Sore

28 3 0
                                    


Papurika, hana ga saitara

Hareta sora ni tane wo makou

Ha– AAAA

Aku terkejut ketika seseorang menepuk pundakku sebelum kuselesaikan satu bait lagu tadi. Terlihat sebuah wajah nyengir geli begitu aku menoleh ke belakang. Kusentuh tombol pause pada layar handphone, melepaskan earphone di telinga, kemudian mengetuskan raut wajahku sambil marah. Aku ingin memarahinya.

"Heh! Kena-"

"Aku tidak sengaja mengejutkanmu kok! Kamunya sendiri yang kaget."

Menyebalkan. Orang ini memotong kata-kataku sebelum aku selesai bicara.

"Ada ap-"

"Tidak ada. Cuaca hari ini benar-benar cerah, ya? Disini kosong, kan?" tunjuknya pada ruang kosong di sebelah kananku, lalu duduk menghadap arah yang berbeda denganku.

"Ka-"

"Kamu duduk di bangku panjang sendirian, emang lagi ngapain?"

Lagi-lagi orang ini memotong kalimatku sebelum aku benar-benar selesai bicara. Sebelum menjawabnya, kupikir lebih baik kalau aku diam saja.

"Hei, kalau orang tanya itu dijawab, dong!" serunya pelan. Matanya yang menyebalkan dan mataku kini bertabrakan. Laki-laki ini memasang sisi kiri earphone pada telinga kirinya, membiarkan sisi lainnya menggantung di pundak kanannya. Kami masih beradu pandang, ia mengibaskan tangannya di hadapanku. Ya, bukan melambai, tapi jelas-jelas tangannya mengibas. Kucengkeram tangan kanannya sekuat mungkin agar berhenti. Oh, tindakanku berhasil rupanya.

"Dengerin aku, ya," pintaku dengan halus, namun sepertinya ekspresi maupun suaraku tidak menunjukan kehalusan berbicara. "KALAU ORANG NGOMONG JANGAN DISELA! DASAR BANG-"

Ups. Hampir mengumpat. Hampir saja kehilangan julukanku sebagai siswi tersopan seantero kelas. Aku cepat-cepat membuang muka dari wajahnya. Berusaha melupakan momen memalukan barusan. Kutekuni komik di tanganku. Selang beberapa detik, semuanya jadi hening.

Tidak ada suara yang keluar dari lelaki di sebelahku.

Sebagai gantinya, suara teriakan para siswi yang mengelukan permainan basket lelaki di lapangan terdengar lebih jelas. Remaja laki-laki yang tadinya berisik di sebelahku kini kulihat sedang bersandar diatas tangan kanannya.

"Cewek-cewek itu berisik, ya," katanya.

"Wajar," tanggapku, sambil membalik selembar halaman komik. "siswi mana yang tidak tertawan melihat lelaki tampan, tinggi, atletis, dan menawan sedang fokus memainkan sesuatu yang keren sambil bercucuran keringat?"

"Oh...," lelaki menyebalkan ini memundurkan tangan kirinya untuk menenemani tangan kanannya ­—menopang badan. Matanya menatap —entah apa—yang ada di hadapannya, lapangan sekolah. "Apa itu termasuk kau?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan. 

Aku meletakkan komik bacaanku, menatap hutan sekolah yang ada di depanku. Sedikit berpikir dan menerawang beberapa memori di masa lalu, kemudian menjawab, "Hm. Mungkin."

"Meragukan."

Aku memicingkan mata. "Maksudnya?"

"Kau bahkan seperti tidak tertarik melihat mereka. Lihat! Apakah kau tidak ingin mengelap keringat orang itu? Sambil bilang, 'Sini, senior, biar aku usapkan'. Aduh, sepertinya romantis, ya?" katanya, memanas-manasiku. Huh, repot-repot kutunjukkan bahasa tubuh yang angkuh tadi. Pandai juga ia membuatku penasaran.

'Tapi sebenarnya dia bicara apa, sih?'

Aku memutar badan ke arah lapangan, terlihat jelas siswa-siswa rupawan bermandi keringat sedang berebut bola karet oranye. Juga para siswi berteriak kegirangan menyemangati idola mereka. Alisku terangkat ketika seorang pemain sedang bersiap melompat untuk memasukkan bola. Bersamaan dengan sorakan semangat perempuan di tribun, tatapan mataku seakan ikut berharap bola itu masuk ke ring. Senyumku mengembang seiring sorak sorai suporter ketika bola di tangan pemain tadi masuk ke ring.

Cerita yang Pernah KutulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang