3

11 6 2
                                    




Dua pasang kaki dengan ukuran yang berbeda kini melangkah pelan ditengah gelapnya malam menuju pagi. Hening, tiada suara lain selain suara sandal yang bergesekan dengan aspal. Keduanya hanya melangkah dalam diam, sesekali sambil melemparkan senyuman canggung. Beberapa kali Jeno memegang lengan Afsa yang berjalan dengan tertatih, takut jika gadis ini tiba-tiba terjatuh.

"Kamu ada acara apa disini?" Jeno akhirnya membuka suara, tidak tahan dengan keheningan yang sudah berjalan hampir 10 menit ini.

Afsa tersenyum, senang lawan bicaranya mau membuka suara, "Tidak ada acara khusus, hanya ingin main dan menenangkan pikiran." Balasnya dengan ramah.

"Dengan teman?" Jeno bertanya kembali, sambil memegang lengan gadis di depannya sebentar yang lagi-lagi hampir jatuh.

"Nope, sendirian." Ujarnya setelah menopang tubuhnya dengan benar.

"Sendirian?! Sungguh?" Jeno mengernyit heran. Bagaimana bisa gadis yang sepertinya lebih muda dari dia ini bermain di Negara seorang diri. Bukanya lebih baik bermain itu bersama teman, pikirnya.

"Sungguh. Rasanya enak aja kalau main sendiri. Self healing. Pikiran jadi lebih tenang setelah kepalaku pusing memikirkan sidang skripsi." Balas gadis itu dengan cengiran kecil dibalik maskernya. Memang dia benar-benar merasa bahagia selama berada di Seoul, berbeda dengan beberapa waktu lalu, wajahnya tampak kusut selagi mengerjakan skripsi.

Keduanya kembali melanjutkan percakapan percakapan kecil, seperti sudah berapa lama gadis ini tinggal di Seoul, sudah berkunjung kemana saja selama berada disini. Semuanya dominan tentang gadis ini. Afsa juga sedikit sungkan untuk bertanya hal-hal pribadi kepada Jeno. Sebenarnya satu yang dipikiran Afsa, sedang apa pria ini malam-malam keluar dari asrama, terlebih ia sendirian.

Setelah 20 menit berjalan santai, mereka sudah berada didekat bangunan apartemen Afsa. Afsa juga bingung, mau berterima kasih disini saja atau menawarkan lelaki ini masuk ke apartemennya. Sepertinya opsi pertama lebih efektif mengingat ia gadis muslim yang sedang sendirian di apartemen. Tidak mungkin membiarkan seorang pria dan wanita hanya berdua didalam apartemen apalagi baru saja mengenal. Ya meskipun pria ini adalah Jeno.

Langkah kaki afsa berhenti, begitupun dengan Jeno.

"Aku tinggal disana." Tunjuknya pada bangunan yang menjulang tinggi di depan mereka.

"Oh apartemen? Aku pikir kamu tinggal di hotel. Ayo aku antar masuk." Sahut Jeno sambil memandang lurus bangunan di depannya.

"Buset ini cowo santai banget si, gue udah dagdigdug ini. Dia artis bukan si elah." Batin Afsa.

"Tidak apa–apa, sampai sini saja. Bukannya bahaya kalau ketahuan artis bisa sampai masuk kesana? Nanti ada yang menguntitmu bagaimana?" balas Afsa pelan sambil menengok ke depan belakang kanan dan kirinya. Sungguh, ia benar benar takut jika saja ada sasaeng fans yang mengikuti mereka. Ia takut jika ada kabar yang tidak baik.

"Sudah ayo, nanti ada orang jahat." Jeno berlalu sambil menarik ujung lengan hoodie yang Afsa kenakan.

Sesampainya di lift, mereka baru membuka suara.

"Maaf, aku tau apa yang kau pikirkan. Memang bisa saja keberadaanku ini dilacak oleh fans, tapi aku sedang tidak membawa ponselku sekarang. Jadi bisa dibilang aman." Jeno berkata dengan kekehan kecil di akhir.

Tidak ada balasan dari Afsa. Dia takut. Dia juga memikirkan bagaimana caranya berbicara dengan lawan bicaranya yang begitu santai. Ini dia artis loh. Astaga.

"Ngomong-ngomong, kamu tadi ngapain keluar larut malam begini?" tambah Jeno, berharap rasa ingin tahunya terjawab.

Afsa mengangkat bungkusan plastik ditangannya, "Beli obat sama makanan. Aku habis sakit seharian ini, demam aja sih."

Ting..

Mereka kembali berjalan menuju unit apartemen yang Afsa tinggali. Sesampainya didepan kamar,

"Terima kasih banyak sudah menolongku. Aku tidak tau kejadian buruk apa yang akan menimpaku jika kamu tidak menolongku. Aduh, rasanya ingin menangis."

Afsa berkata sambil menunduk dan menggoyangkan plastic dan yang ada di tangannya pelan. Ia merasa sangat bersyukur sudah diselamatkan hari ini. Terlebih yang menyelamatkan adalah Jeno.

"Kamu terlalu banyak mengatakan terima kasih sejak tadi. Aku juga terkejut kamu tahu bahwa aku adalah Jeno. Agak aneh saja, penampilanku sudah tertutup tapi kamu tetap tahu." Sahut Jeno sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.

"Sudah, masuklah. Kamu butuh istirahat yang banyak. Lain kali jangan keluar sendiri malam malam. aku akan kembali ke asrama." Tambahnya.

"Okay, terima kasih. " Afsa mulai menekan password kamarnya perlahan.

Pintu pun terbuka, namun lelaki dihadapannya masih setia berdiri tegap. Belum ada tanda-tanda akan pergi dari hadapannya.

"Siapa namamu?" Tanya Jeno. Afsa mengernyitkan dahinya kecil. Aneh sekali tiba-tiba menanyakan nama.

"Kamu bisa panggil Afsa." Jawabnya sambil memegang gagang pintu. Sudah bersiap ingin menutup, hanya bersiap.

"Afsa, jangan bicara terlalu formal denganku. Aku bisa menjadi temanmu selama disini jika kau mau." Jeno berkata santai sekali sambil menyandarkan bahu pada daun pintu.

Astaga, jantung Afsa rasanya ingin melompat sekarang.

Belum sempat Afsa membalas, Jeno kembali berbicara.

"Aku yakin kamu lebih muda dariku. Benar?"

Afsa menganggukkan kepalanya pelan. Memang pria didepannya lebih tua 2 tahun.

"Aku seumuran dengan Park Jiji, maksudku Park Jisung." Afsa buru-buru membenarkan ucapannya. Park Jiji adalah panggilan sayangnya untuk Jisung, sebenarnya bukan Park Jiji tetapi Dek Ji, Adek Jisung.

"Ah, maknae. Okay, ingat jangan bicara formal lagi denganku jika kita bertemu kembali. Tapi aku yakin suatu saat kita akan bertemu kembali. Jaga dirimu. Bye." Jeno mulai melangkah menjauh sambil melambaikan tangan pelan.

Setelah pintu lift tertutup, Jeno mengembangkan senyum. Bodoh, ia pikir gadis didepannya masih usia sekolah. Sebenarnya ia sudah tau bahwa gadis ini sejak keluar minimarket sudah diuntit oleh pria yang kemungkinan adalah pencuri. Maka dari itu Jeno langsung berinisiatif mencari jalan lain untuk menyelamatkan gadis itu.

Aneh, pikirnya. Kenapa ia langsung berfikiran untuk menyelamatkan orang lain tanpa tau resiko dibelakang. Bagaimana ia akan menghadapi gadis itu, jika gadis yang ia selamatkan bukan orang baik.

Ia kembali melangkahkan kaki menuju ke asrama tempat ia tinggal bersama anggota Dream yang lain. Tidak terlalu jauh, mungkin membutuhkan waktu 15 menit dengan sedikit berlari.

Dilain tempat, ada seorang gadis yang menatap cermin berukuran sedang yang ada di kamar mandinya. Setelah membuka penutup kepalanya ia membasuh wajahnya dengan air dingin dan kembali mematut diri didepan cermin. Ia menampar pipinya,

"Sakit anjir! Beneran Jeno dong Ya Allah, Masyaallah. Ketutupan masker ae ketauan orang ganteng astaga. Apalagi bahunya, akkkkk!" Afsa mengatakan sambil memutar mutar tubuhnya dengan tangan yang memeluk bahunya sendiri, lalu memekik pelan.

Afsa menoyor kepalanya, lalu menghadap cermin lagi. "Astagfirullah sadar setan! Bukan muhrim." Ia berkata sambil memasang wajah cemberut.

"Tapi ini Jeno Ya Allah, cowok gue!!!" Afsa kembali berteriak seperti orang gila sambil melompat kecil, melupakan kakinya yang sedari tadi rasanya mau patah.

Yang pria sudah sampai dikamarnya kembali tersenyum akibat pertemuan konyol dengan gadis yang baru saja ia antarkan ke apartemen. Yang gadis sedang jerit-jerit tidak karuan sebab telah bertemu dengan lelaki tampan. Meskipun ultimate bias nya di NCT adalah Jaehyun, tapi Jeno adalah bias wreckernya. Tidak heran jika gadis itu sedang bertingkah seperti orang gila. Siapa yang tidak? 


~~~~


Halo temen-temen. Maaf ya update nya telat pake banget, udah seminggu lebih.

Semoga kalian suka dan gak bosen sama cerita aku. Thanks a lot udah mau baca dan mengapresiasi karyaku.

-puspi

Diafora - LJNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang