Prologue - The Beginning of Their Struggle.

438 14 0
                                    

Jeon Wonwoo, seorang mahasiswa di tingkat akhir, sedang duduk gelisah di kursi pengemudinya. Pikirannya berkecamuk karena ia bisa merasakan jika jawaban yang akan didapat di tempat tujuannya nanti, bukanlah jawaban yang ia dan sang kekasih, Kim Mingyu, inginkan.

Mingyu yang merasakan kegelisahan kekasihnya pun menggapai dan menggenggam tangan kiri Wonwoo yang sedang berada di roda kemudi.

“Ga apa, sayang. Kita hadepin semuanya bareng-bareng, kan?”

Wonwoo tersenyum. “Iya. Tapi, ah sudahlah, ini aku kurang tidur aja.”

“Mau nyalain radio aja ta? Kamu lagi nyetir, ya. Jangan ngantuk, ih.”

Mingyu tersenyum, kemudian memutar radionya.

… the stars glow above?

Don’t they know it’s the end of the world?

It ended when I lost your love

“Anu, Gyu? Ganti yang lain, boleh? Emang kita biasa nyanyi ini, tapi kalau muter sekarang kok gimana… gitu.”

Mingyu mengangguk, lalu mengganti siarannya. “Tapi kamu tau kan aku bakal selalu ada di sini?”

Language Note: bakal = akan

“Bahkan misal… orang tua aku buang aku?”

“Ya…, semoga aja engga sih. Tapi, kalo sampe iya, justru aku bakal lebih erat genggam tanganmu. Ga bakalan pergi dari sisimu, babe. Us, against the world, remember?

Us against the world, yeah….

***

Di Kediaman Jeon

Seorang wanita paruh baya beranjak dari tempat duduknya. “Kalau itu aja yang mau kalian sampaiin, kalian boleh pergi. Coba lagi lain kali, ya.”

Wonwoo berdiri dan menghampiri wanita itu, lalu meraih tangannya. “Tapi kenapa, ma?”

Wanita itu melepaskan tangan Wonwoo, menyilangkan kedua lengannya di depan dada, lalu mulai mengamati Mingyu dari atas hingga bawah.

Mingyu menahan napasnya.

“Dia ga keliatan serius. Entah, auranya kaya orang yang engga setia.”

“Ma! Mama bahkan belom kenal Mingyu. Ga bisa dong asal nilai dia gitu aja. Mingyu engga kaya yang mama bayangin.”

“Sadar ga barusan ngomong apa? Itu loh maksud mama. Mama ga terlalu kenal dia buat bisa percayain kamu ke dia. Dan kan mama bilang coba lagi kapan-kapan, kan? Liat aja dulu seberapa serius dianya sama kamu, Wonwoo.”

Ayah Wonwoo akhirnya membuka suaranya. “Wonwoo, kita ga nolak dia lho ini. Kita cuma mau lebih tau tentang dia, ngobrol sama keluarganya—”

“Dia ga punya keluarga.”

“Nah, lihat kan, sayang? Ini maksud kita, nak. Kita belom kenal dia, jadi gimana bisa kamu minta kita restuin kalian?” Ayah Wonwoo menghela napas. “Kalau kamu ke sini buat kenalin dia mah, boleh banget. Tapi kalau tiba-tiba bilang mau nikah? Engga dulu ya, nak. Seenggaknya coba tunggu kalian lulus deh.”

“Ya Tuhan! Aku tuh uda dewasa. Kenapa sih kalian ga bisa percaya pilihanku?”

“Kalian lho masih sama-sama muda. Dan kamu bilang dia lebih muda. Wonwoo, kita cuma mau kalian nikmatin dulu masa muda kalian. Jadi nantinya, kalian ga akan punya penyesalan,” ayah Wonwoo mencoba membuat Wonwoo memahami pandangannya.

Mingyu mendekat ke Wonwoo, lalu berbisik, “Won, mungkin kita memang perlu pelan-pelan aja, kali? Minta maaf dulu aja, yuk. Kapan-kapan baru ke sini lagi.”

“Ga. Aku mau jawaban mereka sekarang. Cukup lah selama ini mereka selalu khawatir tiap aku ambil keputusan soalnya mereka ga percaya aku. Aku tuh uda bukan bocah lagi, jadi ya mereka harus bisa percaya pilihanku.”

“Kalau…,” ibu Wonwoo memulai, suaranya jauh lebih tegas dibanding sebelumnya, “kamu juga ga bisa hormatin keputusan orang tuamu, ya sudah pergi sana. Kalau kamu mau bebas, ya sudah, anggep aja saya ga pernah punya anak.”

Mingyu mulai merasa tidak tenang dan bersalah. “Tunggu! Itu— Maaf sudah membuat kekacauan di sini. Kami cuma datang untuk minta restu, tapi kami tidak menyangka kalau—”

“Cukup, Mingyu. Ayo pergi aja.”

Wonwoo menarik Mingyu menuju pintu.

“Wonwoo!” Ayah Wonwoo mencoba mencegah anaknya pergi, tetapi ia tak berhasil, maka dia berteriak, “Kalau kamu sudah jauh lebih tenang, ayo bicara lagi ya, nak.”

Ibu Wonwoo berjalan ke arah pintu, dan berteriak juga, “Kamu ga usah balik lagi ke sini, bahkan sekalipun kalau kamu mohon-mohon untuk itu.”

Wonwoo berhenti sejenak. Ia mengambil napas dalam-dalam, namun ia tidak berbalik. Ia justru berjalan lebih cepat, dengan masih menarik Mingyu, menuju mobil mereka yang tadi diparkirkan cukup jauh dari kediaman Jeon.

Ketika mereka sudah duduk di mobil, Mingyu memulai, “Won…, apa itu tadi?”

Wonwoo mengedikkan bahunya. Ia tampak acuh walau pancaran matanya melukiskan kekacauan yang sedang terjadi di kepalanya.

“Kerasa ga masuk akal banget. Aku harap kamu bisa mikirin lagi—”

“Mingyu, kamu cinta sama aku, kan?”

“Hah? Ya jelas dong, sayang. Rasanya aku bisa korbanin semuanya buat kamu. Tapi ya engga hubungan keluargamu juga, Won.”

“Aku ga apa kok. Aku cuma ga mau aja ngalamin hal kaya harus pisah sama orang yang aku sayang, cuma gegara kehalang restu orang tua.” Wonwoo menghela napas. “Dan! Uda, ya? Ga usa dibahas lagi. Kita pulang.”

Language Note: ga usa = tidak perlu

“Aku aja ta yang nyetir?”

No, baby. Tugasmu cuma buat hibur aku. Nyanyi, mungkin?” Wonwoo menaikkan alisnya. “Atau… kamu mau maen sama si adek sepanjang jalan, hm?” Ia menyeringai, lalu ketawa ketika mendapati Mingyu menunjukkan ekspresi seolah ia baru mendengar hal gila, yang sebenarnya memang iya.

Wonwoo menangkup kepala Mingyu, lalu mencuri kecupan singkat dari yang lebih muda.

Setelah itu, Wonwoo menyalakan mesinnya, dan mereka menembus jalanan yang sepi. Jalan yang mereka lalui kini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang mereka untuk hidup bahagia bersama.

NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang