Nadira Bahira Hifza

2 1 0
                                    

     Kelebat, membuat jantung ini berdebar karena kaget tak karuhan. Kurus, kecil, sedikit membungkuk, perempuan dengan tatapan sinis sedikit aneh seperti sedang kebingungan.

     Ada lagi, sudah ku bilang dari awal Ira punya kelebihan yaitu bisa melihat mereka, yaitu makhluk-makhluk astral. Begitulah, tidak ada kata permisi, langsung. Seperti yang diketahui sifat Ira yang penasaran langsung ia menghampiri ke satu sosok tadi. Berusaha bertanya, apa yang membuatnya bingung.

“Hei, kamu siapa? Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu terlihat bingung? Dan apa yang bisa ku bantu?.”

     Ira memang aneh,  makhluk astral saja diperlakukan seperti itu dan diberikan bantuannya. Maka dari itu kurang baik apa lagi Ira. Tapi dibalik kebaikannya ada saja yang tidak suka dengannya. Itu semua kembali pada persepsi masing-masing.

“Izaaa.” Suara di seberang memanggil terkejut.

    Menengok ke arah subjek yang memanggil. Terlihat sedikit lari. Ku menyipitkan mata. Menelaah siapa yang menyapanya.

“Hei, kamu lupa denganku?.” Katanya dengan kedua tangan di pundak berusaha meyakini.

“Layang-layang,” sambungnya dengan menggerakkan kedua tangan mengepak sambil lari memutariku.

“Oalah, Risma?.” Tanyaku padanya dengan telunjuk kanan ke atas meyakinkan.

    Risma adalah teman masa kecilku, tepatnya teman saat duduk di Sekolah Dasar. Ia sering bermain denganku, bahkan hampir setiap hari. Layang-layang adalah permainan kesukaan kami. Setiap kali pulang sekolah, tidak lupa kami menyiapkan benang dan layang-layang kecil yang dibeli dari teman laki-laki.

“Ah kamu pura-pura tidak tahu saja ya, Nadira Bahira Hifza.” Sahutnya dengan nada yang dibuat-buat.

Nadira Bahira Hifza, adalah nama lengkapku. Teman-teman kecilku memanggilku Iza. Panggilan itu berawal dari Risma. Pada saat itu Risma adalah murid baru di sekolah. Lalu, ia memperkenalkan dirinya di depan kelas dan duduk di sampingku. Karena hanya aku yang duduk sendiri, jadi bu guru menyuruhnya untuk duduk bersamaku. Saat sebelum aku memperkenalkan diri, ia memanggilku dengan sebutan Iza. Awalnya aku bingung, tapi setelah ia bilang ‘kamu loh’ itu. Ia menunjukkan ke arah saku baju yang ada tulisan namaku.

“Eh eh afwan ya Ris aku tidak fokus tadi,” balasku minta maaf padanya.

“Kamu sedang memikirkan apa sampai tidak fokus seperti itu, padahal aku ada di depanmu sejak tadi,” katanya kebingungan.

“Aku tidak sedang memikirkan apa-apa kok Ris, hanya saja tadi..,” balasku dengan berhenti bicara seketika.

                                ¤¤¤

     Saat di perjalanan menuju rumah Rina, adik kecil yang privat denganku. Aku berpapasan dengan satu sosok tepat di belakang laki-laki di seberang yang baru saja keluar dari dalam mobilnya. Sorotan mata yang tajam melihat ke arahku. Sampai sang empunya mobil melambaikan tangan sebagai tanda apakah aku baik-baik saja. Karena mungkin pandangan mataku yang menyipit menelisik satu sosok tadi, sehingga dianggapnya aneh karena sorotan itu menuju ke arahnya.

     Langsung memalingkan ke samping kananku dan melanjutkan jalan kaki, hingga akhirnya sampai tujuan. Tidak lupa selama perjalanan selalu beristigfar melantunkan kalam-Nya. Mengingat kembali ayat-ayat yang telah dihafal.

     Alhamdulillah, bersyukur ku panjatkan selalu. Akhirnya aku bertemu dengan Umi Rina dan membantunya mempersiapkan beberapa makanan. Siap sudah terletak di atas meja makan. Tinggal minuman serta buah-buahan saja yang belum tertata.

“Ra, buahnya ditaruh dipinggir saja ya bersamaan dengan minuman nya.” Kata Umi Rina memberitahu.

     Aku pun meng-iya-kan perkataan Umi dan lanjut bergegas merapikannya. Sebentar lagi adzan Maghrib. Kami pun melaksanakan shalat berjamaah di ruang tengah. Tak disangka, saat sudah salam dan merapikan mukena ke tempat semula, aku terhenyak kaget. Bukan sosok ghaib kali ini. Tapi sosok laki-laki yang tadi sore ia lihat. Nyatanya bukan hanya aku yang kaget, begitu pula laki-laki itu.

“Kamu,” sahutnya meyakini kebenaran yang ia lihat.

     Diam, menunduk yang bisa ku lakukan saat ini.

“Eh Ira, ini kenalkan adikku Rafif yang ku ceritakan tadi dan Rafif ini Ira guru privatnya Rina.” Ujar Umi memperkenalkan kami.

“Iya Umi, salam kenal kak,” sahutku dengan menempelkan kedua tangan salam sapa kepadanya, begitu juga sebaliknya.

“Wa’alaikumsalam, salam kenal. Terima kasih sudah membantu kakakku, afwan sebelumnya telah merepotkan dan mencuri waktumu.” Ucapnya.

“Iya tidak apa-apa, tidak memberatkan juga, justru saya yang berterima kasih atas undangannya, dan mohon maaf saya tidak bisa memberikan lebih untuk acara ini.” Sahutku.

“Kamu sudah banyak membantu Ra, kami lah yang seharusnya berterima kasih.” Kata Umi meyakini.

“Ya sudah, sekarang siap-siap untuk makan bersama yuk.” Sambungnya meninggalkan kami.

“Mari.” Ajak Rafif dengan tangan menunjukkan ke arah meja makan.
Aku menganggukkan kepala dengan pandangan mata melihat ke bawah, lalu mengikutinya di belakang.
.
.
.
.
.
#Uh, author senyum-senyum nulis ini, wkwk

Jangan Tunggu Besok!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang