Sepuluh - Diam Seribu Bahasa

10.6K 1.5K 37
                                    

"I'm going speechless." Pembimbing Anak Magang yang kaget luar biasa.

Seminggu terakhir ini suasana di ruang kerjaku cukup ramai. Baron bekerja di meja kosong di sampingku. Dia beralasan supaya lebih mudah dalam berkoordinasi. Tindakan yang memancing para pecinta gosip di kantorku, tentu saja. Aku tidak ambil pusing dengan orang lain yang bergosip seperti menghirup udara. Lebih baik fokus pada pekerjaan.

"Hari ini tenggat waktu untuk laporan kita. Semua harus bekerja dengan seksama. Jangan sampai ada data yang salah input." Aku melirik Mamet yang memamerkan giginya tanpa raut menyesal.

Kemarin, Mamet terburu-buru dalam memasukkan data penjualan tahun lalu dan membuat Ai harus mengulang pembuatan grafik. Pekerjaan yang tentu saja dipenuhi dengan ucapan sarkasme Ai pada Mamet. Bahkan setelah omelan Ai mereda, sepertinya telingaku terus berdenging.

Baron yang melihat ulah para anak magang, tidak mengatakan apa-apa. Tetapi aku yakin, laki-laki itu shock dan kaget saat melihat kepribadian asli anak-anak magang. Aku sendiri, sepertinya sudah mulai terbiasa dengan hiruk pikuk sampai tidak ambil pusing, asalkan pekerjaan mereka beres.

"Kak Baron, kalau kerjaan kita selesai hari ini berarti minggu depan, Kakak udah nggak di sini, ya?" tanya Mamet yang disambut anggukan Baron. Wajah Mamet langsung menyiratkan raut menyesal dan sedih.

"Berhubung ini hari Jumat, setelah kerjaan selesai kita nonton, yuk. Itung-itung perayaan," sambung Mamet ceria. Cepat sekali suasana hatinya berubah dalam hitungan detik. Aku hanya menggeleng heran dengan tingkah laku anak ini.

Tahulah aku kenapa anak-anak semangat hari ini. Mereka penganut TGIF atau Thanks God It's Friday, garis keras. Biasanya Mamet akan melesat keluar secepat dia bisa begitu jam kerja selesai. Sementara Ai dan DJ mengikuti jejak Mamet tidak sampai beberapa menit kemudian.

"Yah, aku nggak ada agenda sih malam ini," sahut Baron yang disambut cengiran lebar anak-anak.

"Kakak Sipir juga ikut, kan?" tanya Mamet.

Seminggu ini aku super ketat dengan mereka sampai julukan sipir kembali ke diriku. Bedanya adalah kali ini aku tidak mempermasalahkan julukan mereka. Gawat! Sepertinya diriku mulai berubah.

"Sepertinya nggak. Aku ada janji sama Ela." Padahal aku belum membuat janji dengan Ela. Aku hanya malas harus jalan lagi dengan Baron meskipun beramai-ramai.

"Janji apa sama gue?" tanya Ela yang tiba-tiba saja masuk.

"Janji makan malam," ujarku sambil mengirim kode rahasia kami.

"Oh ... nanti malam. Emang kalian ada rencana apa?" Ela mengalihkan pandang pada Ai.

"Mau nonton, Kak Ela. Ikut, yuk?"

Gawat! Ela paling suka nonton. Dia suka semua jenis film. Mulai dari yang menyajikan adegan berdarah-darah sampai adegan romantis. Ini tidak boleh dibiarkan! Aku konsentrasi penuh, berusaha mengirimkan telepati persahabatan supaya Ela menolak ajakan Ai.

"Yuk!"

Sial! Telepati persahabatan gagal total. Baron mengulum senyum. Sepertinya dia tahu modusku untuk menolak yang gagal. Kupelototi laki-laki itu yang malah mengangkat bahunya.

Akhirnya malam itu aku terpaksa mengikuti keramaian untuk menonton film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini yang sedang booming. Harus kuakui, film ini cukup bagus. Saking bagusnya aku malah menitikkan air mata sepanjang pertengahan hingga akhir film. Sementara Ela tidak malu-malu untuk tersedu-sedu. Hanya DJ yang tetap memasang wajah datar yang membuat Ai meledeknya sebagai manusia tanpa hati.

"Kalau nggak punya hati, gue nanti nggak hidup, dong," protes DJ sambil bangkit dari kursi dan mengantri menuju pintu keluar setelah film selesai.

"Gila! Ini film parah. Mata gue sampai bengkak," ucap Ela. Dia masih sibuk mengusap air mata yang sepertinya enggan berhenti.

The Differences Between Us (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang