Dent

0 0 0
                                    

     Bismillah, dengan menyebut nama Allah Swt., segala bentuk permulaan setiap tindakan. Melangkahkan kaki dengan niat menjemput ridha Allah Swt. Tidak ada batasan dalam renungan keikhlasan. Kesabaran, sebagai pondasi kehidupan.

     Hijaunya daun berguguran di depan pekarangan. Sunyi. Suara lengkungan ayam jantan bersautan satu sama lain. Pertanda, bahwa Malaikat berdatangan turun melihat hamba-Nya. Mengantuk, bahkan tidur adalah sebagian dari kelalaian manusia.

     Kursi kayu depan rumah dengan meja kecil menghapit berdampingan. Dinginnya pagi itu, disamarkan dengan hangatnya teh yang tidak terlalu manis. Karena itu, ia menyukainya.

Ssruuttttt. Seruputan menyapa dahaganya.

“Assalamu’alaikum kak Ira manis,” sapaan di seberang rumah dengan ramah.

“Eh iya, Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Pagi-pagi gini mau kemana dent?” Sahutku membalas sapaannya. Dent ini adalah sebutan untuk murid-muridku, yang berasal dari kata bahasa inggris ‘student’ yang berarti murid. Mereka yang memberikan istilah serta sebagai panggilan khusus mereka.

“Tidak kak, aku hanya jalan pagi sambil ingin membeli sesuatu di warung depan.” Balasnya menjelaskan.
“Lagian kakak ngapain melamun seperti itu, hayooo.” Sambungnya menerka pikiranku.

“Eh siapa yang melamun, kakak hanya sedang berinterogasi dengan pikiran kakak saja kok.” Balasku sambil diikuti gelakan tawa kecil.

“Nah kan ketahuan.” Sahutnya sambil mendekat dengan mimik muka penasaran. Duduknya di samping yang tidak jauh dengan meja.

“Wah ada yang hangat-hangat nih,” sambungnya dengan ceria melihat teh hangat yang masih mengebul.

“Eh tapi, mana rotinya, mana makanannya, lebih mantap jika dibarengi dengan roti nih. Srrruuttt.” Sahutnya menyarankanku.

“Lah kamu mau juga kah? Kakak ambil gelas dahulu kalau begitu kamu tunggu ya.” Kataku menawarinya teh.

“Tidak usah kak, aku hanya cobain aja kok. Udahlah Kak jangan melamun-melamun lagi nanti manisnya hilang dan nanti teh ini ikut berkurang juga toh manisnya. Tersenyumlah wahai guru, wahai kakakku, kamu tidak pantas bersedih, tidak seharusnya terlalu larut dalam pikiran yang membelenggu.” Sarannya yang jauh beda dari biasanya, membuatku tertegun dengan kata-katanya itu.

“Masya Allah, kamu kesambet dent?” tanyaku meyakinkan diselingi candaan dan tawa.

“Heheh, pluk.” Tawanya sambil menepuk pipinya menyadarkan.

“Alhamdulillah, gusti Allah masih menyadarkanku kak,” sambungnya diiringi tawa manis gigi depan yang ompong reges.

“Kamu tuh ada-ada saja dent.” Balasku menggelengkan kepala.

                             ¤¤¤

“Alif Lam Mim” Quran Surat al-Baqarah ayat 1. Tidak manusia, malaikat pun tidak dapat mengartikan. Hanya Allah Swt., yang tahu maknanya. Setelah jamaah di Mushala dekat rumah, lanjut muraja’ah. Berhenti sejenak merenung saat satu ayat awal surat al-Baqarah dilantunkan. Tidak berpura-pura, asli menyayat qalbu. Tes, tes, turun tak terkira. Pikiran yang menelaah pun tidak bisa. Taqdir, satu kata yang terlintas. Diibaratkan kematian, tak ada yang tahu kapan ia datang. Dunia hanya tempat bersinggah, hanya perantara menuju kehidupan yang hakiki. Kehidupan yang memiliki nuansa indah, tenang, tidak lagi harus berlarian mengumpulkan segenggam makanan. Apa pun itu, ‘mau ini’ atau ‘mau itu’ akan datang dengan sendirinya.

     Sulit, jika ketidaksabarannya selalu dilakukan di dunia. Keadaan yang mengkhawatirkan, seperti binatang buas yang hendak mencengkram. Timbul pertanyaan ‘Siapa yang menolong?’, melihat kembali pada latar belakang kehidupan. Jika finish sudah mengatakan, apa boleh buat dia menetap di dalamya. Cucuran air mataku membasahi khimar putih. Tak sanggup meneruskan ayat, sujud yang dilakukan.

     Crek, suara pintu kamar terbuka. Bangun dari sujud melihat ke sumber suara.

“Iya dek,” tanyaku pada Haura yang terlihat aneh melihatku.

“Eh kakak sedang sibuk ?” balasnya menanyakanku.

“Tidak kok, kenapa emangnya?” sahutku kepadanya menanyakan kembali.

“Ini loh bantuin aku, aku ada PR,” sahutnya dengan nada sedikit memelas.

“Tapi kamu yang nulis ya, jangan kakak, kan yang sekolah kamu,” terangku kepadanya.

“Lah tapi kok kamu sendiri? Asma mana? Apa ia sudah mengerjakan?” tanyaku bingung dengan saudaranya ini. Karena Asma dan Haura hanya selisih satu tahun, mereka di sekolahkan berbarengan dalam satu kelas yang sama.

“Tahu tuh Asma malah kabur main, aku sudah kasih tahu. Tetap saja ia kekeh dengan dirinya.” Ujar Haura menjelaskan.

“Akak akak yang baik PR sudah dikerjakan kah belum?” teriak Asma yang tiba-tiba datang di samping Haura tepat di depanku.

“Assalamu’alaikum,” Balasku dan Haura bersamaan.

“Wa’alaikumsalam, hehe,” Jawab Asma dengan menunjukkan gigi ompongnya. Tatapan kami pun membuatnya ngeri. Sehingga membuatnya meminta maaf dengan menempelkan kedua tangan ke atas dengan mengayunkannya berkali-kali.

“Kamu abis dari mana Ma?” tanyaku menginterogasi.

“Aku abis beli pensil di warungnya Chika kak,” jawabnya membela sambil menunjuk pensil di tangannya.

“Bohong kak, tadi katanya mau pergi main ketika ku tanya,” kata Haura memberitahu.

“Bener kak, suer deh,” sahut Asma meyakini.

“Ya udah lain kali kalian harus balik terlebih dahulu ya jika setelah pulang sekolah. Karena keberkahan ilmu harus sampai tempat persinggahan kita dahulu,” kataku menjelaskan.

“Ya sudah ayo kerjakan PR nya,” sambungku mengajak dan meredakan keadaan.
.
.
.
....

Jangan Tunggu Besok!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang