Tanya Sebelum Titik
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, ketika Fajar mendengar teriakan seseorang dari lantai satu rumahnya yang sedang sepi. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari pemuda 28 tahun tersebut. Dia jelas tahu dari mana asal teriakan itu. Lebih tepatnya, dia tahu siapa tamu tak berakhlak yang dengan seenak jidat main masuk rumahnya tanpa permisi.
Dia adalah Mentari, tetangga Fajar. Gadis remaja yang selanjutnya menyelonong masuk ke kamar, kemudian bergelayut manja di lengannya seperti anak monyet. "Mas Fajarku tersayang …."
Dalam hati Fajar tersenyum, tetapi jelas ia tutupi dengan ekspresi dinginnya. "Ada apa?" tanyanya sok tak acuh, kembali berpura-pura sibuk meng-input nilai pada laptop.
"Tari ada tugas matematika …." cicit remaja delapan belas tahun itu dengan kepala menunduk, mirip anak kecil yang baru saja ketahuan makan gula.
Dahi Fajar berkerut heran. Dia tahu itu bohong. Tari sudah kelas dua belas, sudah menyelesaikan segala macam ujian, dan sudah diterima di jurusan yang sama dengannya dulu.
Brak!
Fajar cukup terkejut dengan perbuatan Tari. Tangan mungil itu ternyata menyimpan kekuatan besar untuk menggebrak meja. "Orang cuma empat gelintir! Pokoknya harus dikerjain!" Selanjutnya, dia langsung keluar kamar tanpa mengucap salam.
Pemuda berkacamata itu hanya menggelengkan kepala sembari menahan senyum, membayangkan gadis yang dia sebut tak punya akhlak tersebut akan menjadi istrinya kelak.
"Aku tunggu di rumah sebelum jam sembilan," tuntut Tari yang tiba-tiba kepalanya menyembul dari balik pintu dan menghilang kembali di balik pintu.
Dari jendela, Fajar mengamati Tari yang menyeberang jalan. Sebelum masuk pagar, gadis mungil itu sempat-sempatnya menunjuk ke arahnya sembari berteriak mengancam. Senyum lebar kembali tersungging di bibir Guru Matematika tersebut. Fajar sepenuhnya sadar dia sedang dilanda sakit cinta.
Tangannya bergulir untuk mengambil kertas yang kekasihnya itu letakkan saat menggebrak meja, membaca dalam hati kalimat pada kertas, "Lukis sketsa grafik dari fungsi berikut." Itu mudah. Beberapa detik Fajar mencoba menerka jawabannya, hingga dia menemukan keganjilan dalam soal-soal tersebut. Segera pemuda dengan otak encer itu mengambil bolpoin untuk membuktikan praduganya.
***
Tari sedang asyik mendengarkan lagu di smartphone-nya sembari tidur-tiduran di atas kasur, ketika tiba-tiba ia mendengar percakapan dari lantai bawah.
Itu suara Ibu dan Mas Fajar! Segera ia langsung mematikan lagu dan menyambar sembarang buku, pura-pura belajar.
Sosok suami masa depannya masuk ke dalam kamar, dengan sebelumnya mengetuk pintu. Mas Fajar tampak lebih segar selepas mandi. Rambutnya sedikit basah dan kacamata sudah tak bertengger di hidung mancungnya. Garis rahangnya semakin terlihat jelas karena pantulan lampu.
Tari hanya bisa melongo dengan tatapan memuja. Bahkan, dia tanpa sadar sudah menerima kertas jawaban dari Fajar.
"Itu ... ada yang ingin kutanyakan." Fajar menggosok-gosok lehernya. Sepertinya otot lehernya ikut menegang karena grogi. "Tentang tugasmu. Apakah, maksud jawaban, kau---"
"Yes, I do," serobot Tari tak sabar menunggu tunangannya itu menuntaskan kalimatnya yang tak jelas. Kedua bola matanya menatap mantap pada lelaki yang sangat disayanginya. "Ayo, nikah!"
Kalimat frontal meluncur dari mulut mungil gadis manis pujaan Fajar. Seketika otak pintar Abdi Negara itu seperti menguap begitu saja, menyisakan tempurung kosong tak berisi. Dia lelaki tampan dan mapan dengan pipi bersemu merah setelah diajak nikah oleh gadis yang baru saja lulus SMA.


KAMU SEDANG MEMBACA
Phoenix writers
Randomkumpulan drabble geje tentang hitam dan putih. Lapaknya para leluhur dan tetua ngasih komentar pedas :D Yang lain juga boleh komentar, asal yang membangun, ya :) Menerima semua kritik dan saran dengan lapang dada dan hati ikhlas.