Sahabatku, Gibran

134 19 3
                                    



Jadi, asal muasal gue bisa sahabatan sama cowok tinggi berkacamata itu tak lain dan tak bukan adalah karena kepindahan gue ke Batavia.

Jadi hari itu hari Rabu sepuluh tahun yang lalu. Yang gue inget adalah itu beberapa hari sebelum masuk SD. Umur gue masih enam tahun. Dan gue dengan tubuh gue yang dari kecil udah mungil ini turun dari mobil Papa, berdiri dengan kedua kaki pendek gue di depan gerbang hitam sebuah rumah dua lantai.

Gue merhatiin orang-orang yang sibuk mindahin barang-barang ke dalam rumah. Bukan barang gede kayak sofa atau kasur, sih. Cuma beberapa alat dapur, lukisan hasil karya Papa waktu gabut, beberapa peralatan rumah tangga lainnya, sama satu grand piano. Sedangkan dengan badan gue yang mungil ini gue ngedekap gitar coklat akustik punya Papa.

Beberapa kali gue disuruh minggir karena takut ketendang—gue terlalu kecil katanya makanya nggak kelihatan. Dan berakhir gue berdiri agak jauh dari gerbang, di belakang mobil Papa.

Mata gue merhatiin lingkungan rumah baru gue. Jalanan di depan rumah nggak terlalu gede, sih. Tapi kelihatan asri banget karena banyak pohon yang lumayan menghalau panas. Terus tatapan gue jatuh ke rumah di seberang rumah gue. Di sana, berdiri anak kecil cowok berkacamata di samping mobil sedan hitam—yang mungkin seumuran sama gue. Kita tatap-tatapan sebentar sebelum anak itu dipanggil sama Mamanya.

Dan bisa kalian tebak, itu pertama kalinya gue bertatap mata sama Gibran, orang yang kelak bakalan jadi sahabat gue.

Sebelumnya biar gue perjelas dulu. Kisah persahabatan gue sama Gibran nggak semulus di drama yang salah satu anak menghampiri anak lainnya sambil senyum cerah dan ngajak kenalan "Halo aku Alvin salam kenal ya."

Kisah gue bisa sahabatan sama Gibran ini terkesan hambar dan nggak indah. Bahkan terkesan malu-maluin.



Waktu itu udah sebulan dari gue pindah ke rumah baru gue. Yang nanya asal gue darimana, gue jawab. Gue dari kota nun jauh di sana, yang harus melalui jalanan macet panjang dan berliku-liku. Nggak, sih, lebay doang gue. Gue pindah dari tempat gue lahir dan dibesarkan alias Buitenzorg.

Oke, lanjut.

Waktu itu udah sebulan dari gue pindah ke rumah baru gue. Dan selama sebulan itu juga gue nggak pernah bertegur sapa sama anak kecil yang waktu itu gue belum tau namanya. Kita cuma pernah papasan sekali dua kali pas sama-sama mau berangkat sekolah. Atau gue yang nggak sengaja liat dia turun dari mobil jam empat sore waktu lagi main di halaman sama kucing gue.

Kalo kalian penasaran apakah gue kesepian sebagai anak tunggal dan nggak ada temen main, jawabannya adalah nggak, gue nggak kesepian. Karena gue punya seekor kucing calico betina yang gue namain Cherry. Dia jadi satu-satunya temen gue pas Papa sama Mama sibuk kerja dan pulang malem. Tapi gue fine-fine aja, sih. Toh di rumah ada piano jadi gue bisa main piano kalo bosen.

Tapi semua itu berubah waktu gue nemuin Cherry mati sepulang gue sekolah.

Gue masih inget banget hari itu hari Selasa. Gue pulang jalan kaki karena emang sekolah gue cuma di depan komplek, setelah sebelumnya gue mampir di minimarket beli makanan kucing buat Cherry. Sambil nenteng plastik putih bertuliskan nama minimarketnya, gue jalan pulang. Kalo kalian bayangin gue bakal jalan sambil lompat-lompat kayak anak kecil di novel-novel, kalian salah. Gue nggak segemes itu.

Seperti biasa, gue buka gerbang rumah yang emang duplikat kuncinya gue bawa. Tapi alangkah terkejutnya Alvin kecil waktu nemuin kucing kesayangannya udah terbujur kaku dengan mulut berbusa di dekat pot bunga Mamanya.

Oke, mulai dari sini bakalan agak cringe soalnya gue waktu kecil emang agak alay.

Gue lari ngedeketin mayat Cherry. Gue goyang-goyangin pelan badannya sambil nyebut-nyebut nama dia. Dan waktu Cherry ga ngerespon apa-apa, gue mulai nangis. Awalnya masih nangis pelan. Tapi lama-lama nyesek, cuy, nangis ditahan-tahan. Akhirnya meluap dah tu tangis gue.

(Beast)ieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang