Chapter 3

193 27 17
                                        

Athala duduk di tepi ranjang, napasnya masih terengah dan tubuhnya gemetar. Ruang perawatan itu mendadak terasa makin sempit dan menyesakkan. Ketiga temannya menatapnya dengan raut khawatir, tapi Athala tahu mereka semua berbagi satu tujuan: menemukan Kenzo dan keluar dari mimpi buruk ini.

“Kita harus cari Kenzo sekarang,” ujar Athala dengan suara yang penuh tekad meskipun terdengar lemah. “Kalau gue bareng Kenzo, mungkin gue bisa lihat apa yang akan terjadi. Itu satu-satunya cara.”

Nadila, Nirvana, dan Chacha mengangguk setuju meski ketakutan jelas terpancar di mata mereka. Tidak ada yang tahu apa yang menunggu di luar sana, tapi mereka tak bisa tinggal diam. Dengan langkah tertatih, mereka berempat meninggalkan kamar perawatan, berpegangan satu sama lain, seolah ketakutan akan tersesat dalam kegelapan yang meliputi bangunan tua ini.

Koridor yang mereka masuki panjang dan suram, diterangi hanya oleh lampu neon yang berkelip-kelip, seakan bisa padam kapan saja. Cat dinding yang mengelupas, lantai yang penuh debu, dan bayangan gelap dari pintu-pintu yang setengah terbuka membuat lorong ini terasa seperti tak berujung.

“Tempat ini nggak kayak rumah sakit biasa,” bisik Nirvana, mencoba memecah keheningan yang menusuk. “Kayak nggak pernah ada yang ngurus.”

Athala mengangguk setuju, matanya bergerak liar ke setiap sudut, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang ada hanya kekosongan dan bayang-bayang. Mereka terus melangkah, perlahan dan hati-hati, melewati ranjang-ranjang kosong dan peralatan medis yang berkarat. Di salah satu pojok, ada kursi roda tua yang berdecit saat disentuh angin, seolah mengingatkan mereka bahwa tempat ini pernah hidup, tapi sekarang hanya dihuni oleh sisa-sisa yang sudah terlupakan.

Samar-samar, Athala mendengar suara, pelan namun jelas: suara detak jantung yang sangat cepat, tapi bukan dari tubuhnya sendiri. Ia berhenti sejenak, menajamkan telinga, dan suara itu hilang secepat datangnya.

“Ada yang denger sesuatu?” tanya Athala dengan napas tertahan.

Semua diam, mendengarkan, tapi hanya ada kesunyian. Nirvana menggeleng pelan. “Nggak ada apa-apa, Thal. Kita harus terus.”

Tiba-tiba, sebuah suara dentuman keras bergema dari ujung lorong. Seakan ada sesuatu yang berat terjatuh. Athala dan yang lainnya tersentak, jantung mereka berdegup kencang. Cahaya lampu neon bergetar dan redup sejenak sebelum menyala kembali. Hawa dingin makin terasa menusuk, membuat setiap langkah mereka semakin berat.

“Siapa di situ?” panggil Nadila, suaranya bergetar namun dipaksakan tetap tegar.

Tidak ada jawaban, hanya suara tetesan air yang konstan, menambah kecanggungan suasana. Keempatnya saling berpandangan, lalu melanjutkan langkah dengan waspada. Suara dentuman itu seperti peringatan yang terus menghantui pikiran mereka.

“Ruang ICU harusnya di ujung lorong,” kata Chacha dengan nada yang hampir tak terdengar, menunjuk ke sebuah pintu besar dengan kaca buram yang terlihat tertutup rapat. “Mungkin Kenzo ada di sana.”

Mereka berjalan mendekat, namun langkah mereka terhenti saat tiba-tiba terdengar suara napas berat dari balik salah satu pintu ruangan yang tertutup. Athala menoleh, detak jantungnya makin tak terkendali. Ia bisa merasakan bulu kuduknya berdiri, firasat buruk mengalir dalam dirinya.

“Kita nggak sendiri di sini,” bisik Athala sambil mundur selangkah. Ia bisa merasakan tatapan dari balik kegelapan, seolah ada yang mengintai mereka.

Pintu ruangan di samping mereka mendadak terbuka dengan keras, menghantam dinding hingga mereka semua tersentak mundur. Dari balik pintu yang terbuka, muncul sosok pasien wanita, wajahnya pucat dengan mata yang cekung. Gaun rumah sakit yang ia kenakan penuh noda darah yang sudah mengering. Wanita itu berdiri diam, memandang mereka dengan tatapan kosong, sebelum perlahan berjalan mendekat.

“Thal, kita harus pergi!” seru Nirvana panik, menarik lengan Athala yang membeku melihat pemandangan itu.

Athala tersadar dan segera berlari bersama yang lain, meninggalkan sosok wanita yang berdiri mematung. Suara langkah mereka bergema di lorong panjang, dan Athala bisa mendengar napasnya sendiri yang tersengal-sengal. Detak jantungnya menggema di telinganya, semakin kencang seolah berlomba dengan waktu.

Mereka sampai di depan pintu ICU. Pintu itu berkarat, dan gagangnya terasa dingin saat Athala mencengkeramnya. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, ia mendorong pintu itu terbuka. Udara di dalam ruangan lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. Ruang ICU itu gelap, hanya diterangi oleh lampu monitor yang berkedip-kedip.

Di tengah ruangan, terbaring sosok Kenzo. Wajahnya pucat, dengan selang-selang yang menempel di tubuhnya, terhubung ke mesin yang berbunyi pelan. Athala berlari mendekat, menggenggam tangan Kenzo yang dingin dan lemah.

“Kenzo, gue di sini,” Athala berbisik, air mata mengalir di pipinya. Tangannya gemetar saat menyentuh Kenzo, berharap bisa merasakan kehangatan, tapi yang ada hanya rasa dingin dan ketakutan.

Tiba-tiba, monitor detak jantung Kenzo berbunyi lebih cepat, berdering keras seperti alarm kematian. Sosok pria berjubah putih, sosok yang pernah dilihat Athala sebelumnya, muncul di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun senyumnya yang samar terlihat jelas, penuh dengan ancaman.

“Kalian tidak seharusnya ada di sini,” ucap pria itu dengan nada datar namun penuh tekanan. “Kenzo harus tetap di sini, bersama kami.”

Athala mundur, rasa takut menjalar di sekujur tubuhnya. Ia tahu pria itu bukan dokter biasa. Ada sesuatu yang mengerikan di balik tatapan matanya, sesuatu yang Athala belum bisa pahami. Saat pria itu melangkah mendekat, Athala merasakan dunia di sekelilingnya mulai berputar. Ia berusaha menarik Kenzo, tapi tubuhnya terasa lemah, seolah ditarik kembali ke dalam mimpi buruk yang tak berujung.

“Lepaskan dia!” teriak Nadila, namun suaranya tenggelam dalam bunyi detak mesin yang semakin cepat.

Sebelum Athala bisa merespons, lampu ruangan mendadak padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Yang terdengar hanya napas mereka yang panik dan bunyi langkah kaki mendekat. Keberadaan pria berjubah putih itu seakan memburu mereka dalam kegelapan yang tiada akhir.

“Athala, kita harus keluar dari sini sekarang!” teriak Nirvana, menarik Athala yang mulai kehilangan kesadaran. Mereka berempat berlari, tak peduli dengan arah yang mereka tuju, hanya ingin lari dari sosok yang terus membayangi mereka.

Namun saat mereka berbalik, pintu yang tadi mereka lewati sudah menghilang, menyisakan dinding polos tanpa celah. Mereka terjebak, dikelilingi oleh kegelapan yang seakan menelan semua harapan. Langkah kaki semakin dekat, dan suara pria itu berbisik dari balik kegelapan, penuh ancaman yang membuat nyali mereka ciut.

“Kalian takkan pernah bisa keluar...”

Athala memejamkan mata, berharap ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, dinginnya lantai dan suara napas mereka yang terengah membuatnya sadar: ini nyata. Dan mereka benar-benar terjebak.

***

Wihh lama banget ya hiatusnya, ada yang masih nungguin, kah?

Komen yang banyaaaak banget kalau mau lanjut dan tetep gratis.

Kalau sepi bakalan pindah lapak atau dibikin jadi e-book.

Find the Key 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang