Limited Edition

10.3K 1.3K 46
                                    

Pisau di tangan dan air mata mengalir, meski sudah menahan sekuat tenaga tapi tetap semakin pedih dan mata semakin basah. Hingga tangan tak tahan untuk menyeka air mata itu tapi justru pedihnya semakin menjadi-jadi.

"Zara?! Kenapa nangis?" Tanya Zidni dengan raut wajah cemas. Pria itu baru saja pulang kantor, "apa ada yang sakit?"

Istrinya menggeleng, dan matanya memerah. "Ini nih! Tiap Iris daun bawang kok aku nangis ya?"

Zidni terkekeh lalu mengusap mata istrinya dengan sapu tangannya. Dia perhatikan di meja dapur tempat istrinya berkutat, ada tempe dan adonan tepung. Dia tebak Zara berniat membuat mendoan tempe, makanan favorit pria itu. "Aku bantuin basuh sini!"

Wanita itu menurut dan berjalan mendongak, dengan lembut Zidni membasuh mata istrinya yang menunduk di atas wastaufel.

"Abang pulang telat."

"Ke masjid dulu tadi, sholat isya sekalian. Biar aku pulang bawa aroma masjid, bukan aroma kantor."

Zara mengernyit, "gitu ya?" meski agak bingung tapi Zara tersenyum saja. "Ya udah, abang mandi! Abis itu kita makan. Semoga kali ini, nggak asin lagi kayak kemarin."

Zara sebesarnya kasihan, suaminya itu memakan apapun hasil kegiatannya yang mengacaukan dapur. Mau bagaimana pun bentuk dan rasanya, Zidni tetap melahapnya sampai tandas.

***
"Gimana pengajian di rumah bu Ida tadi? Nggak dianehin kayak senam kemarin itu kan?" tanya Zidni pada Zara yang sedang mencuci piring bekas mereka makan tadi. Pengajian yang semula dijadwalkan di masjid, pindah ke rumah tetangga yang mengadakan syukuran naik pangkat suaminya, merangkap jamuan makan sekalian.

"Nggak. Tadi Zara duduk paling depan, sengaja biar nggak diajak rumpi atau ditanya-tanya. Pulangnya bareng bu Salamah yang tinggal di rumah ujung gang," wanita itu melap tangannya setelah menaruh piring di rak piring basah. Kemudian duduk di sebelah suaminya. "Dia ngundang datang ke rumahnya besok. Datang nggak ya?"

"Acara apa?" Zidni meraih tangan Zara yang terbebas di atas meja. Lalu mengecup dan mengusapnya. Hal itu sering sekali Zidni lakukan usai istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga, meski sudah tidak bertanya capek ya? Mau pake jasa ART nggak? Tawaran yang langsung ditolak oleh istrinya, juga  Zidni dilarang bertanya lagi soal rasa capek atas apapun.

"Empat bulanan kehamilan anaknya."

"Kalo nggak nyaman, abang minta jangan memaksakan diri. Perlahan saja. Abang nggak mau kalo istriku tiba-tiba sakit karena terbebani hal ternyata kamu tidak suka."

Zara tertawa karena Zidni wajahnya berekspresi lucu, "Zara juga manusia abang, bukan bidadari. Jadi tak akan apa-apa karena kamu satu species."

"Kamu bidadari abang yang---"

"Miauw.. miauw.." hewan berkaki empat berbulu abu-abu gelap menginterupsi acara gombalan Zidni yang baru saja akan digelar. Mengusapkan badannya yang penuh bulu itu pada kaki Zara seakan sedang merayu agar dirinya diperhatikan.

"Anak bandel, nggak lihat apa ayah lagi usaha ngerayu bunda?" Zara tertawa lalu mengangkat hewan yang kini jadi kesayangannya itu ke atas pangkuannya.

Mengelus bulu lembut itu perlahan hingga kucing gembul itu perlahan terpejam, "manja banget sih, pengen dipangku ya?"

Zidni mengamati wajah istrinya yang tengah tersenyum sambil terus mengusap bulu halus milik Abu yang telah terpejam. Pikirannya pun melayang pada sosok Zara pada awal pernikahan mereka. Seperti dua orang yang berbeda saja rasanya. Meski pernikahan mereka sampai sekarang juga masih diwarnai perdebatan kecil atau wajah judes Zara yang sesekali masih Zidni pandang dengan gemas.

Zidni Dan Zara  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang