"Bunaaa, Nara nggak mau pindah ke rumah Nenek."
Jung Nara, gadis yang tengah merengek tidak jelas, delosoran di lantai sambil kedua kakinya menendang-nendang udara.
Tangisnya terasa pilu banget tanda dia benar-benar tidak setuju dengan keputusan sang Buna kali ini.
Pindah ke rumah Nenek. Kenangan buruk itu bahkan belum hilang. Masih terasa seperti kemarin sore hal itu terjadi padanya. Padahal sudah belasan tahun lalu. Kini dirinya sendiri yang akan menghampiri kenangan buruk, bisa jadi akan terus dihantui olehnya.
"Maafin Buna ya sayang."
Buna tidak tega sebenarnya melihat putri kesayangannya yang tidak ingin pindah dari rumah ini.Maklum, hidup di kota besar kemudian pindah untuk selamanya di desa yang bahkan didalam bayangan Nara-pun tidak ada sama sekali untuk tinggal disana.
Buna tidak mengatakan jika Nara ini anak oramg kaya yang manja. Tidak! Nara bahkan anak perempuannya yang polos, perihal belajarpun dia tidak pintar, sopan santunnya kepada orang lain pun terdidik baik didalam diri putrinya. Hanya kepada Kakak laki-lakinya saja bisa tiba-tiba hilang akhlak seketika.
"Disana banyak temen-temen Kakak, Dek! Jangan bikin Buna makin terbebani."
Jung Jaehyun, putra pertama Buna saudara kandung Jung Nara. Jaehyun keluar dari kamar sambil membawa kardus bertuliskan 'Buku Novel Nara Cantik!' Kemudian dijatuhkan kardus itu disamping koper yang ada diluar pintu.
"ITU KAN TEMEN LO BUKAN TEMEN GUE!!! GUE JADI KAMBING RUMAHAN NTAR DISANA, HUAAAA!!"
Perpisahan antara Buna dan Ayah menyebabkan ketiga orang itu harus meninggalkan rumah ini. Bukan karena di usir, ini adalah keputusan Buna didukung penuh oleh Jaehyun sebagai anak laki-laki tertua yang menjadi tombak pelindungnya Nara dan Buna.
Lebih baik meninggalkan kenangan buruk itu disini, dan memulai hal baik, hidup baru didesa. Rumah Nenek tidak terlalu buruk, bahkan sangat nyaman. Jaehyun dulu pernah tinggal beberapa waktu sebelum di boyong ke kota, dulu. Kemudian Nara lahir juga di kota, datang ke desa hanya untuk berkunjung saja.
Adaptasi tentu saja itu akan mereka hadapi. Tidak sulit bagi Buna dan Jaehyun, justru adaptasi itu adalah titik awal mereka membentuk hidup baru disana. Tapi mungkin tidak untuk Nara.
"Mulut lo kalau ngomong di filter bisa nggak si, Dek!" Jaehyun menyentil pelan mulut Nara. Setelah memastika Buna keluar rumah untuk menjemput ke depan gang mobil yang akan membantunya pindahan.
Nara diam namun masih sesenggukan sambil menatap kesal Jaehyun dengan mata yang penuh air mata dramanya beserta hidung belernya yang kini memerah.
"Kakak paham kamu nggak mau pindah, tapi coba pikirin hati Buna. Sedih loh Buna sekarang lihat kamu begini." Jaehyun mengelap hidung Nara dengan ujung lengan sweater hitamnya.
"Disini, setiap sudut rumah ini memang tidak ada kenangan kita bersama Ayah, tapi penuh kenangan bagi Buna. Apa kamu tega ngelihat Buna sedih terus, hm?"
Nara tertunduk sedih. Benar juga.
"Sayang banget sama Buna, 'kan?"
Nara mengangguk atas pertanyaan Jaehyun."Pindah nggak apa-apa, ya? Nanti Kakak bantu cari teman yang banyak disana yang bisa Kakak jamin bakal sayang sama Nara banget-banget, ngejagain Nara kayak Kakak." Jaehyun tersenyum hingga lesung di pipinya terlihat. Tangannya mengusap sayang rambut lembut adiknya.
"Tapi nggak mau ketemu sama lampir." Rengek Nara pelan. Menyebut nama yang memberi kenangan buruk dipertemuan singkat mereka dulu.
"Pasti bakal ketemu karena lampir masih hidup. Tapi Kakak janji, sebelum ketemu dia kamu sudah punya pagar yang kuat." Jaehyun mengusap air mata Nara yang baru saja turun lagi.