.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❝Bukan laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat usang.❞
- RA Kartini“KAMU setelah lulus mau kerja dimana, Dek?” tanya ibuku.
Aku tercenung. Aku ragu menjawab pertanyaan ibu. Apalagi saat ini seluruh pasang mata menatap penasaran.
“Aku ingin lanjut kuliah, Bu. Nggak apa, kan? Adek mau lanjutin pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.”
Ibu menatapku datar, begitupun seluruh keluarga. Saat ini keluarga besarku berkumpul di rumah tante Dini.
“Perempuan mah nggak usah sekolah tinggi-tinggi, nanti ujungnya di dapur juga,” kata tante Rani, adik ibuku.
“Sesukses apapun kariermu pasti berakhir di dapur juga, Dek,” timpal tante Maya, adik kedua ibu.
Helaan napasku terdengar berat. Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai respon. Ibu menatap dengan datar, begitupun ayah. Mungkin ayah dan ibu juga mempunyai pemikiran yang sama. Otakku terpenuhi anggapan orang sekitar tentang seorang wanita yang ingin kuliah.
“Bukannya Ayah nggak mau dukung kamu, tapi kita itu orang susah.”
“Kita orang susah, jangan mimpi untuk kuliah.”
“Perempuan kok mau kuliah.”
“Sesukses apapun kariermu pasti berakhir di dapur juga.”
“Kalau ayahnya kuli, anaknya pasti jadi kuli juga.”
Hatiku menjadi kelabu. Ambisiku besar, aku tidak ingin hanya menjadi buruh pabrik ataupun tukang cuci. Bukannya aku meremehkan pekerjaan itu, tapi aku ingin melambung tinggi. Mengangkat derajat keluarga.
Sekali lagi aku menghela napas dengan berat.
“Jingga!”
Panggilan Ayah menyadarkanku. Sepertinya aku terlalu larut mengingat kejadian tempo hari.
Yaps... itu semua kalimat yang aku terima saat mengungkapkan keinginan ku untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
Hidup dilingkungan yang masih meremehkan 'emansipasi wanita' sangat sulit. Jujur aku muak dengan semua prinsip itu, tapi aku bisa apa selain hanya mengubur dalam ambisiku.
Kakiku melangkah menghampiri Ayah.
“Nilai kamu banyak yang menurun dibandingkan semester kemarin.” Ayah membuka raport. Menunjukkan nya padaku.
“Tapi peringkat berapa?”
“Masih sama, kok. Masih satu. Yaudah, yuk!”
Ayah pergi meninggalkanku. Kuikuti langkahnya dengan perasaan kelabu. Begitulah ayahku, tak pernah memuji setinggi apapun prestasiku. Aku hanya bisa tersenyum sendu.
Jingga Rona Senja, itu namaku. Jangan berpikiran nama itu memiliki makna yang aesthetic ala pemeran utama wattapd. Kata ibuku nama itu terinspirasi dari warna langit sore sehabis badai menghancurkan desa tempat tinggalnya.
Mirisnya.
Tapi mari kita ambil makna positifnya. Mungkin ibu ingin aku menjadi pelangi setelah hujan.
Ayahku hanya seorang pengangguran yang tidak berpenghasilan. Ibu juga hanya seorang ibu rumah tangga, profesi pada umumnya. Aku memiliki seorang kakak laki-laki, dia hanya penjaga warung milik tetangga.
Beginilah keadaan kami. Kata orang kami harus mensyukuri setiap nikmat yang ada, tapi cobalah buka mata, bagaimana caranya kami bisa hidup dengan pemasukan yang timpang dengan pengeluaran.
Entahlah.
Rasanya menyesakkan mengucapkan syukur ditengah penderitaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Jingga
Teen FictionJingga Rona Senja, sang pemimpi yang tak punya mimpi. Hidup di keluarga pas-pasan yang mempunyai pemikiran 'perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi' membuat Jingga membuang segala ambisinya. Lingga Vulkanika Guntoro, hidupnya berubah hanya ka...