[ 8 ] Prihal Mengobati Luka

35 1 0
                                    

Sabrina melangkah menelusuri koridor sekolah dengan kaki yang masih sedikit pincang, tapi sudah lumayan baikan. Palingan besok juga sudah bisa kembali berjalan seperti biasa.

Di tengah koridor dia dicegat oleh Pak Wawan-rekan gurunya.

"Assalammualaikum. Selamat pagi, Bu Sabrina!" sapa lelaki berumur sekitar 35 tahunan itu. Umurnya memang sudah kepala tiga, tapi kabarnya dia masih juga belum menikah.

"Walaikumsalam. Pagi juga, Pak!" Sabrina tersenyum ramah membuat jantung Pak Wawan berdetak lebih cepat dari biasanya. Guru-guru lain memang sudah pada curiga kalau Pak Wawan itu sebenarnya menyukai Sabrina.

"Mmm, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sabrina karena melihat Pak Wawan hanya senyum-senyum saja.

Akhirnya Pak Wawan tersadar dari lamunannya. "Oh, tidak, Bu. Saya hanya mau memberikan ini pada ibu ...." Pak Wawan memberikan sebuah paper bag berwarna biru muda pada Sabrina. " Itu oleh-oleh khas Garut, Bu. Saya 'kan baru pulang dari sana kemarin."

"Oh, kalau gitu terima kasih, Pak. Padahal tidak usah repot-repot," ucap Sabrina setelah menerima paper bag tersebut.

"Tidak repot kok, Bu. Justru saya malah senang." Pak Wawan tersenyum.

Setelah itu Sabrina pun pamit untuk melanjutkan perjalanannya menuju taman. Hari ini dia memang datang lebih pagi dari biasanya. Dia kira dengan datang lebih pagi Destan akan telat menjemputnya, tapi ternyata cowok itu sudah lebih dulu menunggu dia di depan rumah. Sungguh menyebalkan karena Sabrina tidak bisa menolak gara-gara ada ibunya.

"Itu siapa? Pengagummu juga?" tanya Destan yang tiba-tiba berjalan menyamai langkah Sabrina hingga membuat Sabrina sempat terkejut dan memukul pundak cowok itu. Sepertinya tadi Destan menguping.

"Bukan. Dia hanya rekanku sebagai guru di sini," jawab Sabrina ketus.

"Huh, sepertinya aku mempunyai saingan baru, nih," kata Destan membuat Sabrina langsung menaikan sebelah alisnya lalu menggeleng dan memutar bola matanya malas.

Tiba-tiba ada seorang siswa yang tengah bermain kejar-kejaran dengan temannya sampai tanpa sengaja menyenggol Sabrina hingga membuat gadis itu jadi oleng dan hampir saja terjatuh di lantai untung dengan sigap Destan langsung menangkapnya. Mereka pun sempat bertatapan.

"Cie, cie, cie, Bu Sabrina!" goda siswa-siswi yang melihat kejadian itu.

Sabrina beristigfar sambil kembali menegakkan tubuhnya dan mendorong Destan. Rona dipipi Sabrina terlihat memerah karena menahan malu.

"Kamu ini apa-apaan sih, malu tahu dilihatin anak-anak!" gerutu Sabrina.

"Ya maaf, habisnya tadi aku hanya refleks saja. Karena kalau tidak kamu bisa jatuh tadi. Lebih malu lagi, 'kan? Harusnya kamu mengucapkan terima kasih bukan marah-marah!"

"Aku bisa ditegur sama kepala sekolah kalau sampai ada yang melaporkan kejadian barusan!" Sabrina menghembuskan napas gusar.

"Lah, ini 'kan sekolah milik almarhum papa kamu." Destan mengerutkan keningnya.

"Iya, ini memang sekolah milik keluarga aku, tapi bukan berarti aku bisa seenaknya. Aku harus tetap profesional, Destan."

"Ya sudah sekali lagi aku minta maaf kalau aku sudah lancang tadi. Nanti kalau kamu dipanggil sama kelapa sekolah jelasin aja apa yang sebenarnya terjadi. Kalau itu memang bukan sebuah kesengajaan."

"Oke. Lebih baik sekarang kamu pulang aja deh, ngapain sih, masih di sini? Meresahkan!" Sabrina melipat kedua tangannya di dada lalu membuang tatapan dia dari Destan.

"Hmmm, emangnya tidak boleh, ya?" tanya Destan dengan tampang polosnya.

"Ya enggak, lah. Kamu ini siapa? Tidak punya kerjaan lain, ya? Kamu pengangguran yang masih minta uang sama orang tua, 'kan? Dasar, beban!" cerocos Sabrina lalu kembali berjalan meninggalkan Destan.

"Pedes, tapi suka," gumam Destan sambil tersenyum memandangi Sabrina dari belakang.

Namun, tiba-tiba siswa yang sempat tadi menyenggol Sabrina terjatuh saat bermain kejar-kejaran hingga menangis sesenggukan. Sabrina panik dia pun segera menghampiri anak itu begitu pun Destan yang tadi belum beranjak dari tempatnya.

"Ya ampun darahnya banyak banget." Sabrina semakin panik ketika melihat darah yang keluar dari lutut siswa yang di seragamnya terpasang nama 'Adijaya' dia siswa kelas 4-B.

"Tenang saja, lebih baik kamu ambil kotak P3K sekarang, Sab!" titah Destan terlihat sangat tenang.

Beberapa murid-murid mulai berkerumun untuk melihat apa yang terjadi. Namun, dengan tegas Sabrina menyuruh mereka untuk masuk ke kelas saja supaya suasana tidak terlalu menegangkan.

Setelah Sabrina mengambil kotak P3K Destan langsung mengobati luka Adi dengan telaten seperti sewaktu mengobati kaki Sabrina yang keseleo.

"Jangan nangis ya, Adi, tahan sedikit! Kamu 'kan anak yang kuat," ucap Sabrina berusaha untuk tetap membuat Adi tenang dan berhenti menangis. Dia mengusap kepala Adi lembut membuat Adi pun mulai menghentikan tangisannya.

Tanpa disadari Sabrina sedikit tersenyum melihat Destan sangat telaten sekali mengobati Adi.

"Sudah selesai," ucap Destan lalu tersenyum membuat Sabrina tersadar dan segera membuang wajahnya dari cowok itu. "Kamu udah bisa main lagi! Lukanya tidak dalam, kok. Nanti bilang sama mama kamu supaya perbannya diganti ya, biar gak infeksi!"

"Tapi, Adi udah gak punya mama lagi. Kata ayah, mama udah di surga," sahut Adi membuat suasana menjadi sendu.

"Oh, maaf, Kak Destan gak tahu. Ya sudah, bilang aja ke ayah kamu atau siapa aja deh, terserah kamu supaya perbannya di ganti, ya!" Destan jadi merasa tidak enak sekaligus sedih mendengar Adi ternyata sudah tidak memiliki ibu.

Adi mengangguk.

"Pinter." Destan mengacak rambut Adi. "Sekarang sana main lagi sama temen-temen kamu, tapi lebih hati-hati, ya!"

Adi kembali mengangguk. "Makasih ya, Bu Sabrina, Kak Destan."

"Sama-sama," ucap Sabrina dan Destan bersamaan membuat mereka sempat saling menatap satu sama lain. Lalu, Sabrina pun membantu Adi untuk berdiri kembali.

"Kok, kamu bisa pinter banget sih, ngobatin luka gitu? Kayak emang udah ahlinya," tanya Sabrina penasaran sekaligus mencurigai sesuatu.

"Oh, aku sempat masuk organisasi PMR waktu masih sekolah jadi bisa dikit-dikit, lah," jawab Destan santai membuat Sabrina yakin kalau kecurigaannya itu salah.

Bel masuk berdering. Sabrina pun pamit pada Destan untuk masuk ke kelas dan mengajar.

SincerityloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang