Yang ini fanfiction. Baca saja.
Seorang siswi terduduk diam diatas tanah batako penuh sampah. Matanya seakan berteriak ketakutan menatap wajah-wajah di hadapannya. Degup jantung, hela nafas, juga gerakan tubuhnya, sama sekali tak teratur. Delapan siswa serta enam siswi dengan pakaian tak rapi dan rambut beragam model, sedang mengepungnya. Para pembully –yang juga disebut preman-preman sekolah– dengan mata beringasnya menatap wajah sang wanita yang terpojok di dinding belakang sekolah. Sebagian mereka membawa senjata. Memang tak tajam, tapi cukup menyakitkan untuk melukai seseorang.
Merasa terancam, wanita itu membuka ikatan rambutnya, membiarkan helaian hitam menutup setengah wajahnya, lalu tertunduk. Seorang preman siswi berwajah rupawan dengan setumpuk gelang melingkari lengan kanannya, berdiri di tengah kerumunan, menghadap si korban. Dilekatkannya ujung tongkat kasti pada pelipis kanan wanita korban tadi.
"Mau apa kamu? Belagu banget jadi anak baru."
Tongkat kastinya ia gunakan sebagai pengganti lengan, perlahan menyingkap wajah yang setengah tertutup rambut hitam. Rambut hitam itu kembali jatuh menutup wajah tadi.
"Rambutmu sama sekali nggak bagus, tau." tambah preman wanita.
"Mau jadi kunti, mbak?" timpal yang lain, kali ini seorang siswa bertampang macho. Terjahit sebuah badge nama di dada kanannya, Dama. Ia mendekati sang korban, berjongkok di depannya. Lalu menyingkap rambut wanita di depannya dengan tangannya.
Terlihat wajah yang sangat ketakutan, mata mendelik menatap tanah, keringat bercucuran, dan hembusan napas tak beraturan. Dama mendongakkan wajah wanita itu dengan paksa. Sedikit takjub, pria preman itu menundukkan kembali wajah korban.
"Hah. Lumayan."
Perempuan bergelang tadi membantah tak setuju. Dama menatapnya dengan isyarat mata. Kemudian para preman mulai berbisik, merencanakan sesuatu. Memang, tak terdengar jelas di telinga si korban. Sebab sebagian besar komunikasi mereka menggunakan bahasa tubuh.
"Kau ... ikutlah kami nanti malam. Ke alamat ini," kini pria bertubuh jangkung menyodorkan sebuah alamat di dalam sebuah kertas kecil. Nada bicaranya terdengar lebih ramah dari orang-orang sebelumnya. Korban wanita menerimanya, membacanya sebentar. Ia mendongakkan kepala menghadap preman jangkung. Tak perlu membuka suara, ia cukup membalas dengan raut muka seakan bertanya, 'Sudah? Itu saja?'.
Si jangkung tersenyum dan mengangguk. Ah, wajahnya cukup tampan. Sayangnya, ia berperingai buruk. Si korban menatap wajah tampan itu dengan takjub.
"Datang, tidak?!" timpal seorang yang lain lagi, nadanya menghentak. "Awas, ya, kalau tidak datang, artinya nyawamu dalam bahaya!"
Lengan dengan jejeran gelang tiba-tiba mencengkeram kerahnya. Dahi preman itu berkerut menabrak dahi lawan bicaranya, "Aku jemput kau. Malam ini, jam 9."
Korban wanita—yang akhirnya tidak menjadi korban—itu mengangguk perlahan. Dahinya terbebas dari dahi preman berandal. Matanya menangkap sesuatu yang lucu di atas kepala para preman di depannya. Burung-burung lucu yang terbang. Seperti sebuah lukisan hidup.
"Mereka lucu," akhirnya wanita ini buka suara. Dua belas preman mendongak memperhatikan makhluk unik diatas mereka.
"Lucunya...," komentar salah satu preman perempuan. Perempuan lain menanggapi. Sementara itu, para laki-laki menautkan alis keheranan.
Kejadian lucu itu terhenti ketika seseorang menyadari bahwa kepalanya terus menengadah.
"Aku tak bisa... ergh... meno-leh."
"Aku... tak bisa... bergerak."
"HEI! KI-TA... ergh... ke... na-pa?"
Sepertinya keduabelas preman sekolah mengalami hal ini.
"SEKARANG, CHOCHO!"
"BUBUN BAIKA NO JUTSU!"
Korban yang tadinya kurus, lemah dan terlihat tak berdaya, tiba-tiba menjadi gemuk. Kedua tangannya berubah menjadi seukuran raksasa. Seorang ninja pengguna bayangan telah menyegel pergerakan mereka sebelumnya. Dengan mudahnya mereka berdua menghantam semua preman. Mereka pingsan dalam sekejap.
"Huh. Dua lawan dua belas? Mudah sekali. Aku pikir kalian sekuat apa sampai ingin mengeroyokku,"
"Kerja bagus, Chocho! Aktingmu keren!"
"Terima kasih, Shikadai," wanita yang dipanggil Chocho ini menguncir kembali rambutnya. "Huh! Mereka benar-benar menyebalkan."
"Sepertinya mereka dalam perjalanan," seorang lelaki berambut pirang mendekati Chocho dan Shikadai. "Kita harus bereskan mereka semua sebelum ada yang bangun dan kabur, kan, Shikadai?"
"Memangnya orang pingsan bisa siuman secepat itu?"
Kedua temannya hanya mengendikkan bahu.
"Baiklah, ayo!"
Beberapa menit kemudian, Sai, petugas kepolisian Konoha, dan Tim 25 datang. Para preman tadi diangkut menuju kantor polisi untuk ditindak lebih lanjut. Chocho memberikan kertas yang diberikan preman tadi kepada Sai.
"Terima kasih, anak-anak. Selanjutnya kami akan mencari gembong dari pengedar narkoba ini," ucap Sai pada trio Ino-Shika-Cho atas misi mereka.
"Terima kasih kembali, Paman."/"Sama-sama, Ayah."
"Shikadai, boleh aku bertanya?" tanya Inojin. "Mengapa kita tidak menghancurkan rencana mereka nanti malam saja? Bukankah lebih mudah jika ada si Gendut sebagai freepass, lalu kita bisa tangkap mereka semua disana?"
"Kau mau menambah korban jiwa, ya?! Aku lelah berakting, tau!" Chocho marah sambil mengunyah keripik kentang.
Sai yang sedang mendengarnya hanya tersenyum.
"Selanjutnya akan ada Tim 25 yang mengurusnya," jawab Shikadai. "Ya, kan, Houki?"
Houki dari Tim 25 mengangguk.
"Baiklah, Tim 10. Sekarang, bereskan diri kalian, lalu pulanglah."
"Terima kasih, Paman," ucap Shikadai dan Chocho. Mereka bertiga berpamitan dengan tim 25, lalu berjalan pulang.
S : "Hei, kita masih memakai seragam sekolah, loh!"
I : "Sepertinya tas kita masih di dalam loker."
S : "Ayo, ganti pakaian kita dulu!"
C : "Payah! Merepotkan saja!"
C : "Ternyata menyamar sangat melelahkan, ya? Tapi seru juga!"
I : "Aku menyukai kelas seni di SMP ini. Kalau kau, Shikadai?"
S : "Um... entahlah. Merepotkan."
C : "Benar. Sepertinya aku harus pergi ke salon untuk mengembalikan warna rambutku."
I : "Kau benar-benar menyamar ya, Gendut."
C : "Ini namanya totalitas, tahu! Kalian tahu, kalian berdua ini hampir ketahuan loh!"
I : "Iya iya... kau sudah bilang hal itu berkali-kali"
S : "Sudahlah, mau makan Yakiniku?"
I/C : "Mau!"
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita yang Pernah Kutulis
Krótkie OpowiadaniaAku lupa pernah nulis cerpen beberapa bulan lalu. Menarik juga pas kubaca, tapi agak kesal karena ternyata ceritanya belum selesai. Akhirnya aku lanjutkan. Oh iya, aku nulis ceritanya random. Maaf kalau agak aneh. Hehehe. Terima kasih telah membaca.