Senja

7.1K 1K 85
                                    

Wajah tampannya tertempel beberapa plester untuk menutupi luka gores ringan di sana. Namun kaki kanannya harus mengalami retak tulang dan mengakibatkan dia berjalan dengan alat bantu berwujud tongkat penyangga.

Hampir 24 jam terjebak dalam reruntuhan, Zidni tak pernah menyesali pekerjaannya sebagai aktivis kemanusiaan. Selalu ada konsekuensi dalam setiap pilihan hidup yang ambilnya.

Termasuk keberadaannya kini, berjalan tertatih menyusuri lorong rumah sakit dengan hati berantakan. Sesekali tangannya menghapus tetes demi tetes air di pipinya. Bukan karena luka pada tubuhnya. Dia tahu luka-luka itu akan sembuh seiring waktu berjalan. Tapi lebih kepada hatinya yang nyaris tak bisa dia pertahankan agar tetap utuh di dalam rongga dadanya.

Zaranya tak baik-baik saja.

Kabar yang datang saat seseorang menjemputnya di rumah sakit Indonesia yang berada di Palestina. Dia diminta pulang ke tanah airnya.

"Tuan Sultan memerintahkan saya untuk membawa Anda pulang ke Indonesia segera."

Lukanya sudah dibalut dan diobati,  tapi pikirannya liar tak terkendali. Saat orang itu berkata, "istri Anda masuk rumah sakit."

Iya, dan di sinilah pria itu sekarang.  Mengayun penyangga tubuhnya itu selangkah demi selangkah dengan rasa perih di ulu hati. Sultan menjemputnya di bandara tadi, dengan sebuah pelukan hangat dan rasa syukur yang bertubi-tubi.

"Zara kenapa ayah?" Kecemasan yang tak bisa dibendung lagi. Belasan jam di dalam pesawat, pertanyaan itulah yang terus terngiang dan segera ingin tahu apa jawabnya.

Namun saat mertuanya menjawab, justru rasa sakit baru menyerang tepat di dadanya. Bagai terhimpit sesuatu hingga hancur.

"Zara kehilangan bayinya."

Saat itulah, meriam seperti meledak di kepalanya hingga fungsi organ tubuhnya kehilangan kemampuannya, Zidni limbung dan hampir jatuh andai Sultan tak menangkapnya. Rasanya tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan istrinya saat ini. Jika dia hancur lalu Zara bagaimana?

Buah hati yang teramat wanita itu damba, harus diikhlaskan pergi karena ternyata belum rejeki.

Zidni berhenti di depan pintu bercat putih, kata Sultan, Zara dirawat di paviliun ini. Menyiapkan hati rasanya tidak cukup karena dia pasti akan melihat air mata di dalam sana.

Ini lebih menakutkan dari melihat rudal yang beterbangan di langit Gaza waktu itu.

Menarik nafas dalam sembari berdoa agar Allah kuatkan, lalu menghapus sisa jejak air mata. Gemetar menarik handle pintu lalu mendorongnya. Kakinya yang terluka mulai melangkah dengan detak jantung yang sejak tadi tak mau perlahan.

Zara, abang pulang.

***

Tak ada yang bisa Zara lakukan untuk menghentikan tangisnya. Air mata itu seolah tak ada habisnya bermuara.

Dia mengikhlaskannya, sungguh. Tapi matanya berkhianat dan tak mau berhenti menangis. Seolah dia perlu seseorang untuk membantu menghapusnya.

Derap langkah yang terdengar aneh di telinganya, menjadi fokusnya kini. Wanita itu sedang setengah duduk di tengah ranjang VVIP yang tak terasa nyaman baginya. Dia tunggu, kiranya itu langkah siapa? Karena berbeda dari derap langkah pada umumnya.

Hingga tampaklah sepasang kaki dengan sebuah tongkat yang berhenti melangkah.

Saat dia dapati siapa yang datang untuknya, tangisnya pecah dan kencang. Lebih emosional dari sebelumnya.

"A- abang!" Zara merentangkan kedua tangannya di atas ranjang itu, karena untuk berlari menyongsong pria itu tak mungkin rasanya. Dalam luapan air matanya dia ingin dipeluk oleh pria itu. Segera. Saat ini juga.

Zidni Dan Zara  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang