Bunyi khas kunci terbuka membuat Mingyu menoleh ke arah pintu apartemennya. Melihat Wonwoo yang mulai berjalan ke arahnya, ia pun segera bangkit dari kasurnya.
Mingyu mengamati Wonwoo dari pucuk kepala hingga ke ujung kakinya.
"Won..., ganti pake bajuku, ya?"
"Kenapa? Kamu malu kalau aku ga pake baju branded?"
"Bukan! Bukan gitu.... Duh, gimana sih omongnya?"
"Jujur aja, Mingyu."
"Aku bukannya malu kalau kamu pake baju gini, cuman aku takut nanti papanya Seina yang nyela kamu."
(Language Note: nyela = mencela)
"Aku ga musingin pendapat orang lain."
Mingyu mengangguk.
"Ayo duduk dulu."
Mingyu menggandeng tangan Wonwoo, dan menuntunnya ke arah kasur.
Keduanya terdiam beberapa saat, sampai Wonwoo membuka suara.
"Kalau nanti berhasil, kamu beneran mau ngakuin Kiefer?"
"Kita mulai dulu pelan-pelan, ya Won?"
Wonwoo tak membalas.
Keduanya pun terlarut dalam pikiran masing-masing akan begitu banyak kemungkinan yang bisa terjadi kedepannya, namun dengan tangan yang masih terhubung. Tangan mereka masih menyatu, walau dengan pikiran yang bercabang.
Setelah sekitar lima belas menit, Mingyu mendengar bunyi bel apartemennya, jadi ia segera beranjak dan membukakan pintu. Di sana ada Seina dan ayahnya, Pak Stefanus, yang ikut memasuki ruangan itu.
Saat melihat Wonwoo yang berdiri sambil membungkuk untuk memberi salam, Pak Stefanus berucap, "Saya minumnya terserah, asal tidak dingin. Kalau anak saya, apapun selain kopi, dan jangan terlalu manis."
Wonwoo hanya membulatkan matanya karena masih terkejut dan bingung, sedangkan Mingyu langsung membalas ucapan itu, "Dia bukan pembantu."
"Saudara kamu?"
"Orang yang sudah melahirkan anak kami."
Sontak, Pak Stefanus yang baru saja memposisikan duduk nyamannya, kembali berdiri. "Jangan bercanda kamu."
"Mingyu serius, om. Perkanalkan, saya Wonwoo. Kami sudah saling mengenal sejak kami masih sekolah, dan kami sudah bertunangan sejak kami lulus kuliah."
"Seina, kamu sudah lama kenal Mingyu, kan? Mulai dari saat kamu pungut dia buat jadi model?"
Seina mengangguk.
"Mingyu pernah cerita kalau dia sudah punya anak? Atau tunangan?"
Seina menatap Mingyu seolah bertanya jawaban apa yang harus diberikan. Namun tentu saja mereka tak bisa berdiskusi untuk sekarang ini.
"Aku sama Mingyu engga sedeket itu, pa. Jadi aku ga terlalu tau kehidupan pribadi dia."
"Bukannya kalian sering keluar bareng?"
Wonwoo yang sedari tadi mengunci tatapannya pada lantai, kini mendongak untuk mencari tahu jika hal itu memang benar atau tidak.
"Ya kita memang pergi bareng, pa. Tapi kita ga ngobrol yang gimana-gimana."
Pak Stefanus kini memandangi Wonwoo, membuat yang ditatap merasa tak nyaman karena mata itu seolah menganalisa segala titik lemah yang dimilikinya.
"Kamu dibayar berapa sih sama Mingyu?"
"Apa maksud om?"
"Dia pasti nyuruh kamu buat ngaku-ngaku gini, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi
FanfictionBagian narasi dari socmed version of Our Paths di Twitter. Baca di pinned tweet akun @every__one_woo 🥰