Siswi-siswi dengan Kelopak Mata Sempurna

7 1 0
                                    

Tidak sejengkal pun bayanganku akan kembali bertemu si blasteran Portugis itu di sekolah yang sama. Jika dulu kami di sekolah menengah yang sembilan puluh persen dihuni bangsa Han, saat ini kami belajar di sekolah internasional. Tingkat akhir. Lagi-lagi si blasteran itu masuk di kelas yang sama denganku. "Sekolah ini bertaraf internasional. Jangan heran keturunan Portugis berkeliaran di sekitarmu," ungkapnya bangga. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri soal kenyataan tentang dirinya yang tidak bisa disanggah siapa pun. Bahkan hukum akan bertindak bila kau tidak setuju akan kebenaran bahwa Agatha Mishell sangat rupawan! Wajahnya memikat dengan rambut panjang dan sedikit bervolume. Sebagai lelaki normal, setidaknya ada bagian dari wajahnya yang kusukai –ah maksudnya sering kuperhatikan. Oh, tunggu, jangan pernah berpikir bahwa aku sama dengan keparat-keparat itu! Sialnya tidak ada kata lain yang lebih normal untuk mengungkapkan bahwa aku menyukai bulu matanya yang lentik menyempurnakan sipit matanya.

Akulah satu-satunya yang memanggilnya Getha. Percayalah bahwa tidak ada filosofi khusus dari sebutan itu. Aku hanya malas memanggil nama orang dengan tiga suku kata, apalagi lebih. Meskipun pada awalnya berusaha memanggil Aga atau Gatha, nyatanya kedua panggilan itu tidak sedap diucapkan. Lalu bagaimana dengan 'Mishell'? Boleh jadi penulisan Mi-Sel si blasteran ini tidak dipakai wanita manapun di dunia ini. Lagipula, kenapa orang tuanya harus menaruh 'tempurung' di antara namanya. Aneh sekali.

Rambut hitam kecokelatan yang jatuh sepunggung itu kini terpampang di hadapanku. Kami baru tiba di sekolah lagi selepas masa hibernasi yang –untungnya tidak kupakai untuk berleha-leha di kamar. Tanpa permisi, kupercepat langkah kemudian mendahuluinya. Terdengar kata 'astaga' karena merasa seseorang sudah menganggunya pagi-pagi.

"Untungnya kau, Tuan," katanya yang segera menyadari bahwa aku pelakunya.

Aku sempat berbalik lalu melontarkan kalimat ini, "maaf, siswa teladan harus cekatan dan tepat waktu."

Kelas sudah dipenuhi siswa dan sebagian besarnya berhimpun dengan kelompok masing-masing. Getha datang kemudian mendekati kelompoknya yang berada di sisi kanan kelas ini. Sebagai seorang incaran, Getha tidak risih. Dia betul-betul menikmati takdirnya sebagai gadis cantik. Hidupnya memang klise. Terlahir dan tumbuh memikat, tentu banyak yang menyukainya. Memang sudah menjadi hukum alam. Jadi, jangan katakan bahwa hidup ini tidak adil. Dia hanya beruntung. Meskipun Getha tidak terang-terangan mengakui bahwa dirinya cantik, dengan rutinitas mengambil wajahnya dengan kamera telepon genggamnya, menunjukkan bahwa dia mengakui kecantikannya. Kau bisa menjelajahi sosial medianya yang sembilan puluh persen berisi wajahnya yang berkali-kali kuakui bahwa dia memang cantik. Ah, sesungguhnya bosan kalau cuma memandangi wajahnya. Kali ini aku setuju dengan pendapat Chen.

"Semester ini sepertinya akan seru," bisik Erie. Dia siswa yang datang dari Taipa, menyeberang ke Peninsula demi sekolah ini. Sudah berkawan denganku sejak menit pertama duduk di kelas ini. Memang betul, aku hanya perlu beberapa menit saja untuk mendapatkan teman. Songong!

"Kau bilang apa?"

"Apa kau tidak sadar ada siswi asing di sana?" Erie menunjuk ke bangku milik salah seorang siswa kelas ini.

"Kenapa dia duduk di bangku Cia?" tanyaku. "Siapa dia?"

"Gadis itu mungkin tidak ingin bersekolah di sini lagi. Kita semua tahu dia jenius. Dia butuh sekolah yang akreditasinya lebih tinggi lagi," ulas Erie dengan pandangannya yang masih lekat memperhatikan siswi yang baru dilihatnya hari ini.

"Jadi menurutmu Cia pindah sekolah?" aku tercengang oleh pernyataan Erie.

"Punya keahlian dan cerdas. Universitas mana yang tidak bisa menerimanya?"

"Tapi kelas ini belum selesai. Mana mungkin dia meloncat ke universitas."

Erie hanya mengangkat bahu. Tidak paham dengan keputusan Cia untuk pindah sekolah. Dia memilih angkat kaki dan seolah tidak begitu memedulikan soal kepindahan siswi itu. Sempat kuperhatikan gerak kakinya menuju sekumpulan siswa lain yang tampak saling berbisik. Tentu saja mereka membicarakan siswi yang duduk di meja Cia itu. Berbanding terbalik denganku. Meskipun tidak ada alasan manusiawi kenapa Cia seperti melarikan diri, tetapi yang kulihat waktu itu setidaknya berhasil membuat penasaran. Ngomong-ngomong soal siswi itu, sempat kuperhatikan wajahnya yang terlihat sering menunduk. Beberapa siswa menyapa dan dia balas dengan santun lalu menunduk lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ManipulativeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang