p r o l o g

38 6 1
                                    

❝Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❝Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.❞
- Mahatma Gandhi

     AKU tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     AKU tersenyum. Ku pandang seorang pria di atas kursi roda. Pria itu tampak bahagia hanya dengan melihat langit senja. Lesung pipi dan semburat kebahagiaan menggambarkan betapa bahagianya pria itu.

     Andai peristiwa itu tidak terjadi, pasti pria itu menjadi manusia paling bahagia di bumi ini.

     Andai... iya, itu semua hanya pengandaian.

     Kehadiran pria itu bagaikan keajaiban bagiku. Karena dia, sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin dan nyata.

     “Satu hal yang mau aku lakuin sebelum mata ini terpejam,” kata pria itu. Ia memberi jeda sesaat. “Melukis jingga,” lanjut pria itu masih memandang langit senja.

     “Hah? Jingga? Warna Jingga?,” jawabku.

     Lingga tertawa kecil. Lesung pipinya tampak indah. Keningku berkerut bingung. Apa aku salah?

      Pria itu memutar kursi rodanya. Menatapku dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya.

     “Ini buat kamu.” Lingga mengulurkan sebuah surat.

     Aku ambil surat itu. Dahiku mengernyit. Entah apa yang merasukinya sampai memberi ku sebuah surat.

     “Kamu boleh baca sekarang,” kata Lingga. “Tapi ada satu syarat, jangan tahan aku buat ngelakuin apa yang udah aku yakinin. Kamu cukup percaya kalo ini keputusan terbaik buat aku, dan aku bahagia atas keputusan ini.” Lingga memberikan surat itu kepadaku.

     Aku menatap surat itu kelu. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak karuan.

     “Surat apaan ini? Surat cinta yah?”

     Tawanya pecah melihat respon ku yang terlalu percaya diri . “Baca dulu,” kata Lingga masih dengan senyum diwajahnya.

     Senyuman menggoda muncul dibibir ku. “Cie, yang ngasih surat cinta.”

     “Baca dulu, Jingga,” pinta Lingga dengan lembut.

     Aku tatap Lingga sesaat. Ku buka surat itu. Aku menatap surat itu dan menatap kembali pria dihadapanku.

     “Dignitas?” tanya aku entah pada siapa. “Klinik bantuan bunuh diri Swiss?” Surat itu meluncur bebas dari tanganku.

     Aku menatap Lingga tidak percaya. Mataku berkaca-kaca. Mulutku terbuka ingin menyampaikan protes, tapi tatapan sendu dan senyuman Lingga membuatku kelu tak bisa mengatakan apa-apa.

     “Please, jangan tentang keputusan aku,” mohon Lingga.
    
     “A— aku pikir selama ini kamu sudah menemukan alasan untuk hidup. Aku pikir usaha kita memulihkan kembali kehidupan normal kamu cukup untuk bikin kamu bertahan.”

     “Boleh peluk aku untuk terakhir kalinya?” Lingga meminta dengan tatapan sendu.

     Aku awalnya ragu, namun melihat tatapan Lingga membuat aku memilih meredam emosiku. Ku peluk pria yang satu tahun belakangan menemani hari-hariku.

     “Satu permintaan terakhirku untuk kamu. Tolong tetaplah tersenyum indah, seperti rona jingga di langit senja.”

      

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      

Melukis JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang