Hari ini seperti hari kemarin, Sabrina diantar oleh Destan ke sekolah tempat dia mengajar. Kali ini Sabrina langsung menyetujui Destan mengantarnya karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan pada cowok itu.
Di dalam mobil Sabrina mulai membuka percakapan.
"Destan, kamu tahu soal perjodohan kita?" tanya Sabrina sedikit canggung.
Destan langsung menjawab sambil fokus menyetir mobil, "Tahu."
"Hah, kamu udah tahu? Sejak kapan kok, kamu gak ngasih tahu aku, sih?"
"Setelah pertemuan pertama kita di restoran malam itu. Aku kira kamu sudah tahu."
Sabrina mendengkus sebal. "Dan kamu mau?"
"Tentu, tapi kalau kamu juga setuju."
"Kenapa? Masih banyak perempuan di luaran sana. Oh, pasti kamu tidak laku, ya."
Mata Destan langsung membeliak dia menoleh pada gadis berambut hitam curly gantung di sampingnya. "Heh, jangan sembarangan kamu! Aku menerima perjodohan ini karena aku hanya mau membahagiakan bunda saja. Bunda mau kamu jadi menantunya karena dia percaya kamu akan menjadi istri yang baik. Tetapi, kukira tidak kalau kamu terpaksa."
"Tapi, kamu 'kan sudah tahu aku sudah punya pacar Destan."
"Ya, aku tahu. Tapi, kalau takdir lebih setuju kamu denganku pacarmu bisa apa?" Destan tersenyum miring.
"Ih." Sabrina mendengkus sebal.
•••••
Sabrina terlihat tengah sibuk mengajar di kelas enam. Sebenarnya Sabrina itu guru kelas satu, tapi karena guru kelas enam sedang tidak ada jadi dia yang menggantikannya untuk sementara.
Sabrina membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya lalu kembali memeriksa PR murid-muridnya yang kemarin dia beri sembari mengawasi siswa-siswi kelas 6-A yang tengah mengerjakan ulangan harian.
Tiba-tiba dia melihat ada yang melemparkan sebuah kertas yang sudah diremas ke bangku paling depan yang sejajar dengan bangku guru. Sabrina pun bangkit lalu mengambil kertas tersebut dan seorang siswa pun langsung mengaduh sembari menepuk jidatnya dengan suara pelan.
"Perhatikan dulu ke sini semuanya!" titah Sabrina membuat atensi siswa-siswi yang tadinya tengah fokus mengerjakan ulangan langsung tertuju pada dia.
"Siapa yang melempar kertas ini?" tanya dia setelah membuka kertas tersebut yang isinya adalah sebuah pertanyaan:
"Nomor 1 sampai 20 apa isinya woy?"
Hening. Tidak ada yang mau jujur. Sabrina pun menghela napasnya sambil mengedarkan pandangannya.
"Ibu sebenarnya tahu siapa yang melempar kertas ini, tapi ibu ingin mengetes kejujuran kalian. Jadi, lebih baik kalian jujur saja. Siapa yang melempar kertas ini?" tegas Sabrina membuat siswa-siswi kelas 6-A sedikit takut.
"Sa-saya, Bu." Seorang siswa yang duduk di bangku paling belakang mengangkat tangannya sembari menunduk takut. "Maaf, saya semalam gak sempet belajar karena ketiduran."
Sabrina menatap salah satu siswanya itu lalu menghembuskan napas kasar. "Ya sudah, ibu menghargai kejujuran kamu. Tapi, ingat ya anak-anak mencontek itu adalah perbuatan yang salah. Walaupun di mata manusia zaman sekarang nilai lebih dihargai dibanding kejujuran."
"Soal belajar, belajar harusnya bukan saat akan ada ujian saja, tapi setiap hari minimal 10 menit. Kita itu harus giat belajar sejak dini supaya tidak menyesal dikemudian hari, mengerti?"
"Mengerti, Bu," sahut siswa-siswi di kelas itu.
"Ya sudah, lanjutkan ulangannya!" Semua siswa-siswi langsung mengikuti perintah Sabrina. "Jangan ada yang mencontek lagi. Lebih baik nilai kalian kecil karena kerja keras kalian sendiri dibanding besar, tapi hasil mencontek. Itu sama saja nol! Karena tujuan dari ulangan harian ini adalah untuk menguji kemampuan kalian dalam menguasai materi yang sudah dipelajari sebelumnya."
Sabrina kembali duduk di kursinya dan melanjutkan tugasnya tadi. Dia menoleh ke ambang pintu terlihat ada Destan di sana. Sabrina pun langsung mengernyit.
"Anak-anak ibu keluar dulu sebentar jangan ada menyontek apalagi sampai ribut!" Dia kembali bangkit dari kursinya lalu menghampiri Destan.
"Sejak kapan kamu berdiri di ambang pintu tadi?" tanya Sabrina setelah berada di depan kelas 3-A, tidak terlalu jauh dari kelas 6-A.
"Sekitar 15 menit yang lalu," jawab Destan santai dengan kedua tangan dimasukan ke dalam kantong celana.
"Apa yang kamu lakukan tadi itu tidak sopan!" geram Sabrina.
"Aku hanya melihat kamu sedang mengajar."
"Ya, tapi tanpa seijinku!"
"Jika kamu memang merasa tidak nyaman aku minta maaf."
Sabrina mendengkus sambil melipat kedua tangannya di dada dan buang muka.
"Kalau begitu ijinkan aku mengagumimu!" pinta Destan membuat mata Sabrina langsung membeliak dan dia langsung menoleh pada cowok gila di depannya itu.
"Untuk apa kamu minta ijin dulu?" tanya Sabrina ketus. Entahlah biasanya Sabrina selalu ramah pada orang, tapi di depan Destan Sabrina jadi ketus seperti itu.
"Takut dibilang tidak sopan lagi."
Sabrina memutar kedua bola matanya malas. "Terserah." Lalu, dia pun memutar tumitnya dan pergi meninggalkan Destan untuk kembali ke kelas.
"Galak, macam semut," gumam Destan kala memandangi Sabrina yang semakin menjauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinceritylove
RomanceKalian tahu 'kan susahnya menulis cerita? Jadi, cerita ini untuk dibaca oleh kalian bukan ditulis ulang. Ingat, memplagiat sama saja dengan mencuri! Sudahi kesedihanmu, mari baca cerita ini bersamaku! ••••• "Kenapa kamu masih di sini? Aku sudah tid...