HIRAETH || 3. TAR

41 5 0
                                    

"Dijemput jam berapa?" Ayah bertanya sambil melepaskan helm dari kepalaku.

"Ada latihan voli hari ini, belum tau pulangnya jam berapa. Nanti Ai misscall," jawabku sembari merapihkan rambut.

Ayah mengangguk, lantas berkata, "kalo sekiranya sampe malem, izin pulang duluan aja."

"Males Ayah jemput kamu malem-malem," sambungnya menggerutu.

"Iya. Ai masuk dulu, Ayah ti-ati di jalan. Jangan ngelirik janda depan gang," peringatku sambil menyalimi tangannya.

Dia mendengus. "Ayah masih setia sama ibu ini lho."

Aku hanya manggut-manggut karna kalimat ayah menurutku benar adanya. Lantas aku berjalan menuju gerbang, meninggalkan ayah yang juga hendak berlalu pergi.

Mataku menatap sekilas pada Jessi yang notabenenya adalah partner Zee dalam kepengurusan OSIS, tengah memperbaiki dasinya. Lalu beralih pada dua laki-laki yang sedang menatapku, mereka berada di sisi gadis itu. Sudah seperti kacungnya saja.

Mereka mendapat jadwal menjaga gerbang dan menyapa murid, juga memeriksa kelengkapan atribut sebelum diperbolehkan memasuki sekolah.

"Zee mana, Ai?" tanya Jessi yang sepertinya baru sadar akan keberadaanku.

Aku mengernyit heran. "Emang belum dateng?"

"Gue cari tadi di kelas kalian, nggak ada. Tas nya juga nggak ada."

"Lah, tumben," gumamku sambil terus berjalan.

"Woy, nyet!" teriakku dengan tak niat saat melihat gadis berambut sebahu yang sangat kukenal.

Bagaimana tidak kenal, jika hanya dia dan Zee yang menjadi teman terdekatku dan paling tau dengan diriku—si nolep ini.

Kecuali satu kelebihanku yang hanya diketahui oleh kedua abang dan ayahku saja. Bukannya aku tidak bisa percaya pada mereka, aku hanya belum siap jika mereka tau dan akan menjauh.

Dia membalikkan badan, balas menatapku dengan alis yang terangkat satu. Dia bertanya lewat ekspresi wajahnya itu.

Wah, tak kusangka dia sadar diri dipanggil monyet begitu. Aku berlari kecil menyusulnya.

"Nggak papa."

"Tumben bener itu dasi," sindirku para Ira yang kali ini terlihat rapi.

Ira menggerutu. "Nggak dibolehin masuk kalo nggak lengkap plus rapi."

Aku dan Ira melanjutkan langkah menuju kelas.

"Eh, gue abis cuci mata tadi. Cogan sekolah sebelah," lanjut Ira bercerita dengan antusiasnya. Cepat sekali berubah-ubah mood-nya.

Tatapan mata yang dia tunjukkan jelas hanya ingin membuatku iri.

"Cogan tapi cuman bisa diliat dari jauh doang buat apa," sahutku tak minat.

"Beuh, ya deketin lah! Mana keren lagi pas dia naik vespa."

Vespa? Sekolah sebelah? Pikiranku langsung tertuju pada satu orang. Tapi kan, anak vespa bukan hanya dia saja.

"Itu. Deketin cogan kelas sendiri dulu buat ngelatih mental," ujarku dengan dagu mengarah pada satu laki-laki yang baru keluar dari kelas. Namanya Aldev kalau tidak salah. Duduknya di samping Zee, sebangku.

"Nggak lah. Buat Zee aja itu, ikhlas lahir batin gue mah."

«»«»«»«»«»

Aku sibuk dengan rambutku, mencepolnya, sembari tetap berjalan menuju lapangan outdoor. Sepulang sekolah ini aku benar mengikuti latihan voli.

Haish, sebenarnya aku mager, tetapi ini hari pertamaku menjadi senior bersama rekan setim ku. Ya, masuknya murid baru di kelas sepuluh yang berarti menambah anggota voli lantaran mereka juga diwajibkan mengikuti salah satu eskul.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang