𝐑𝐮𝐭𝐡𝐯𝐞𝐧, 𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐲𝐬𝐭𝐞𝐫𝐢𝐨𝐮𝐬 𝐜𝐢𝐭𝐲.
═══🍁═══
“Waktunya sudah tiba,” laki-laki paruh baya berumur lebih dari satu abad dengan wajah awet muda itu berujar setelah maniknya terbuka sempurna.
Dirinya —gadis bersurai coklat dengan manik mata sejernih madu itu berdiri menatap ketiga orang dihadapannya dengan netra sendu nan ragu. Mereka, orang-orang yang menatapnya kini tersenyum manis —terlihat miris.
“You’ll be fine, Ev.” Lelaki tampan di depannya mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang akan ia hadapi apapun itu, ia akan baik-baik saja.
“A-aku tidak tahu. Apakah… sendirian… bisakah?” pertanyaannya yang tak beraturan sejalan dengan tangannya yang bergetar.
Wanita paruh baya di depannya tersenyum begitu manis, namun membuat perasaan Ev makin rapuh. Tangannya digenggam erat oleh wanita itu, meninggalkan sebuah botol kaca berisi cairan merah pekat saat wanita itu melepas genggamannya. Ev menampilkan eskpresi bingung yang kentara walaupun netra takut masih terpantri.
“Harus kau minum saat waktunya,” pesan tegas nya disampaikan dengan baik di telinga Ev walau Ev tidak mendapat penjelasan sedikitpun.
“Apa aku harus—“ sebelum Ev selesai bertanya, mereka menyentak menyuarakan hal yang sama. “Harus!”
Gadis itu menelan sesak mendengar jawaban tak terbantah itu. Perlahan kabut putih mulai hadir entah darimana dengan iringan suara mantra yang terlontar dari bibir sang lelaki. Ev kembali dibuat runtuh, ia takut, ia tidak berani, ia tidak bisa.
“Ev, ingat kata-kata kami.” Lelaki tadi bercakap dengan senyum masih setia terpantri walau air mata kian meluruh.
Ev menggeleng pelan, kelopak matanya perlahan menutup tanpa perintah saat kabut semakin menebal dengan warna semakin memekat —hitam, menjadi warna satu-satunya.
“A-aku tidak bi—“ bibirnya bergetar dan kini sebelum kalimatnya selesai terucap ia merasa tubuhnya ditarik paksa ke suatu tempat.
Hahh…
Ev terbangun —berada di atas tempat tidur dengan posisi duduk dengan dada naik turun juga tangannya yang bergetar hebat mengambang diudara dan bersentuhan dengan dahinya.
Ia merasa habis bermimpi buruk.
Tapi, bukankah tadi itu…
nyata?
Tergesa, Ev bangkit dan menyalakan lampu kamar yang dihiasi kegelapan. Penglihatannya seketika dapat melihat jelas seisi kamar yang begitu rapih —nyaris tanpa celah. Kemudian, telapak kaki telanjangnya mendekati sebuah koper besar di samping ranjang yang terpantri sebuah botol di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐞𝐜𝐫𝐞𝐭𝐮𝐦
Fantasy𝐌𝐲𝐭𝐡. 𝐎𝐧𝐥𝐲 𝐚 𝐟𝐞𝐰 𝐡𝐮𝐦𝐚𝐧𝐬 𝐛𝐞𝐥𝐢𝐞𝐯𝐞 𝐢𝐭. 𝐁𝐮𝐭 𝐝𝐢𝐝 𝐲𝐨𝐮 𝐞𝐯𝐞𝐫 𝐭𝐡𝐢𝐧𝐤 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐢𝐭? 𝐇𝐨𝐰 𝐝𝐢𝐝 𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐲𝐭𝐡 𝐜𝐨𝐦𝐞 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐛𝐲 𝐢𝐭𝐬𝐞𝐥𝐟? 𝐀𝐧𝐝 𝐰𝐡𝐚𝐭 𝐢𝐟 𝐭𝐡𝐞 𝐰𝐨𝐫𝐥𝐝'𝐬 𝐠𝐫𝐞𝐚𝐭𝐞�...