Tiga Puluh - Usang Dibarui, Lapuk Dikajangi

10.2K 1.3K 68
                                    

"Mari kita mencoba memperbaiki keadaan." - Pembimbing Anak Magang yang kembali berusaha.

Ini adalah hari terakhir sebelum PSBB dimulai. Sejak kemarin ketiga anak magang menolak bicara padaku meski Baron terus mengatakan kalau dia tidak masalah dan aku sudah meminta maaf. Mereka beranggapan bahwa ucapanku itu dimaksudkan untuk merendahkan Baron.

"Mereka itu adil, Cass. Memang nggak seharusnya lo ungkapin hal itu di depan umum. Beda kalau lo bilang misalnya Baron tukang ngorok." Ela menepuk punggung tanganku. Kami sedang duduk di area hijau sambil meminum kopi di gelas kertas. Ada beberapa karyawan yang juga sedang duduk-duduk di sini setelah jam istirahat.

"Tapi itu kan sama-sama kelemahan," kataku pelan sambil menekuri bibir kertas.

"Cassie, visual dyslexia adalah kondisi khusus yang terjadi secara permanen. Orang-orang zaman sekarang akan bilang kalau kondisi khusus itu membuat Baron menjadi anak istimewa. Dia memiliki kebutuhan khusus yang akan terus berlangsung seumur hidup. Berbeda kalau Baron yang cerita sendiri, sikap lo itu malah bikin anak-anak antipati. Lo dianggap melecehkan dan merendahkan orang berkebutuhan khusus."

Aku tertegun mendengar ucapan Ela. Pikiranku tidak sampai ke sana. Teringat saat pertama kali Baron bercerita padaku di Surabaya dan bagaimana raut wajahnya saat aku mengungkapkan hal itu pada para anak magang.

Sambil menghela napas, kututup wajah. Dalam keadaan emosi pun tidak seharusnya aku mengucapkan hal itu. Aku merasa bersalah pada semuanya. Ela menatapku prihatin dan kembali menepuk-nepuk punggung tanganku.

"Gue harus apa dong, La?" tanyaku putus asa. Terbayang perjuangan untuk menyesuaikan diri dengan para anak magang yang kini menjadi sia-sia. Aku bahkan sudah mengikuti pelatihan tentang kesenjangan generasi tetapi ternyata tidak punya kesempatan untuk mempraktekkannya.

"Lo harus ngelakuin apa yang seharusnya lo lakuin?" Wajah Ela terlihat yakin dan penuh kesungguhan.

"Minta maaf, kan?"

Kali ini senyum lebar muncul di wajah Ela. Dia mengangguk dan menepuk punggung tanganku sekali lagi.

"Dengan tulus, apa adanya dan lo harus ungkapin juga kalau lo nyesel," tambah Ela yang kuikuti dengan anggukan.

Bicara memang semudah membalikkan telapak tangan. Terbukti, sudah dua jam ini aku tidak bisa menemukan para anak magang. Mereka tidak memberitahuku kalau beberapa divisi membutuhkan bantuan mereka. Sesuatu hal yang belum pernah terjadi. Selama ini jika ada divisi lain yang membutuhkan bantuan, mereka akan langsung memberitahuku. Hal ini semakin membuktikan ucapan Ela bahwa ketiga anak magang mulai antipati padaku.

Aku baru saja melangkah dengan gontai dari ruang IT dan hanya menemukan kalau Ai sedang membantu IT support di ruangan Baron. Kuputuskan untuk ke ruangan Baron dan tidak menemukan Ai.

"Lo cari siapa, Cass?" tanya Baron yang melihatku menoleh ke kanan dan kiri begitu masuk.

Baron mengenakan kacamata yang terlihat cocok sekali dengannya. Dia tersenyum dan bersikap biasa-biasa saja, seolah tidak terpengaruh oleh sikapku kemarin. Kalau dipikir-pikir, kemarin dia juga tidak marah padaku hanya sempat terlihat kaget.

"Ron, boleh bicara berdua?"

Terdengar deheman dan sorakan ketika tim Baron mendengar pertanyaanku. Sekarang aku tidak peduli apa kata orang. Buatku Baron telah menjadi teman sejak kami melakukan gencatan senjata dan kemarin aku telah melukainya.

Meskipun terkejut, Baron tetap mengikutiku yang melangkah menuju lift. Aku akan bicara dengannya di area hijau. Untunglah tempat itu sepi dan udara tidak terlalu panas. Tidak bisa kubayangkan kalau tempat ini panas, pasti aku akan mimisan dalam sekejap. Sejak kecil aku tidak kuat dengan matahari terik.

The Differences Between Us (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang