Akhirnya!

8.5K 1.1K 117
                                    

"Beneran nggak mau ikut?" Tanya Zidni pada wanita yang tengah menggenggam tangannya dan mereka sedang berdiri di depan cermin. Lucu, mereka bicara pada bayangan yang ada di depan mereka.

"Iya, kayaknya omongan Bu Derry ada benarnya. Ada hal yang lebih baik kita nggak lihat langsung. Takut efeknya buruk. Zara belum mau ketemu Fatir dan Sarah. Keduanya pernah bikin aku nangis. Zara percaya sama abang aja!"

"Doain abang!"

"Hmm," Zara memeluk suaminya. "Pelukan abang emang bener-bener nyaman. Pelukan yang mungkin didambakan oleh Sarah, Aisyah atau wanita lain. Apa mereka pernah abang peluk juga?" Bernada sewot pada kalimat Zara yang terakhir.

"Kamu wanita pertama yang abang peluk selain ibu. Jadi jangan cemburu gitu," Zidni terkekeh.

Zara makin posesif memeluk suaminya, "pria ini kenapa senyaman ini pelukannya? Pria yang pernah aku tolak di lapangan sekolah waktu itu. Beneran nggak sih kalian orang yang sama?"

Kali ini Zidni tergelak, "emang kamu berharap Bu Aminah punya anak kembar? Dan aku kembarannya gitu?"

"Tidakkk!! Samain aja!"

"Ya kan emang sama. Zidni yang waktu itu, sama dengan Zidni yang ini. Waktu itu dan sekarang, pria itu masih mencintai wanita yang sama, dan sampai kapan pun. Insyaa allah, doa abang sampai surga juga begitu."

"Melting kan jadinya? Ayah kamu dek... sejak kapan jago gombal? Oh ya, kenapa Kak Hanum tahu kalo abang suka Zara sejak lama? Tapi dianya nggak mau ngomong! Kesel deh! Abang aja yang ngomong coba!"

"Nggak usah aja ya? Abang pasti udah ditungguin ayah, ayo keluar! Pak Menteri juga pasti udah nunggu." Kilah Zidni agar bisa menghindari pertanyaan itu.

Zara memicing, "kenapa sih?"

"Karena abang udah ditungguin."

"Ada yang abang sembunyiin ya?"

Tok tok tok

"Kan? Abang udah ditungguin," meski istrinya kesal, Zidni tak berniat mengatakan yang ingin istrinya tahu. Menggandeng wanita itu lalu membuka pintu, ada Hanum di sana.

"Dipanggil ayah," kata wanita itu.

Zidni mengangguk, lalu menitipkan istrinya itu padanya.

"Dia nggak ikut?" Tanya Hanum sedikit tidak percaya.

"Nggak. Dan nggak mau turun juga."  Zara yang menjawab. "Abang, jangan lama-lama ya perginya!"

"Iya. Abang pergi ya, jangan berantem sama Kak Hanum. Assalamu'alaikum." Zidni seharian ini sudah beberapa kali memergoki kakak beradik itu meributkan hal yang bahkan tidak penting sama sekali.

"Tenang aja! Zara aman sama aku." Kata Hanum tulus, meski tatapan tak percaya dari adiknya baru saja dia lihat.

***

Sarah berkali-kali mematut dirinya di kaca. Sesekali wanita kurus itu tersenyum saat dia rasa penampilannya sempurna. Inilah hari terbaiknya, hari yang lama dia damba.

Entah apa yang terlintas di pikirannya, wanita itu tiba-tiba saja tersenyum lebar.

"Sarah!" Sang ibu memanggilnya dari luar kamarnya.

"Iya bu, masuk aja! Pintunya nggak Sarah kunci kok."

Di luar kebiasaannya, itulah yang mungkin sedang istri Ustadz Yusuf itu pikirkan, karena putrinya selalu mengunci pintu kamarnya akhir-akhir ini.

"Ibu? Apa aku terlihat cantik?" Sarah mengembangkan gamis lebarnya lalu sedikit memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan di hadapan ibunya.

"Cantik." Sang Ibu sedikit cemas, kenapa putrinya tak terlihat bersedih sama sekali. Meski malam ini dia dilamar, tapi prosesnya menuju ke sana cukup menyakitkan bukan? Bahkan dalam beberapa hari ini, Sarah terlihat frustasi. "Kamu baik-baik saja, sayang?"

Zidni Dan Zara  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang