Tablet III ; The Taming of Enkidu

196 14 4
                                    

Tidak bisakah kamu dengarkan? Seperti sedang mengawini sapi betina lenguhan panjang bersahutan mengelilingi satu poros. Mencabik indra pendengaran Enkidu. Sekali lagi ia memerintahkan barisan wanita itu untuk angkat kaki. Suara kerincing dari lamunan para wanita kuil Ishtar kian menghilang dibalik pintu kayu khas ruang pemujaan. Yang tertinggal disana hanya manik merah membakar dari singa tertinggi Mesopotamia. Kaki ringan Enkidu menyapu untuk mendekatkan jarak diantara mereka. Hanya dibatasi oleh tangga altar dan sehelai kain suci bertengger di bahu lebar raja. Enkidu sekali lagi berada di hadapannya yang begitu tinggi. Jika saja sosok keemasan itu tak sedekat sekarang, jika ia lebih jauh dari sebelas liga menuju Nippur mungkin kemarahan Enkidu tidak akan mendambakan tulang Gilgamesh.

Enkidu mengejarnya keatas altar menghadapi paras rupawan yang senantiasa mendung. Kepalan tangannya begitu kuat untuk memberi bekas pada gunung.

"Siapa yang mengijinkamu berdiri dihadapanku?"

"Kau salah, tuanku."

Suara Enkidu tidak terdengar seperti teriakannya yang marah, malah seperti dengung atau nada yang ia buat lebih rendah.

"Raja Kullaba kau terasa seperti surga, tapi Dewa tau bahwa dirimu sendiri terbuat dari dosa. Dan kefasikan itu membuatku ingin memberikan kepalamu pada gunung."

Matanya menuntun kedalam helai-helai hijau di balik manik keemasan. Teliti dan destruktif. "Dan kau disini, menghalangiku dengan tekad perisai di lidahmu? Membunuhku katamu?"

"Kau sudah takut?"

"Hah!"

Ia mengintip ke arah pria emas itu melalui helaian panjang rambut hijau, kakinya tidak berisik. Gilgamesh mengamatinya dengan sombong. Dia memiliki tubuh yang kurus, lebih pendek darinya, tetapi ada sesuatu dalam cara dia berdiri. Sebuah kekerasan pantang menyerah yang mengkhianati beberapa kekuatan lain.

Diam ada diantara mereka selama sepersekian detik sebelum akhirnya Gilgamesh mengendurkan ketegangan di rahangnya, "Barangkali tanah masih menjadi isi kepalamu."

Gilgamesh mengambil gelas barley disebelahnya, "Ini adalah kaidah raja. Dan aku maharaja."

"Kau tumbuh lebih berani."

"Aku tidak mengerti mengapa tindakanmu yang menghentikan ritualku bukan disebut keberanian, Enkidu." Gilgamesh membiarkan tangannya menyangga dagunya. Memperhatikan kain yang dikenakan Enkidu dengan intimasi. Bola mata biram yang bergulir dari bawah ke atas.

"Tuanku... aku lupa telah menganggumu. Aku pantas untuk sebuah hukuman," Enkidu menggelengkan kepala menyebabkan intan dan perhiasan di surai zamrud itu bergemerincing indah.

"Hukum gantung? penggal? atau kau akan membakarku dalam api?"

"Aruru telah memberimu keberanian bukan untuk menciptakan kemarahan raja."

"Aku menciptakan kemarahan hanya untuk orang barbar sepertimu."

"Cih!"

Ia membuang muka kemudian ia maju dari tempat duduk panasnya. Jari telunjuknya begitu istimewa untuk terpajang lurus kearah Enkidu. Ia menekan giginya.

"Kau—tanah liat yang diciptakan dengan buruk beraninya menyebutku seorang barbar,"

"Kau memang barbar."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gilgamesh ; The Man Who Mourn (slowburn)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang