Chapter 2: Bule Bergitar?

13 3 0
                                    

Jakarta, Juni 2017

Sudah hampir 3 bulan Tian tinggal di Jakarta. Selama 3 bulan itu, dia belum didaftarkan ke sekolah karena menunggu tahun ajaran baru. Tian menggunakan waktu luangnya untuk bermain gitar dan mengasah keterampilan bahasa Indonesianya sebelum dia masuk ke SMP. Setiap sore di hari Jumat atau Sabtu, Tian rajin menemani oma untuk pergi ke pemakaman opanya yang tidak jauh dari kompleks rumah mereka. Tak jarang Tian berjalan-jalan sendiri di sekitar kompleks untuk membiasakan diri dengan lingkungan rumah omanya.

Hari itu Tian minta izin untuk tidak ikut menemani omanya ke pemakanan. Dia ingin pergi ke taman untuk mencari inspirasi lagu yang sedang dia buat. Omanya hanya tersenyum bangga pada cucu lelakinya itu dan berpesan agar tidak bermain terlalu jauh. Walau dia yakin Tian pemberani dan tidak mungkin tersesat, omanya tetap khawatir karena ini adalah lingkungan baru baginya. Setelah memastikan omanya pergi diantar oleh Pak Dikman, Tian memeriksa lagi perlengkapan bermusiknya lalu berjalan dengan santai ke arah yang tak asing, taman kompleks. Tidak sampai 10 menit dia tiba dan beruntungnya, kursi kesayangannya sedang tidak berpenghuni. Dalam sekejap anak berusia 13 tahun itu sudah duduk anteng sambil mengeluarkan gitar, buku kecil, dan bolpoin. Dia sangat antusias sore itu.

Tian memasang earbuds dan mulai bersenandung kecil sambil memetik gitarnya perlahan. Sesekali dia menghentikan petikannya dan mulai menulis lirik di buku kecil berwarna biru itu. Belum lama suasana menyenangkan itu dia rasakan, terdengar suara rengekkan yang begitu mengganggunya. Tian melepas earbudsnya dan matanya mulai mencari dari mana sumber suara itu. Tak perlu waktu lama baginya untuk mengetahui apa yang terjadi. Suara rengekkan itu berasal dari seorang gadis kecil sebayanya yang terduduk di tanah beberapa meter darinya. Tian melihat gadis itu dikelilingi 3 orang anak lelaki berbadan besar yang tertawa terpingkal-pingkal. Adegan itu seperti 3 ekor kucing besar yang sedang bahagia menemukan seekor tikus lemah sebagai mangsanya. Awalnya Tian tak ingin ikut campur dengan masalah itu. Namun makin lama dia perhatikan, ketiga anak lelaki itu makin menyebalkan. Ditambah lagi tangisan gadis kecil itu semakin kencang dan mengganggu ritualnya dalam membuat lagu. Tian beranjak dari kursinya. Setelah memastikan gitarnya diletakkan dalam posisi yang aman, dia mendekati keempat anak-anak itu dan berusaha memasang muka cukup garang.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Tian sambil membantu gadis kecil itu berdiri. 3 anak yang mendengar pertanyaan Tian dengan aksen yang cukup aneh kompak tertawa sambil berbisik satu dengan lainnya.

"Eh, elu jangan sok bule deh. Ngomong aja nggak bener gitu. Nggak usah ikut campur! Dasar anak SD!" jawab seorang anak yang berlagak menjadi bos diantara dua teman yang mengapitnya. Tian hanya terdiam sambil membantu gadis berambut sebahu itu berdiri dan mengambil beberapa bungkusan berisi coklat yang terjatuh di tanah. Gadis itu masih sesegukkan dan dengan mata yang takut dia mulai berdiri menjauh. Tian memberi kode padanya untuk pergi. Awalnya gadis itu sedikit ragu, namun akhirnya paksaan Tian mampu membuat kakinya teguh untuk berlari menjauh. Tak terima dengan hal itu, salah seorang anak yang membullynya berteriak dan berusaha mengejar gadis itu. Namun dengan cepat tangan Tian menghadangnya.

"Kenapa kalian hanya berani dengan perempuan?" mendengar perkataan Tian, ketiga anak itu geram. Salah seorang dari mereka mencengkeram kerah baju Tian hingga kaki Tian nyaris berjinjit. Seorang yang lain mengacak-acak rambut Tian dengan kasar. Seorang lagi yang bertindak seperti seorang bos hanya tertawa melihat Tian seakan tak berdaya.

"Elu yang kenapa! Ngapain ikut campur urusan orang? Hah?" kedua temannya mengangguk sambil terus menahan bahu Tian agar tidak kabur.

"Dia belum tahu aja siapa kita bos. Ya nggak?" seru salah seorang dari mereka diikuti anggukkan yang lain. Mereka bertiga sudah seperti preman yang menguasai Jakarta padahal umur mereka masih belasan. Tian menyingkirkan tangan-tangan yang mengacaukan bajunya. Dia mundur beberapa langkah dan memasang kuda-kuda. Ketiga anak lelaki di depannya terkejut dan ikut memasang badan tanda siaga satu.

"Wah dia berani nglawan kita bos!"

"Dasar anak kecil, sok-sokan mau nglawan kita!" kata salah satu dari mereka sambil mendorong Tian dengan kuat. Tian yang awalnya sangat siap untuk segala kemungkinan roboh dengan mudah oleh sekali dorongan. Ketiga musuhnya tertawa hampir bersamaan. Mereka tidak menyangka pertahanan Tian selemah itu. Setelah melihat Tian roboh, salah satu dari mereka yang berlagak sebagai bos mendekati dan mulai menendangi tubuh Tian dengan kakinya yang kuat. Kedua temannya yang lain berjaga di belakang Tian agar mangsanya itu tidak bisa kabur. Sambil tertawa terbahak-bahak, mereka terus membully Tian. Tian yang masih tersungkur di tanah hanya bisa melindungi muka dengan kedua lengannya. Dia berusaha tidak melawan dan membiarkan ketiga anak itu terus meringsaknya.

"Heh!!! Apa-apaan kaliaaaannnnnnn!" ketiga anak itu berhenti dan kompak menoleh ke belakang. Tian mendongak sambil mencari tahu siapa yang barusan berteriak. Dia yakin, alam telah mengirimkan penolong untuknya. Beberapa meter dari tempat mereka meringsak Tian, segerombolan anak-anak lain yang seumuran dengannya telah berdiri berjajar. Dari sanalah suara itu berasal. Tian mencoba memandang mereka dengan mata tajam. Dia mengenali beberapa anak-anak itu. Dia mengenali pakaian itu, pakaian basket. Ya, segerombolan anak itu adalah anak-anak yang beberapa bulan lalu pernah ditemuinya, juga di taman ini, dengan pakaian yang sama. Segerombolan anak itu mendekati ketiga anak yang meringsak Tian. Tampak ketiga anak itu sedikit gemetar. Mereka kompak mundur dengan perlahan setelah merasa bahwa jumlah mereka tidak seimbang. Mereka sadar mereka pasti kalah jika tetap memaksakan diri. Tian yang masih tersungkur di tanah hanya bisa mendongak dan menebak apa yang akan terjadi. Dua orang anak dari anggota tim basket itu mengangkat kepalan tangannya seakan mau memukul. Belum sempat melayangkan tinjunya, ketiga anak itu berlari sambil berteriak minta ampun. Tak perlu waktu lama, ketiganya sudah lenyap dari pandangan. Setelah terasa aman, Tian berdiri pelan sambil menahan sakit akibat tendangan yang mengenai tubuhnya. Dia sedikit sempoyongan.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya seorang anak kepadanya. Tian menunduk sambil menggeleng.

"Loh, elu kan anak bule yang dulu bawa gitar itu ya? Iya kan?" salah seorang anak yang mengenali wajah Tian begitu antusias dengan tebakkanya. Tian masih menunduk dan enggan menjawab.

"Eh, bener juga. Dulu kita-kita udah pernah ketemu kamu. Tapi belum sempat kenalan aja." Tian masih terdiam. Dalam batinnya dia bergumam kesialan apa yang dia alami kali ini? Mungkin dia memang telah diselamatkan dari ketiga anak yang barusan meringsaknya, namun siapa yang sangka pahlawan yang menyelamatkannya mungkin saja akan meringsaknya dengan lebih parah. Tiba-tiba Tian mulai rindu teman-temannya di Amerika. Andai saja dia bersama teman-temannya dari Amerika yang bertubuh tinggi besar, anak-anak kompleks di sini akan dihabiskannya dalam waktu singkat. Namun Tian sadar, sekarang dia sendirian. Dia tidak mungkin melawan lagi. Dia hanya bisa pasrah sambil terus berjaga kalau-kalau dia diserang lagi.

"Hei, kenalin. Aku Jerom. Nama kamu siapa? Kayaknya kita seumuran deh." Tian sedikit mengangkat mukanya sambil melihat uluran tangan anak lelaki itu. Dia mengamati satu per satu anak-anak di hadapannya dengan mata wasapada, sampai matanya bertemu dengan mata anak lelaki yang baru saja memperkenalkan diri padanya. Tian masih terdiam, dia mundur beberapa langkah dengan pelan sambil membersihkan beberapa bagian tubuhnya yang kotor oleh debu. Tak lama setelah itu dia berbalik dan berlari sekencang mungkin. Dia berhenti di kursinya dan menyambar barang-barang dengan cepat dan kembali berlari tanpa memperdulikan teriakkan anak-anak yang berusahan menghentikan langkahnya. Tian tahu perbuatannya cukup memalukan dan menunjukkan bahwa dia pengecut. Namun dia sadar, dia adalah pendatang di kota ini. Dia tidak mau menyusahkan omanya dengan berbagai masalah yang mungkin akan dia sebabkan. Fikir Tian, jika bisa menghindar lebih baik dia lakukan itu daripada menambah masalah.

Jerom yang tak sempat berkata hanya bisa berteriak sebentar. Teriakkannya tidak mampu menjangkau Tian yang sudah jauh dari pandangan mereka. Beberapa teman-temannya terheran-heran dengan sikap Tian yang mendadak kabur. Ada pula yang malah menertawai tingkah anak bule yang lucu itu. Jerom hanya bisa tersenyum mendengar ocehan teman-temannya. Tak lama setelah itu merekapun kembali berjalan lagi sambil terus membicarakan hot topik: Si Bule Bergitar.

***

Ilustrasi gambar https://wallpapercave.com/aesthetic-guitar-wallpapers
Jangan lupa vote dan komen ya, delioners :)
Ditunggu upload'an author selanjutnya!!!

dandelionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang