#04 Kematian Keluargaku.

329 25 7
                                    

Aku sampai di rumah tepat jam 19.00.
Renata memang sedang menungguku di ruang depan.

"Kamu kenapa baru pulang sih mas, aku nungguin kamu dari tadi, kita semua khawatir. Terlebih lagi HP kamu kenapa tidak aktif?"

"Maaf sayang, HP ku mati. Dimana anak kita?"

"Di dalam sama ibu, kamu mandi dulu ya sayang. Nanti temui mereka kalau sudah bersih."

Renata segera menyiapkan baju ganti untukku di dalam kamar.

********
Kurang lebih 30 menit aku sudah selesai mandi dan makan malam.
Aku bermain main dengan kaka Tiara dan adik Fino.

Ku gendong adik Fino sampai tertidur, sementara Tiara di tidurkan ibunya di dalam kamar.
Memang kami selalu berbagi tugas, hari ini jadwal ku tidurkan Fino. Besok kita bergantian dan seterusnya.

********

"Aku belum mendapat pekerjaan," ucapku.

"Yang sabar ya, semoga besok dapat."

"Aamiin" jawabku.

Aku menceritakan tentang mang Udin kepada Renata.
Tentang rasa kuah dan baksonya yang nyaris sempurna, ditambah lagi dengan harga yang sangat murah.

"Wah, aku mau dong mas. Kapan kapan bungkusin ya,"

Begitulah tanggapan Renata ketika ku ceritakan, tapi sayang sekali. Bakso mang Udin tidak menerima pesanan.

Setelah itu ku ceritakan tentang kecelakaan yang baru saja ku lihat , tidak ketinggalan dengan kakek penjual cobek di jalan.

*******

Hari ini hari kedua ku mencari pekerjaan.
Namun hasilnya masih tetap nihil, aku belum menemukan lowongan pekerjaan juga sampai akhirnya aku pulang seperti kemarin.
Ingin rasanya bisa jualan sendiri, tapi modal saja aku tidak punya.

Dua, tiga, empat, lima hari aku hanya mendapatkan lelah. Berjalan dari tempat satu ke tempat yang lainnya mencari pekerjaan. Belum dapat juga!

Rasanya seperti ingin putus asa, tapi keluargaku sedang memerlukan uang untuk kebutuhan sehari hari.

"Mas, badan Fino demam."

Renata berlari menghampiriku, dia memintaku untuk segera ke dalam kamar.

Ku sentuh badan adik Fino, ternyata benar, dia demam tinggi.
Wajahnya begitu pucat, bibirnya kering sekali.

"Kamu punya simpanan kan sayang, kita bawa Fino ke dokter."

Ku ambil dompetku, hanya ada satu lembar uang kertas berwarna merah yang tersisa.

Tiara dirumah dengan orangtuaku, sedangkan kami segera ke dokter.
Bukan kami enggan mengundang dokter ke rumah, kami terpaksa membawa Fino malam malam begini karena uang kami yang sangat minim.

Kami berjalan kurang lebih lima menit untuk sampai ke rumah dokter Heru.

"Adik ini terserang gejala DBD, harus segera di bawa ke rumah sakit untuk menerima perawatan."

*PYAAAARRRRRRRRRRRRRRR*

Kami sontak diam dan saling memandang.

Ya Allah, bagaimana ini.

Di saat keuangan kita sedang krisis begini, kenapa adik Fino harus dirawat di rumah sakit.

Kami pulang dengan setengah berlari, ada rasa cemas sembari kami memandangi wajah Fino.
Ingin rasanya cepat membawa anakku ke rumah sakit. Tidak perduli uang dari mana nantinya, yang terpenting dia bisa menerima perawatan disana.

*********

"Mas, darimana kita bisa membayar rumah sakit nanti," Renata mendekat.

"Kamu tenang saja, itu urusanku ya. Kamu fokus menjaga Fino."

Aku mencoba menenangkan istriku, padahal aku juga tidak tau darimana aku mendapatkan uang.

"Aku pamit pulang dulu ya, siapa tau aku dapat pinjaman untuk biaya rumah sakit adik Fino,"

Renata mencium punggung tanganku dan kembali ke dalam ruangan dengan bapak. Tiara ada di rumah bersama ibu.

"Ya Tuhan, kemana aku harus mencari pinjaman, sedangkan aku saja belum bekerja. Bagaiamana caranya aku membayarnya nanti."

Aku berjalan menundukkan kepala.

"Hey, bro! Ada apa gerangan!"

Ternyata suara Riyan, dia menepuk pundakku.

"Lagi ada masalah ya? Ayo cerita." desaknya.

"Iya, anakku masuk rumah sakit. Aku bingung mau cari pinjaman dimana,"

"Emang kamu udah dapet kerja? kalau kamu masih nganggur, mana ada yang mau kasih pinjaman sama kamu, pasti mereka takut kamu ngga bisa bayar nantinya."

"Iya bener. Itu yang sebenarnya aku pikirkan,"

"Semangat ya bro, yang sabar. Semoga anakmu cepat sembuh dan segera dapat pinjaman."

Padahal aku berharap, Riyan bisa membantuku. Karena dia terkenal banyak uang di kampung ini.

"Iya," senyumku asam.

Riyan berlalu pergi.

"Mau kemana dia, kenapa malam malam begini dia keluar dengan pakaian yang sangat rapi?"

Ah sudahlah, aku pun berlalu pergi melanjutkan perjalanan. Masih sangat tajam bau parfum yang di pakai Riyan di hidungku.

"Hari sudah semakin malam, sebaiknya aku kembali ke rumah sakit untuk istirahat sebentar, besok aku bisa mencari pekerjaan lagi, siapa tau bisa sekalian dapat pinjaman uang."

********

"Sayang, doakan aku ya. Semoga aku bisa dapat pekerjaan dan pinjaman,"

"Iya, mas. Aamiin" jawab istriku lusuh.

Ku titipkan Fino dan Renata kepada bapak. Dialah penggantiku disini, karena aku harus mencari cara bagaimana caranya bisa mendapatkan uang dan pekerjaan.

Aku berjalan naik turun angkutan umum mengelilingi kota, akhirnya aku bertemu lagi di pangkalan gerobak bakso mang Udin.

Tetapi untuk saat ini, aku harus bisa menahan rasa lapar ku. Entahlah, aku benar benar tidak memegang uang sedikitpun.

"Mass ......!" Panggilnya.

Bersambung*****

KEMATIAN KELUARGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang