Chapter 1: Awalnya

205 16 4
                                    

Jakarta, Maret 2017

Anak laki-laki itu berumur sekitar 13 tahun. Sambil mengendong ransel besar dan tas jinjing berisi gitar kecil kesukaannya, tangan kirinya digenggam oleh seorang pria yang umurnya sekitar 35 tahun menuju rumah besar yang terlihat cukup sepi.

Di sebelahnya, berdiri seorang wanita yang terlihat cukup sibuk bicara dengan pelayan yang membatunya mengeluarkan koper-koper besar. Setelah semua urusan dengan barang dan koper selesai, ketiganya kompak memasuki gerbang rumah bercat putih itu.

Beberapa meter dari depan, tampak seorang wanita paruh baya keluar rumah dengan sedikit berlari menyongsong ketiga orang itu dengan bahagia. Mereka berangkulan melepas rindu sambil berjalan pelan memasukki rumah.

"Bisa speak Indonesia, kan?" tanya perempuan paruh baya itu kepada anak laki-laki yang mata sibuk menyapu sekeliling rumah. Ketika pertanyaan itu didengarnya, dia tak langsung menjawab.

"Tentulah Oma. Daddynya kan masih sering ngajak dia ngobrol pakai bahasa Indonesia. Sekolahnya di sana juga ada pelajaran bahasa Indonesia. Ayo sayang, jawab dong. Oma tanya tuh." Wanita itu mengelus lembut rambut anaknya.

"Dia pemalu Oma. Padahal kalau di sana, jadi ketua gang lo. Anak-anak Amrik suka nyari dia kalau dia nggak masuk sekolah. Ya kan Tian?" Daddynya menimpali. Anak lelaki bernama Tian itu memerah. Tak biasanya dia malu seperti ini. Dalam hatinya dia mengiyakan seluruh perkataan orang tuanya. Hanya saja, mulutnya enggan mengkonfirmasi. Omanya tersenyum hangat sambil mempersilahkan mereka melepas penat di sofa empuk itu.

"Ini siapa?"

Sontak ketiga orang dewasa yang sedang asyik ngobrol sana-sini langsung mengarahkan pandangannya ke arah Tian yang dalam sekejap sudah berdiri di depan lemari besar yang penuh dengan piala dan foto-foto lama. Dalam foto itu, nampak banyak foto lelaki remaja bersama timnya berdiri di tengah lapangan basket dan mengenggam piala. Foto-foto yang lain kurang lebih seperti itu, hanya lapangan dan posenya saja yang berbeda. Pialanya sangat banyak. Ada belasan, lebih dari itu mungkin puluhan. Sampai mata Tian tidak memiliki waktu cukup untuk mengamati satu per satu.

"Oh, itu foto-foto Daddy waktu masih muda. Dulu Daddy pemain basket Yan." Daddynya mendekat sambil menunjuk beberapa gambar dirinya.
"Ini Daddy. Nah yang ini juga Daddy pas tanding di SMA. Kalau ini teman akrab Daddy main basket dulu. Kapan-kapan Daddy kenalkan kalau Daddy bisa datang lagi ke Jakarta."

"You never talk to me about your hobby. Why?"
Daddynya menyeringai sambil tersenyum.

"Udah yuk ngobrolnya. Kita nata kamar kamu dulu nak. Oma, Tian pakai kamar atas kan ya?" tanya Mommy Tian dengan lembut sambil beranjak dari sofa itu.

"Iya. Mama sudah pesan ke mbak Tatik buat beresin kamar kalian dulu. Mama rasa kamar itu cocok buat Tian yang katamu barangnya banyak banget. Yuk ke atas sayang." Wanita paruh baya itu menggiring cucunya untuk ikut naik ke atas melihat kamar yang akan ditinggalinnya cukup lama, bahkan mungkin selamanya.

***

Rumah itu tampak begitu besar jika mengingat penghuninya hanya Oma, seorang ART bernama mbak Tatik, dan satpam merangkap sopir bernama Pak Dikman. Suasananya terlihat berbeda dari belasan tahun lalu ketika rumah itu terasa kecil karena ada sekitar 10 orang yang tinggal di sana.

Dulu, penghuni rumah itu hampir tidak bisa menyadari bahwa betapa besar rumah mereka. Mereka selalu mengatakan agar rumah itu dibangun menjadi dua tingkat agar cukup untuk menampung semua penghuninya. Keinginan itu dikabulkan oleh Opa dan Oma.

Akhirnya rumah itu dibangun menjadi dua tingkat. Semua lega dengan keputusan itu. Setelah dibangun, rumah itu memiliki 5 kamar, 3 di lantai 1 dan 2 di lantai atas. Masing-masing sudah memiliki tuannya. Sudah jelas tuannya adalah keempat anak Opa dan Oma beserta keluarga kecil mereka. Entahlah, walau sudah berumah tangga dan memiliki pekerjaan yang mapan, anak-anak mereka enggan meninggalkan rumah orang tuanya tak terkecuali Edwin, daddy Tian.

dandelionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang