Tugas 10

15 3 21
                                    

Angker

Krieeett

Derit pintu memecah keheningan malam. Setelah papa kayu itu sepenuhnya terbuka, lorong keremangan adalah hal yang pertama kali memenuhi penglihatanku. Debu tipis menutupi lantai kemarik sewarna merah darah. Dinding yang dibangun dari batu bata tak terpoles menambah kesan magis.

Kuberanikan kaki untuk melangkah, menggerakkan tungkai yang terasa digelayuti tangan-tangan tak kasat mata. Dadaku berdetak nyaris menggila, seolah meronta untuk berbalik arah. Sayangnya, aku tak mempunyai pilihan selain harus menyusuri lorong mencekam ini hingga sampai pada ujungnya.

Sunyi dan senyap. Hanya desing serangga malam yang tertangkap pendengaran. Suaranya yang beritme mulai berubah tatkala aku semakin menajamkan telinga. Gamelan dan kidung jawa mengalun pelan dan lembut, pun sarat dengan aura mistis.

Bulu kudukku meremang seketika. Dengan gerakan kaku, aku memutar kepala untuk menghadap samping. Sisi yang sejak awal berusaha untuk aku hindari.

Sebuah kebun yang hanya bertuan gelap. Mata nyaris tak mampu melihat apa pun kecuali bayangan kokoh pohon-pohon, dan di antara itu, aku melihatnya.

***

Bunyi benda bergetar membangunkanku dari lamunan. Smartphone di tanganku menyala terang dalam taksi yang melaju pelan dan halus di jalanan kelak-kelok. Sebelum aku menggeser tanda hijau pada layar, benda canggih itu kembali diam.

Kuputuskan untuk menelpon balik sembari mengamati pemandangan pegunungan yang terpampang di luar mobil. Kabut tebal menyamarkan semua yang seharusnya dapat dilihat. Langit begitu kelabu, sinar sang fajar bahkan tak mampu menembus pekatnya.

"Sampai endi?" Belum sempat aku berucap salam, suara di seberang sudah menyahut.

"Sepertinya masih … oh, aku di depan." jawabku dengan antusias menyadari taksi yang kutumpangi akhirnya memasuki pelataran luas sebuah rumah. Lega akhirnya sampai ke tempat tujuan.

Aku keluar dari dalam taksi---tentunya sesudah membayar---dan hanya mampu menatap ngeri rumah besar bergaya jawa kuno tepat di depanku. Pelatarannya luas dan tak terurus. Di ujung kiri dan kanan teras terdapat patung dwarapala. Konon, dua arca tersebut mempunyai tugas untuk menjaga pintu gerbang masuk keraton.

"Akhir e." Ren muncul dari pintu samping rumah, berlari dan langsung merangkul leherku erat sampai aku hampir kehabisan napas.

Aku terbatuk-batuk kecil akibat kelakuannya. Kekuatan perempuan kelakian-lakian temanku ini memang di atas kaum hawa pada normalnya

"Yok opo perjalanan Yogya--Malang? Kesel a?"

"Lumayan," jawabku lunglai.

"Ayo, ues, ndang istirahat." Ia tarik lenganku kuat sembari satu tangan lain menarik koperku. Menggiringku ke sisi lain dari rumah utama yang kata Ren tak berpenghuni.

"Selamat datang di rumah indekos kita," ucapnya setelah membuka pintu. Raut wajahnya begitu bangga memperkenalkan rumah yang akan aku tepati beberapa waktu ke depan. "Koyok e wingit, tapi percoyo sama aku, di sini nyaman banget. Kowe mesti bakal kerasan."

Aku tak menggubris setiap kalimatnya. Aku sibuk dengan mengamati setiap detail yang ditangkap panca inderaku. Semua mirip dengan video yang ia kirimkan padaku, juga mirip dengan gambaran menyeramkan yang aku narasikan dalam otak.

"Jan---"

"Sorry, Kak."

Ren hampir saja mengumpat setelah seekor kucing tiba-tiba jatuh tepat di atas kepalanya. Pemiliknya, seorang gadis mungil dengan tutur begitu logat kekotaan muncul dari arah tangga. Ia tersenyum begitu manis ketika kami bertemu tatap.

"Kucingmu minta disekolahin ancen," sungut Ren.

Gadis metropolitan itu tertawa terbahak. Sepertinya tahu kalau satire yang diucapkan Ren sebenarnya hanya guyonan. Aku tanpa sadar ikut mengangkat senyumku.

Pandanganku beralih pada kebun yang berada tepat di hadapan jejeran kamar. Pohon-pohon mangga kusadari mulai berbuah ranum siap dipetik. Cuitan burung yang saling bersahutan. Butiran embun yang menggumpal di lengkung dedaunan. Aroma tanah basah nan sejuk masuk ke dalam hidung, menjernihkan setiap penat yang terbentuk.

Aku menarik napas dalam, mengisi paru-paruku dengan udara yang begitu kaya akan oksigen. Sejenak aku menutup mataku 'tuk merenung.

Ketakutan terbesar berasal dari dalam diri sendiri. Suatu pola pikir yang terlalu rumit dan terus menghantui, tetapi sebenarnya sarat akan fatamorgana.

Phoenix writersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang