#9 Kematian Keluargaku.

277 23 19
                                    

Beberapa menit setelah nya, tidak ada suara perempuan itu lagi.
Aku memilih untuk diam, tidak merespon kata kata terakhinya.

Jari jari kaki dan tangan sudah mulai bisa di gerakan, bahkan anggota tubuh perlahan bisa aku gerakan dengan normal.

Benar benar tidak percaya. Kenapa setelah suara itu pergi dan menghilang, anggota badan bisa berfungsi lagi seperti semula.
Aku bisa bergerak, bahkan aku bisa bangun dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku sudah bisa melihat seluruh ruangan di sini.

Dimana perempuan itu?

Apakah perempuan itu memiliki ilmu sihir yang hebat, sehingga bisa membuatku terkunci. Lalu setelah ia pergi, aku bisa dengan mudah membukanya.

"Benar benar aneh, perempuan misterius yang menakutkan!"

Aku langsung berdiri dan bersegera mungkin keluar dari ruangan aneh ini. Bau wangi melati masih sangat menyengat di hidungku, aku tidak memperdulikan suara yang memanggilku dari belakang.

"Tidak, ini pasti sihirnya lagi! dia mau mempermainkanku kembali!"

Tanpa menoleh, aku terus saja melangkahkan kaki, akhirnya aku berhasil keluar dari ruangan ini.

Pintunya yang rusak dan keropos itu segera ku tinggalkan, aku berlari melewati ruangan-ruangan lain hingga sampai ke pintu depan.

"Allhamdulilah, akhirnya aku bisa keluar dari rumah ini!" ucapku sembari menghembuskan nafas pendek.

Ucapan syukur ku panjatkan, suasana dingin malam menjelang pagi menusuk sampai ke tulang tulang.
Menggigil sekali, sampai sampai bibir atas dan bawah bergetar, mengering dan pucat pasi.

"Aku harus segera pulang, aku sudah tidak tahan lagi ada di sini!"

Di dalam rumah suasana begitu hangat, bahkan aku tidak merasakan panas ataupun dingin.
Tetapi setelah aku berhasil keluar, badanku langsung menggigil begini.

Ini benar benar-benar aneh, aku tidak bisa berpikir positif lagi.
Sebaiknya aku harus cepat pergi dan cepat sampai ke rumah dengan selamat.

Berjalan sembari memeluk tubuh dengan kedua tangan. Sepertinya aku tidak sanggup terus berjalan.
Kenapa keberangkatan terasa lebih singkat.
Namun saat aku pulang, perjalanan begitu sangat panjang ku rasa.

***

#BRAAAAAAAAAKKKKKKKKKK

Seekor kucing hitam menjatuhkan tong sampah di pinggir jalan.
Setelah menjatuhkan, kucing itu berlari. Mungkin ia terkejut melihatku dan spontan melarikan diri.
Terlihat jelas bola matanya yang seperti menyala di kegelapan saat menoleh, ditambah lagi hanya ada beberapa mobil yang melintas di jalan raya.
Sepi sekali, nyaris hanya aku saja yang berada di tempat ini.

Dingin yang menusuk badan semakin melampau batas, rasanya tidak sanggup lagi untuk tetap berjalan.
Aku berhenti dan membungkukan badan, tidak ada seorang pun yang melihatku ada di sini.
Duduk di pojok ujung gedung, menjauhi jalan raya dan setelah itu entah lah, aku tidak mengingat apa-apa.

***

"Syukurlah, kamu bangun mas!" ucap Renata menyentuh tanganku.

"Kenapa tiba-tiba aku ada di sini, bukannya aku berhenti di pinggir jalan karena dingin?" tanyaku.

"Riyan yang mengantarmu pulang, Jun. Dia melihat kamu tidak sadarkan diri di pinggir jalan." Ibu mendekat.

Semantara Tiara dan Fino masih tertidur.

"Memang wajar kalau Riyan melihatku, meskipun jalanan  sangat sepi. Dia memang hampir setiap hari keluar malam." pikirku.
Seluruh badanku terasa sangat panas, bau tajam balsem tercium sangat menyengat di hidungku.
Selimut tebal menutupi seluruh badan sehingga membuat keringat deras keluar.

Keesokan harinya, Renata menanyakan tentang bagaiamana aku bisa jatuh pingsan di pinggir jalan.
Bukan hanya itu, dia menanyakan pekerjaan yang di tawarkan oleh mang Udin.

Mana mungkin aku bisa menjawab dengan jujur, aku tidak bisa menceritakan apa yang telah terjadi saat mang Udin mengajaku ke rumah besar milik seseorang perempuan misterius itu.

Ah entah, aku tidak melihat rupanya, namun aku bisa tau bahwa ia perempuan melalui suaranya.
Aku tidak menjawab pertanyaan istriku dengan jujur, aku berdalih tidak bertemu dengan mang Udin dan setelah itu aku kedinginan lalu menepi hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

"Ya sudah mas, lain kali jangan terlalu percaya dengan orang yang baru saja dikenal. Meskipun kita sedang membutuhkan uang, alangkah baiknya harus tetap berhati-hati,"

Ucapnya sembari meletakan satu gelas teh manis hangat di depanku, aku hanya mengangguk mengiyakan kata-kata istriku.
Sebenarnya betul apa kata dia, aku harus lebih berhati-hati lagi terhadap orang yang baru ku kenal, terlebih lagi mang Udin.

Ingin rasanya menanyakan langsung apa maksudnya menjebak ku di rumah perempuan itu.
Ingin  rasanya berkata kasar, tapi aku sadar. Aku lebih muda darinya, tidak sepentasnya aku melakukan itu.
Biarlah, anggap saja kejadian semalam memang tidak ada.
Aku sudah memaafkan mang Udin, tetapi bukan hanya itu. Aku akan berusaha menjauhi diri dari penjual bakso itu.

***

"Mas berangkat dulu ya,"

Aku berpampitan kepada Renata, hari ini aku berusaha mencari pekerjaan kembali dengan membawa surat lamaran kerja.
Ku cium kening Tiara dan Fino anakku, mereka melambaikan tangannya ke arahku.

"Dadahhh ayah, hati-hati ya" teriak si kaka Tiara.

Aku tersenyum dari kejauhan melihat keluarga kecilku.

Hari ini aku pulang tidak dengan membawa kabar yang menggembirakan, Renata masih terlihat sabar menanggapiku.
Namun aku yakin, hati dan otaknya sedang berperang melawan sabar.

Renata masih sibuk menyisir rambut si kaka Tiara di depan televisi.
Sedangkan Fino sedang bermain bersama mobil-mobil kecilnya.

"Ayah, Tiara sudah lama sekali tidak makan itu!" tunjuknya.

Matanya berbinar penuh harap ketika memandangku.
Aku tersenyum tipis menanggapinya.
Wajar saja jika Tiara rindu makanan yang ada di sana.
Dulu kami memang sengaja keluar rumah untuk makan, bukan hanya itu. Kami selalu memanjakan Tiara dengan makanan enak dan mainan-mainan yang banyak.

"Iya, doakan ayah dapat kerja dulu ya, nanti kita semua makan bareng lagi kaya dulu," jawabku dengan lembut.

Kaka Tiara mengangguk polos dan melanjutkan menonton televisi kartun kesukaannya.

***

Ku gapai tubuh istriku.
Renata terlihat sangat cantik malam ini dengan baju mini berwarna merah mudanya.
Dia sudah bersiap menutup tubuhnya, namun aku berusaha menahan.

Ku lirik kedua anakku sudah tertidur pulas di ranjang yang berbeda, namun masih dalam satu kamar.
Ku dekatkan wajahku dan berbisik lirih ke telinganya.

"ASTAGHFIRULLAH!"

Aku terkejut dan langsung memeluk tubuh istriku, Renata.

Aku mendengar suara perempuan itu berbisik juga ke telingaku.

***

✨Mengapa suara itu bisa Juna dengar di rumahnya?

✨Bisikan apa yang suara itu bisikan kepada Juna?

✨Bagaimana respon dari Renata, ketika melihat keanehan suaminya?

                    ___________

STOP OR NEXT? 

KEMATIAN KELUARGAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang