Bukan masalah benar atau salah, ini hanya masalah rasa dan selera.
Pagi yang cerah datang setelah terjadi hujan deras semalam. Langit terlihat biru pagi ini, matahari dengan bahagia menyinari dunia. Para penduduk di suatu kota melakukan aktivitasnya masing-masing. Pegawai kantoran, anak-anak sekolahan, supir angkutan, ojek, dan yang lainnya menyambut pagi mereka dengan melintasi jalanan untuk sampai ke tujuan mereka. Tak terkecuali Alya, seorang siswi di sebuah SMA yang menjadi tempat belajar favorit para remaja di kota itu. Perempuan berambut panjang dengan kacamata kecil menawan itu sedang menatap sumringah bangunan sekolah di hadapannya. Lalu dengan langkah tegap ia berjalan menuju kelas tercintanya, kelas paling wibu seantero sekolah, 11 Bahasa Premium. Bukan reguler.
Selagi melangkah, pikirannya terbang pada ruang kelasnya, menerka apa yang sedang terjadi di sana. Mungkin teman-temannya sedang menyalin tugas yang belum usai, memutar lagu koplo kesukaan mereka, atau sedang membahas drama yang baru saja tayang kemarin. Alya tidak tahu. Ia hanya bernyanyi ringan seirama dengan langkah kakinya. Ah, sungguh, suasana hatinya sedang cerah.
Namun Alya berubah kebingungan setelah ia membuka pintu ruangan kelasnya. Tumben, masih sepi. Dua orang berdiri bersandar di papan tulis sambil melipat tangan di depan dada, lalu seorang lagi berdiri menatap dingin ke arah papan tulis. Masih ada tiga orang lagi di kelas itu, tapi mereka hanya diam menatap ketiga orang lainnya yang sepertinya ... sedang bertengkar.
"Wow ... Ada apa ini?" tanya Alya setelah ia meletakkan tasnya.
Caca, salah seorang yang duduk di kursi, menjawab, "Itu..."
"Bubur," sela Adrian, perempuan berkacamata yang bersandar di papan tulis. Ia menunjukkan sebuah gambar yang tergambar di sana, sebuah mangkok berisi bubur lengkap dengan topping. Kemudian tertulis sebuah kalimat di bawahnya, 'bubur tidak diaduk itu enak'.
"Kau ... lebih suka diaduk atau tidak?" lanjut Adrian.
"Cih." Rijal bersandar di dinding belakang kelas. Pemuda yang tadinya hanya berdiri dan menatap dingin papan tulis itu kini membuang muka.
Alya langsung menunjukkan sikap kurang setuju. "Wah...". Ia berjalan menuju tempat Rijal, lalu bertanya "Kau tidak setuju dengan mereka , kan, Rijal?"
Yang ditanya menjawab, "Ya" sambil menatap awan biru di luar jendela kelas. Sok keren.
"Aku di-tim-mu."
"Bubur yang tidak diaduk itu memang cantik, tapi yang diaduk ... rasanya lebih merata. Kau tahu?" ungkap Rijal tajam kepada Adrian dan Indra. Alya mengangguk.
"Hahahaha," tawa Indra menggelegar di dalam kelas. Cih, sok dramatis.
"Seperti muntah." Suara berat Adrian menjadi penambah tawa licik Indra. Indra berseru setuju.
"Kalian tahan melihat bubur becek seperti muntahan itu?" tanya Indra."Tidakkah kita perlu melihat indahnya tatanan toping di atas bubur sambil memakannya?" Masih dramatis.
"Ini soal rasa, bukan soal estetika!" bantah Alya. "Kalian ini mau makan atau melukis seni?"
Kelas hening seketika. Sementara itu, mulai terdengar suara para murid yang berlalu-lalang di luar kelas. Meskipun ramai yang berdatangan ke sekolah, kelas bahasa masih tetap sepi.
"Kalau aku mah, yang penting makan. Apalagi ditraktir, lebih enak," gumam Caca. Yuniar yang duduk di depannya menoleh mendengar hal itu.
"Apa-apa kalau ditraktir emang lebih enak," balas Yuniar sambil tersenyum. Laki-laki itu mengubah posisi duduknya agar lebih leluasa berbincang. "Tapi kalau bubur sih, aku tim keduanya. Awalnya ga diaduk, terus kalau udah dikit, baru diaduk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita yang Pernah Kutulis
Short StoryAku lupa pernah nulis cerpen beberapa bulan lalu. Menarik juga pas kubaca, tapi agak kesal karena ternyata ceritanya belum selesai. Akhirnya aku lanjutkan. Oh iya, aku nulis ceritanya random. Maaf kalau agak aneh. Hehehe. Terima kasih telah membaca.