Breath
Jalanmu terseok-seok mendekati pagar pembatas di atap gedung. Kau berhenti dua langkah sebelum mencapai ujung. Kedua iris berwarna cokelatmu memandang jauh pada stratus yang membentang di langit biru.
Apa yang kau pikirkan?
Kau putuskan untuk menutup matamu ketika angin semilir berhembus, menerbangkan helaian rambutmu yang tertata tak teratur. Tiga detik, enam detik, sembilan detik. Pada hitungan ke sepuluh, air mata mulai merangsek keluar. Kau gigit sudut bibirmu hingga luka yang belum mengering disana kembali meneteskan darah.
Tidakkah itu sakit?
Cukup lama kau berdiam diri, hingga satu isak mulai meruntuhkan pertahananmu. Air mata semakin deras mengalir ibarat anak sungai. Kau berteriak begitu lantang, menangis pijar seolah mengadu pada angkasa yang menjawabmu diam.
Kakimu yang bergetar sepertinya sudah tak mampu menopang tubuh, hingga kau berakhir duduk berlutut. Tangismu semakin menjadi-jadi. Kau pukul dadamu berulang kali dengan kepalan tangan sampai kau terbatuk-batuk.
Apakah bebanmu sebegitu menyesakkan?
Perlahan tangismu mulai mereda dan menyisakan sesunggukan hebat. Wajahmu begitu sayu dan tampak berkilau karena cairan yang keluar dari pori-pori kulit, mata dan hidungmu. Kau abaikan semua itu.
"Aku lelah," ucapmu lirih pada satu semut yang berjalan acak di dekat lututmu.
Bertopang pada kedua tangan, kau mencoba berdiri. Berjalan terhuyung menyelesaikan sisa langkah menuju pagar pembatas yang terbuat dari beton setinggi perutmu. Ketika kau menatap ke atas, semburat jingga sudah mulai berkuasa.
Dua tumitmu saling membantu untuk melepas sneakers usang yang kau pakai. Kau mulai menaiki pagar dengan bertelanjang kaki.
Tak menunggu lama, orang-orang mulai berkerumun dan memperhatikanmu yang berada di atas gedung kosong berlantai delapan. Kau mendengar mereka berteriak untuk memintamu tidak bertindak bodoh.
Namun, apakah mereka sungguh peduli? Ketika mulut mereka sedang membujukmu, tangan mereka justru begitu asik mengangkat gawai untuk merekam aksi nekatmu. Mereka seperti menjadi wartawan dadakan.
Senyum hambar kembali tersungging. Kau sepertinya mempunyai pemikiran yang sama denganku, bahwa mereka munafik.
Matamu kembali terpejam dengan kedua tangan bergerak untuk menyeka wajahmu yang kuyu. Kau tarik dan hembuskan napas melalui mulut berulang kali, hingga derunya terdengar lebih teratur.
Ketika kau seperti bersiap menyatu dengan gravitasi bumi, ketika itu pula aku menyadari sekujur tubuhmu yang bergetar.
Kau … sangat ketakutan, bukan?
"Pegang tanganku." Aku berkata dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh atas aturan yang kulanggar. Aku---malaikat pencabut nyawa---telah menampakkan diri pada satu anak manusia.
Seharusnya kau menunjukkan ekspresi ketakutan melihatku. Setidaknya, terkejut? Namun, itu sama sekali tak kulihat pada raut wajahmu. Bibir pucatmu justru memunculkan senyum begitu lebar. Matamu bahkan sampai menyipit seperti bentuk bulan sabit.
Tanganmu hendak terjulur menyambut uluran tanganku sebelum tiba-tiba sebelah kakimu tergelincir. Seperti takdir yang tak mampu ditolak seberapa jauh manusia berlari, tubuhmu terhempas begitu saja pada kerasnya permukaan tanah.
Suara teriakan menjadi pengiring bela sungkawa atas terlepasnya roh dari jasad.
"Aku lelah." Tubuh mungilmu semakin mendusal seolah mencari perlindungan dalam pelukanku.
Kupastikan kali ini kau mendapat jawaban dari keluh kesahmu. Aku mengangguk kecil dan bergumam, "Tidurlah." Kubentangkan kedua sayapku dan membawamu dalam rengkuhan bulu-bulu hitam yang menghangatkan.
Untuk setiap kau, yang begitu sering merasa kecewa. Terimakasih atas segala usaha kerasmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phoenix writers
Randomkumpulan drabble geje tentang hitam dan putih. Lapaknya para leluhur dan tetua ngasih komentar pedas :D Yang lain juga boleh komentar, asal yang membangun, ya :) Menerima semua kritik dan saran dengan lapang dada dan hati ikhlas.