Muhammad Al Fatih

14 6 0
                                    

     Hari demi hari dilaluinya, terbebani adalah hal yang biasa baginya. Seakan dunia menghimpit kehidupannya. Keadaan ekonomi yang terbilang sangat jauh dengan teman-temannya, tidak membuatnya gentar untuk selalu memberikan senyum di depan ibunya. Seakan gerutan dibibirnya mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

     Kecerdasannya dalam bertindak banyak memengaruhi lingkungannya, di antaranya ia yang sering kali mengharumkan nama sekolahnya. Tentunya, sang ibu sangat menyayanginya.

     Keluarga kecil yang penuh keberkahan serta kebahagiaan, walau tanpa adanya kepala keluarga yang menemani mereka. Berjuang atau bertahan dari keterpurukan sebuah pilihan yang tidak perlu ia jawab. Kenyataannya ia sudah membuktikan bahwa ia adalah wanita yang kuat. Kesederhanaan yang dimilikinya tak jarang orang-orang iri terhadapnya.

     Kebenaran adanya menyulut kemungkinan komentar berdatangan. Begitulah, apalagi salahnya. Hidup memang tidak adil, pikirnya. Namun, tiba-tiba sanggahan itu terlempar jauh dipikirannya. Bukan sebatas memikirkan hal sepele seperti itu. Tapi, akhirat sedang menunggu kehadirannya. Karena roda kehidupan terus berputar, dan ia mempercayainya.

     Setelah ketiadaan ayah, kini aku membantu ibu yang mengambil alih peran kepala keluarga. Ibu bekerja sebagai pengantar makanan ke Pondok Pesantren Al-Fatih yang jaraknya tidak jauh dari rumahku sekitar 30 menit jika jalan kaki.
    
     Pondok Pesantren ini milik sepupunya ayah di Cirebon. Walau santrinya terbilang cukup banyak, tapi ibu hanya mampu membawa seratus kotak di pagi hari saja. Sedang siang dan sore dari saudara ayah yang lain. Setiap pagi, aku bantu ibu mengemas berbagai macam kue ke dalam masing-masing kotak lalu mengantarnya ke pondok setelah subuh sekitar pukul 05:00 WIB, karena jam enam para santri harus sarapan sebelum mereka berangkat ke sekolah. Sebelumnya aku pun sekolah di sana tapi aku tidak menetap sebagaimana santri pada umumnya, karena aku harus membantu ibu terlebih dahulu. Ditambah dengan kondisi sekarang, ayah sudah tidak lagi ada di sini.

     Dua bulan sebelum ayah meninggalkan kami, ibu ternyata mengandung anak terakhir. Namun, ibu tidak sempat mengabarkan hal ini kepada ayah. Karena, ibu pun sebelumnya mengira tidak akan hamil lagi. Allah Maha Berkehendak, segala sesuatu yang kita anggap tidak mungkin akan mudah bagi-Nya. Kun fayakun.

     Sempat ku dengar pembicaraan ayah ketika menjelang nafas terakhirnya, bahwa beliau menginginkan anak laki-laki karena agar kami ada yang menjaganya khawatir dirinya yang diambil dahulu. Kabar bahagia ini tak sempat didengar ayah, bahwa ibu telah hamil bayi laki-laki sesuai dengan keinginannya.

     Jika ayah masih bersama kami saat ini, maka jumlah anggota kami bertambah menjadi enam. Ayah, ibu, aku, Asma, Haura, dan Fatih. Muhammad Al Fatih, disapa Fatih. Ibu menamai adikku yang terakhir ini terinspirasi dari sosok pejuang Islam, sang penakluk konstantinopel. Di mana beliau itu merupakan pahlawan atau pemimpin yang dijanjikan telah disebutkan Rasulullah, “Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (ditaklukkan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.”(HR Bukhari).

     Sultan Muhammad Al Fatih merupakan seorang pemimpin umat yang prestasinya tidak diragukan lagi, ketika keberhasilan umat Islam dalam menaklukkan konstantinopel itu usia beliau terbilang masih muda yaitu sekitar 21 tahun. Oleh karena itu, ibu menginginkan Fatih akan menjadi pemimpin yang berhasil seperti Sultan Muhammad Al Fatih kala itu.

     Author itu fans beratnya Muhammad Al Fatih, keren lah kalau nemuin di dunia sekarang sosok seperti beliau..

Jangan Tunggu Besok!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang