02 || EUNOIA

1 0 0
                                    

h a p p y   r e a d i n g
d o n ' t   f o r g e t   t o   g i v e   a   v o t e

"Bener dia orangnya?" tanya Monica menahan Luna yang akan berjalan.

"Bukan! Bawel banget sih lo," ucap Luna dengan penuh emosi. "Tapi kalo gantengnya sih sebelas dua belas lah."

"Gantengan siapa?" tanya Monica.

Luna tertawa. "Gantengan si mimpi lah, cuma akhlaknya aja yang kurang."

"Perasaan dicerita lo dia baik deh," ujar Monica terheran.

"Gue gak bilang di mimpi, secara akhlak itu emang akhlak aslinya," jelas Luna menahan tawanya.

"Kalo suatu saat lo butuh bantuan gue buat pdkt sama si mimpi, gue janji pasti bakalan bantu," ujar Monica.

"Dih, ogah ya gue mah," ujar Luna sambil menggaruk kepalanya. "Manding sama kak Matteo gak sih?" ujar Luna lalu tertawa terbahak-bahak.

"Hadeh, terserah yang cantik deh, lo mah mau siapa-siapa juga tinggal milih," ucap Monica membuat Luna mendelik padanya.

"Dikira gue bidadari apa? Gue gak cantik-cantik banget juga kok," ujar Luna membela diri dan juga malu karena dipuji.

"Merendah untuk meroket ah, males," putus Monica, "gue jadi pengen kroket deh."

"Karaoke kaliii," ujar Luna menahan tawanya.

"Kroket bodoh ... lo gak tau kroket apa?" tanya Monica beserta toyoran pada kepala Luna.

"Gak tau gue, apaan emang?" tanya Luna dengan polos.

"Makanan, di planet lo emang gak ada kroket?" tanya Monica kesal, sahabatnya itu bukanlah orang yang sangat kaya sehingga tidak tahu gorengan tersebut.

"Kayak gimana? Kali aja kan gue pernah makan tapi lupa," ujar Luna.

"Lo tanaya abang-abang gorengan aja dah, males gue," jawab Monica singkat. Mood Monica sepertinya memang selalu buruk

- e u n o i a -

"Bye, gue duluan ya, Lun. Btw lo beneran dijemput kan?" tanya Monica yang sudah mengendarai motornya.

"Dijemput kok, lo hati-hati ya, Mon." Tangannya melambai-lambai pada Monica, padahal dia juga tidak tahu akan dijemput atau tidak.

Ia menghela napas dalam-dalam saat melihat pesannya masih belum dibaca sampai sekarang, padahal sudah hampir satu jam ia mengirimnya. Ia memang selalu meminta jemput setengah jam sebelum waktu pulang. Agar orang yang akan menjemputnya itu bisa siap-siap dan tidak terburu-buru.

Karena kesal, Luna menelepon kakaknya untuk menjemputnya, panggilan pun langsung di balas olehnya.

"Bang, Bisa jemput Lun ...."

"Gak bisa, lo naik angkot aja ya, kalau duitnya gak ada ntar gue ganti."

"Ok deh bang, makasih ya."

Luna mematikan teleponnya dengan perasaan sedih, lagi-lagi seperti ini. Ia memasukkan ponselnya dan mulai berjalan sedikit ke arah tempat yang bisa dijangkau angkutan umum.

"Lun," panggil seseorang di belakang.

Luna menoleh ke asal suara. "Eh, Kak Matteo."

e u n o i aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang