kucing itu kini sudah ikut tinggal di istana Sultan.

Peliharaannya sedang dielus manja, sedangkan dirinya sedang memisahkan irisan daun bawang yang dari nasi goreng yang akan Zara santap.

Wanita hamil itu mengerjainya lagi, "Bang, Zara mau nasi goreng dulu ya sebelum ke Cantika. Tapi buatan abang sendiri, dan kasih daun bawang yang banyak."

Mudah saja bukan, setengah jam yang lalu itulah yang istrinya minta. Tapi, saat nasi gorengnya jadi, "Zara mual lihat daun bawangnya, abang pisahin ya. Jangan sampai tertinggal satu pun!"

Alhamdulillah, stok sabar yang dimiliki pria itu jangan ditanya, masih luas apalagi buat Sang Ratu.

"Abu, nanti daun bawangnya kamu yang makan ya?" Kata Zidni sambil melirik kucing yang terpejam sambil menikmati usapan Zara di bulu halusnya. "Jadilah anak berbakti!" Kata Zidni.

Zara terkikik geli, "Abu kan pintar ya Bu? Tau dong kalo daun bawang itu adalah kesukaan ayahnya, nanti ayah yang harus makan!"

"Zara, terlalu memanjakan Abu. Biarin dia sesekali makan sayur, jangan daging mulu. Lihat badannya, makin gendut aja!" Berbalas canda dengan Zara akan selalu menyenangkan. Apalagi pasti istrinya itu tak kuat menahan tawanya.

"Abu nggak gendut, ayah. Tapi gemoyyy!" Zara tertawa.

Zidni sudah selesai dengan pemisahan yang dia lakukan, lalu membawa sepiring nasi berwarna kecoklatan itu ke depan istrinya.

"Abu ikut ayah, bunda mau cuci tangan. Biar nggak telat nanti, kami mau lihat adek kamu." Abu dibawa menjauh, menuju arah kolam renang, di sanalah kandang besarnya Zidni letakkan. "Zara cuci tangan!"

"Kok Zara?"

Zidni berhenti dan memutar badannya, "kan mau makan?"

"Abang yang cuci tangan! Kan mau suapin Zara?"

Pria itu tersenyum, "baiklah, nanti disuapin. Abang taruh Abu dulu. Tapi Zara tetap harus cuci tangan." Istrinya mengangguk lalu bangkit dari kursinya.

Lima menit kemudian, Zidni sudah kembali lalu menuju wastafel.

"Bang, apa benar keluarga Ustadz Yusuf pindah?"

Zidni mematikan kran, lalu duduk di kursi kosong sebelah istrinya. "Iya. Zara tahu dari siapa?"

"Bu Derry nelfon Zara."

"Baca doa dulu!" Zidni mengusap perut istrinya, sudah sedikit membulat karena sudah menginjak bulan ketiga. Lalu setelah istrinya selesai dengan ritual sebelum makannya, sendok berisi nasi dia ulurkan.

"Makan dengan tenang, kalo Zara mau bahas ini lebih jauh. Selesain dulu makannya."

Zara sudah mengunyah nasinya dengan lahap, dan hanya acungan jempol yang dia berikan sebagai jawabannya.

Zidni tatap lekat wajah cantik yang sekarang sedikit chuby itu, menyimpannya lekat-lekat dalam ingatannya. Dua hari lagi dia berangkat ke negeri terjajah yang menanti kehadirannya.

Dia tak sedih akan tugasnya sebagai seorang aktivis kemanusiaan meski sudah banyak hal yang dia korbankan. Termasuk dulu ketika ibunya meninggal, dia tak bisa hadir di acara pemakamannya. Sekarang pun demikian, anaknya sedang tumbuh di rahim istrinya namun dia harus absen selama dua bulan untuk mendampingi tumbuh kembang sang buah hati.

Rasanya sudah rindu.

***
"Ibu dan anaknya semua baik. Keduanya sehat." Kata dokter Cantika.

Zara dan Zidni pun kompak mengucap syukur.

Zidni Dan Zara  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang