Sang Kala
Keheningan yang menyesakkan dada. Makan malam kali ini tak sehangat biasanya. Meja kayu sederhana dengan tiga kursi yang mengelilingi menjadi saksi biksu bagaimana ibu dan anak saling diam.
"Coba capcainya." Tangan Ibu terjulur untuk memasukkan sepotong daging ayam berbentuk dadu pada piring anaknya. Ibu berharap bisa memperbaiki suasana tak nyaman. Namun, Ibu hanya mampu termangu ketika lauk yang ia berikan dikembalikan ke dalam mangkok sayur.
"Aku sudah selesai," ucap ketus gadis cantik dengan rambut panjang tergerai. Suara derit kursi terdengar nyaring saat ia berdiri dengan gerakan kasar. Tanpa melirik sedikit pun pada Ibu, remaja tersebut berjalan cepat menuju kamarnya.
"Sai, Ibu---"
"Jangan kolot, deh, Bu!" Kedua mata menatap nyalang penuh amarah pada Ibu. Tak ingin berdebat, Sai memilih masuk ke dalam kamar.
Ibu terperanjat mendengar bantingan pintu. Ada kesedihan di wajah Ibu hingga menyebabkan mata sayunya memerah. Kalimat Sai terus terngiang di kepala.
Ia susuri pandangan pada jejeran piala dan piagam yang terpajang apik di atas meja. Semua milik Sai. Perasaan bangga merebah, menggantikan lara hati.
Senyum terpatri di bibir Ibu sembari mengusap satu tetes air mata. Ibu tengah merenungkan perkataan Sai tentang dirinya yang terlalu berpikir sempit dan ketinggalan zaman.
Mungkin memang benar.
***
"Nyonya? Nyonya? Anda baik-baik saja?"
Semua tampak mengabur dalam penglihatan. Bau anyir menyeruak masuk ke dalam hidung. Tatkala kesadaran telah kembali, rasa sakit terasa mendera sekujur tubuh. Ibu meringis kesakitan.
"To-long," rintih Ibu dalam ketidakmampuan bahkan untuk menggerakkan kepala. Sedikit melirik ke samping, Ibu melihat Bapak yang sudah tak sadarkan diri. Warna pekat darah sudah menutupi sekujur wajah tampan Bapak.
Gerakan kecil menyadarkan Ibu pada sosok mungil dalam dekapan. Bayi yang belum genap satu tahun tersebut mulai merengek karena tak nyaman.
"Nyonya, mohon tetap sadar. Kami akan berusaha mengeluarkan Anda!" teriak seseorang dari luar mobil. Dia ingin segera melakukan penyelamatan, tetapi terkendala bodi truk yang menggencet mobil hingga ringsek.
"Sai," lirih Ibu memanggil nama sang buah hati. Air mata tumpah begitu saja. Dengan segala kerendahan diri, Ibu terus bermunajat semoga Sai selamat.
Doa Ibu terkabul.
Sai akhirnya bisa dikeluarkan dari dalam mobil. Ibu sangat bersyukur, tetapi hatinya juga terasa teriris. Ibu berpikir mungkin sudah tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan Sai limpahan kasih sayang. Nelangsa membayangkan bagaimana kelak Sai harus tumbuh tanpa kedua orang tuanya.
Dalam rintihan pilu, Ibu teringat sekelebat mimpi. Sebuah mimpi manis yang seolah menjadi pertanda bahwa sudah saatnya untuk berserah pada Sang Pemilik Waktu.
Tangan Ibu mencoba bergerak untuk menjangkau tangan Bapak yang terkulai. Sulit, tetapi akhirnya berhasil. Dari tangan dingin Bapak, Ibu mendapatkan ketegaran hingga gemuruh dalam batin mereda.
Napas Ibu mulai melemah.
Putriku, Ibu bermimpi. Kau tumbuh begitu cantik dan cerdas. Maaf, ibumu terlalu buruk dan tak mengerti dirimu. Jadilah apa yang kau inginkan, asal segeralah kembali ketika kau merasa jalur yang kau pilih adalah salah. Terima kasih sudah menjadi anak ibu dan bapak. Terima kasih telah tumbuh dengan sehat.
Pandangan Ibu kembali mengabur sebelum akhirnya mata Ibu tertutup dalam damai.
Ibu dan Bapak sangat menyayangimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phoenix writers
De Todokumpulan drabble geje tentang hitam dan putih. Lapaknya para leluhur dan tetua ngasih komentar pedas :D Yang lain juga boleh komentar, asal yang membangun, ya :) Menerima semua kritik dan saran dengan lapang dada dan hati ikhlas.