Chapter 2

944 175 41
                                    

Athala terbangun dengan kepala yang berdenyut, rasa pusing menguasai setiap sudut pikirannya. Suara tetesan air terdengar pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. Ruangan ini terasa asing, dingin, dan penuh kesunyian yang menekan. Matanya mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan. Yang pertama kali ia lihat adalah tiang infus tua di samping ranjang, karatnya mengelupas seakan sudah berdekade terlupakan. Selang infus yang keruh terhubung ke lengannya. Saat ia mengangkat tangan, ada rasa sakit yang menohok, mengingatkan bahwa perban melilit erat di keningnya.

“Kenzo...” suaranya keluar pelan, hampir tak terdengar, seolah tenggelam di dalam kesunyian yang menyesakkan. Ia mencoba duduk, namun setiap gerakan membawa rasa sakit yang tajam di sekujur tubuhnya. Sejauh mata memandang, hanya ada bayangan suram dan cahaya redup yang menembus dari celah-celah atap bocor, seperti sepotong sinar bulan yang terperangkap di dunia kelam ini.

"Kenzo," panggil Athala lagi, lebih keras, tapi tetap tak ada jawaban. Yang ada hanyalah suara langkah kaki yang bergema samar, menghantui setiap sudut ruangan. Bukan Kenzo. Bukan siapa pun yang ia kenal.

“Siapa di situ?” tanyanya dengan suara gemetar.

Klik.

Cahaya lampu tiba-tiba menyala dengan keras, silau yang menyakitkan menghantam mata Athala hingga ia harus menyipitkan pandangannya. Baru saat itulah ia sadar bahwa ruangan ini dipenuhi oleh sosok-sosok lain—wanita-wanita dengan wajah pucat yang tertidur di atas ranjang. Mereka terlihat tak berdaya, terbungkus dalam keheningan yang dingin. Seperti boneka yang ditinggalkan begitu saja.

“Kamu sudah siuman?” Suara seorang perempuan memecah kesunyian. Di sebelahnya berdiri seorang suster, mengenakan seragam putih dengan topi yang sudah usang dan sedikit ternoda darah. Senyumnya datar, tapi matanya kosong, tidak ada cahaya kehidupan di sana.

Athala mengangguk perlahan, tubuhnya gemetar. “Ini... di mana?” suaranya keluar parau.

“Kamu di rumah sakit,” jawab suster itu, suaranya datar, seperti kalimat yang sudah diulang ratusan kali. Tidak ada kehangatan, tidak ada belas kasih.

Athala meremas seprai tempat tidurnya, ingatan tentang kecelakaan mulai menyeruak. “Laki-laki yang bersamaku ... Kenzo, di mana dia?”

Tatapan suster itu berubah menjadi kosong, pandangannya seakan menembus Athala, membuat udara di ruangan ini semakin dingin. “Dia di ruang ICU. Kondisinya kritis.” Tangan suster itu terulur, memeriksa denyut nadi Athala dengan cara yang kaku dan kasar.

“Antar aku ke sana,” pinta Athala, cemas menguasai setiap nadinya. Ia memaksa diri untuk duduk, tetapi suster itu segera menekannya kembali ke ranjang dengan kekuatan yang mengejutkan. Wajahnya mendekat, napasnya terasa dingin.

“Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kondisimu juga masih buruk,” suaranya seperti perintah yang tak bisa dibantah.

“Tapi, aku harus lihat Kenzo!” Athala tidak bisa menahan emosinya. Ia meraih selang infus di lengannya dan menariknya dengan kasar, darah langsung mengalir dari bekas luka jarum.

Suster itu membentak, “Kamu harus dengarkan saya!” Tanpa peringatan, tangannya menampar wajah Athala dengan keras. Dunia Athala berputar, pandangannya kabur sejenak, namun ia masih bisa melihat seringai yang terpatri di wajah suster itu, mengerikan, seperti topeng yang tersenyum di atas wajah yang tidak memiliki jiwa.

Sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran, seorang pria dengan jas dokter muncul dari balik bayang-bayang. Langkahnya pelan namun mantap, dengan sikap dingin yang membuat udara terasa lebih berat.

“Pasien sudah bangun?”

“Sudah, Dokter,” jawab suster itu.

“Pindahkan ke ruang isolasi.”

***

“Athala...”

Suara lembut menggema di telinga Athala. Saat ia membuka mata, yang pertama kali ia lihat adalah wajah familiar: Nirvana, Nadila, dan Chacha. Mereka berdiri di sekelilingnya, dengan raut yang tidak menunjukkan kebahagiaan. Luka dan perban terlihat menghiasi tubuh mereka, seakan semua orang di ruangan ini sama-sama terluka, sama-sama tersesat.

“Kalian... kenapa bisa ada di sini juga?” tanya Athala dengan suara lemah. Ia ingin bangun, tapi kepalanya kembali berdenyut keras, memaksanya tetap terbaring.

“Udah, tiduran aja dulu,” ujar Nadila sambil menekan pundak Athala dengan lembut.

Ketiga wanita itu saling pandang, mata mereka berbagi kesedihan yang mendalam. Nirvana dengan lehernya yang terbalut perban, Nadila dengan infus di tangannya, dan Chacha yang mengenakan penyangga kain pada lengannya.

“Kita udah dua minggu di sini, Thal,” jawab Chacha, suaranya pelan namun sarat dengan ketakutan yang belum terucapkan.

“Dua minggu?” Athala mengulang, merasa bingung dan panik. “Tapi... bukannya kalian kirim undangan buat reunian seminggu yang lalu?”

“Kita juga dapet undangan yang sama dari lo,” jawab Nadila, nada suaranya penuh kegelisahan. “Kita berangkat bareng. Di tengah jalan, truk besar nabrak mobil kita. Sopir gue meninggal di tempat.”

Athala merasa udara di ruangan ini tiba-tiba menipis. “Ini persis kayak yang terjadi sama gue dan Kenzo. Kita... kita dijebak?”

Chacha mengangguk, diikuti oleh Nadila dan Nirvana yang wajahnya semakin pias. “Siapa yang ngelakuin ini?”

Tidak ada yang bisa menjawab. Diam adalah satu-satunya respons yang mereka miliki, seolah kata-kata tak cukup untuk menjelaskan kengerian yang mereka rasakan.

“Udah coba keluar dari sini?” tanya Athala dengan napas tertahan.

“Udah, berkali-kali. Nggak ada jalan keluar, Thal,” sahut Nirvana. “Kayaknya tempat ini benrr-benrr nggak mau ngelepas kita.”

Athala menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. “Kenzo... gue nggak tau dia gimana sekarang. Gue takut terjadi apa-apa sama Kenzo.”

“gue sempet dengar ada pasien di ICU yang kondisinya parah. Mungkin itu Kenzo,” tambah Nadila dengan suara serak.

Athala mencoba bangun, tapi tubuhnya tak mau bekerja sama. Ia jatuh dengan keras, pusing dan pandangannya mulai mengabur. Chacha dan lainnya buru-buru membantunya kembali ke ranjang.

“Lo harus tenang dulu,” ujar Chacha. “Lo kehilangan banyak darah.”

“Gue nggak bisa tenang,” bisik Athala, air matanya mulai mengalir. “Kenzo butuh gue.”

Keheningan yang menggantung di antara mereka tiba-tiba pecah oleh isakan Nadila. “Kenapa kita harus terjebak lagi di tempat seperti ini?”

“Jangan-jangan ini semua ulah Nova?” tanya Nirvana dengan suara bergetar.

Athala mengangkat wajah, tatapannya penuh ketakutan. “Nova? Dia kan udah dipenjara. Mungkin sekarang dia udah dieksekusi.”

“Tapi ingatan lo pasti kuat, Thal,” kata Chacha dengan nada putus asa. “Lo pernah lihat rumah sakit ini sebelumnya, kan?”

Athala mengangguk lemah, mengingat bayang-bayang dari penglihatannya dulu. “Iya, tapi waktu itu cuma sekali. Gue kira cuma halusinasi.”

Ketiga temannya saling pandang lagi, ekspresi mereka penuh kecemasan. “Lo nggak lihat apapun lagi? Nggak ada petunjuk?”

Athala menggeleng, air matanya mengalir deras. “Gue cuma bisa lihat masa depan kalau Kenzo ada. Selama dia nggak nyentuh gue, gue nggak bisa lihat apa-apa.”

Nadila menggenggam tangan Athala erat. “Itu berarti kita harus temukan Kenzo. Apapun yang terjadi, kita harus keluar dari mimpi buruk ini.”

***

Find the Key 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang