BAGIAN 1

194 9 0
                                    

Dua orang pemuda berambut sebahu berjalan dengan lagak jumawa. Mereka baru saja keluar dari kios pakaian di kotaraja dengan wajah suka cita, setelah membeli baju rompi putih yang langsung dipakai.
Masing-masing dengan pakaian seperti itu berusaha tampil gagah dengan wajah ditegakkan. Begitu tiba di tepi sebuah kali yang airnya bening, mereka berusaha mematut-matutkan diri. Dibetulkannya letak gagang pedang di punggung sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Bagaimana menurutmu, Sangkil? Aku mirip Pendekar Rajawali Sakti, bukan?" tanya pemuda yang bertubuh agak gemuk.
"Huuh! Kau terlalu gendut, Karpa! Tidak pantas sedikit pun!" ejek pemuda satunya yang bertubuh kerempeng.
"Dan kau kelewat kerempeng! Mana mungkin sama dengan Pendekar Rajawali Sakti!" dengus pemuda gendut yang dipanggil Karpa.
"Makanya..., lihat dulu sebelum meniru!" cibir pemuda bernama Sangkil.
"Apa kau sudah pernah lihat Pendekar Rajawali Sakti?" tukas Karpa.
"Sudah!"
"Kapan? Di mana?"
"Pokoknya sudah!"
"Huh! Kau cuma mengada-ada saja!" dengus Karpa
"Aku memang pernah melihatnya!" bantah Sangkil.
"Di mana? Dan kapan?!" cecar Karpa denga suara agak keras.
"Waktu dia membunuh musuh-musuhnya!"
"Iya! Tapi di mana dan kapan?"
"Ng..., kira-kira seminggu yang lalu di desa...!"
Karpa tertawa mengejek.
"Kenapa tertawa? Tidak percaya?!"
"Aku masih ingat. Seminggu yang lalu, kau disuruh Guru membantu Palka mengerjakan sawah di kaki bukit. Bagai-mana mungkin kau bisa membohongiku?"
"Aku lihat di sana! Pendekar Rajawali Sakti menghajar musuh-musuhnya di kaki bukit itu!" sergah Sangkil tak mau kalah.
"Sudahlah..., tidak usah bohong! Palka sendiri kalau ada apa-apa pasti cerita. Apalagi kalau melihat pertarungan seru... Mana mau dia lewatkan begitu saja?" tukas Karpa.
"Tapi waktu itu Palka tidak melihatnya!"
"Mustahil! Orang bertarung pasti ribut. Jadi tidak mungkin kalau kau mendengar, sedangkan Palka tidak. Palka belum tuli!"
"Hmm! Kau tidak akan percaya jika kukatakan pertarungan mereka tanpa suara sedikit pun? Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan mereka dengan sekali pukul, kemudian menghilang tiba-tiba saja."
"Aku tidak percaya!" bantah Karpa.
"Terserahmu!" sahut Sangkil, ketus.
"Kata orang-orang yang pernah melihatnya, dia agak gemuk sedikit. Ya, seperti aku ini!"
"Huh!" dengus Sangkil mencibir sinis.
"Iri, ya?" tukas Karpa cengar-cengir.
"Justru kata mereka yang jelas melihatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu agak kurus. Seperti aku ini yang cocok!"
"Tidak! Dia seperti aku!"
"Seperti aku!"
"Seperti aku!"
"Jadi, kau mau apa? Mau ribut?"
"Boleh. Kita tentukan melalui adu kekuatan, siapa di antara kita yang mirip Pendekar Rajawali Sakti."
"Baik!"
Kedua orang yang sebenarnya satu perguruan itu mundur dua langkah ke belakang, mulai membuka jurus. Mata mereka saling pandang dengan sikap siaga penuh.
Tapi sebelum Sangkil dan Karpa berkelahi mendadak dua sosok bayangan hitam berkelebat. Dan tahu-tahu di depan mereka tegak berdiri dua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian serba hitam. Sebilah pedang panjang tersandang di punggung masing-masing. Keduanya mengenakan ikat kepala hitam. Wajah mereka berkesan dingin.
"Ohh...!" Tanpa sadar Sangkil dan Karpa bergidik ngeri dan saling merapat.
"Siapa mereka?" bisik Karpa.
Sangkil menggeleng lemah.
"Siapa di antara kalian yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya salah seorang berbaju serba hitam yang bertubuh tinggi besar.
"Dia!" tunjuk Karpa pada Sangkil.
"Bohong! Dia Pendekar Rajawali Sakti!" balas Sangkil.
"Bicara yang benar!" hardik laki-laki bertubuh tinggi.
"Eee ...!" Sangkil dan Karpa tersentak kaget. Wajah mereka perlahan memucat dengan tubuh gemetar. Nyali mereka perlahan-lahan ciut.
"Benar, Tuan. Aku tidak bohong! Dialah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," sahut Karpa memberanikan diri.
"Dia bohong, Tuan! Sesungguhnya dialah Pendekar Rajawali Sakti!" sergah Sangkil.
Laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam hendak melangkah, menghajar Karpa dan Sangkil yang berbaju rompi putih itu. Untung saja laki-laki berbaju serba hitam satunya tidak berbuat apa-apa. Kemudian dipasangnya wajah ramah dengan bibir tersenyum.
"Apakah kalian tidak mengenalku?" tanya laki-laki berbaju serba hitam yang berbadan sedang dengan wajah tampan.
"Eh! Ngg.., rasanya tidak," sahut Sangkil dan Karpa hampir bersamaan.
"Sayang sekali. Padahal aku membawakan hadiah cukup banyak dari kerajaan untuk diserahkan kepada Pendekar Rajawali Sakti yang asli. Tapi karena kalian ada dua, dan aku tidak yakin mana yang asli, maka hadiah itu untuk kami saja...."
"Hadiah?" Mata Karpa dari redup kontan berbinar.
"Hadiah apa?" sambar Sangkil.
"Uang emas sebanyak seratus keping."
"Ohh! Kalau begitu kau telah bertemu Pendekar Rajawali Sakti yang asli, Tuan! Akulah orangnya!" desah Karpa penuh semangat.
"Bohong! Akulah Pendekar Rajawali Sakti yang asli, Tuan!" sergah Sangkil.
"Kalau begitu, kalian akan mampus!"
"Haah?!" Bukan main kagetnya Karpa dan Sangkil. Mereka saling pandang. Kegembiraan yang baru muncul mendadak sirna, dan berganti ketakutan. Apalagi ketika kedua orang berbaju serba hitam itu mencabut pedang.
Sing!
"Hah?!"
"Kabur!" teriak Karpa, seraya berbalik dan melarikan diri.
Sementara Sangkil tidak banyak tingkah lagi. Langsung diikutinya Karpa.
"Huh! Kalian kira bisa kabur seenaknya!"
Kedua orang berbaju serba hitam itu tiba-tiba melesat cepat. Dua tombak di belakang Karpa dan Sangkil, mereka melenting ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tahu-tahu telah berdiri menghadang.
"Ohh...!" Karpa dan Sangkil terperanjat bukan main. Saat itu juga persendian mereka bagai tak bisa digerakkan lagi, terkekang rasa takut luar biasa.
"Kalian mesti mati!" desis orang yang bertubuh tinggi besar.
"Tuan, ampuni kami! Sebenarnya aku..., aku bukan Pendekar Rajawali Sakti...!" ratap Karpa, langsung berlutut dengan tubuh menggigil.
"Aku juga, Tuan. Aku..., aku bukan orang yang kalian cari...," Sangkil mengikuti tindakan Karpa.
"Kami tahu! Pendekar Rajawali Sakti tidak sepengecut kalian!" sahut laki-laki berbaju hitam yang berbadan sedang.
"Kami hanya meniru-niru cara berpakaiannya saja, Tuan. Sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan apa yang dilakukannya...," lanjut Karpa, meratap-ratap.
"Kami tahu!"
"Kalau begitu lepaskan kami, Tuan. Biarkan kami pergi dengan aman..."
"Tidak! Kalian tetap akan mati!" dengus orang berbaju hitam yang bertubuh tinggi besar.
Laki-laki itu agaknya sudah tidak sabaran sejak tadi. Dia mulai menghunus pedang dengan wajah penuh nafsu membunuh.
"Tuan, ampuni...!" Belum juga kata-kata Karpa selesai, laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu sudah mengebutkan pedangnya. Dan....
Cras! Crasss...!
Karpa dan Sangkil tak mampu menjerit lagi ketika kepala masing-masing menggelinding ke tanah. Dari pangkal leher mereka langsung menyembur darah segar, begitu ambruk tak berdaya.
Srak!
Laki-laki tinggi besar itu menyarungkan pedang dan memandang sinis pada dua korbannya.
"Tak peduli kalian asli atau palsu! Apa pun yang mendekati keparat itu, mesti mati!" desisnya.
"Huh! Percuma saja ke sini!" dengus laki-laki bertubuh sedang.
"Sabar saja, Jalidira! Suatu saat, dia pasti akan kita temukan," ujar orang berbaju hitam yang tadi membunuh Karpa dan Sangkil.
"Bagaimana menurutmu, Jonggol Pitu? Apakah dia takut dan menyembunyikan diri?" tanya laki-laki bertubuh sedang yang bernama Jalidira.
"Mungkin saja," sahut laki-laki tinggi besar, bernama Jonggol Pitu.
"Huh! Kurasa kehebatannya yang digembar-gemborkan tidak sesuai kenyataan sebenarnya!"
"Ya! Kalau muncul, ingin kulihat apakah dia mampu menandingi ilmu pedangku!"
Kedua laki-laki berpakaian serba hitam itu hendak angkat kaki, tapi....
"Hei, berhenti...! Kalian apakan teman kami?!" terdengar bentakan keras.
Tak lama di sekitar tempat itu telah mengepung beberapa orang bersenjata pedang dan golok. Wajah-wajah mereka menggambarkan kemarahan meluap.
"Keparat! Kerbau-kerbau dungu. Apa mau mereka?!" dengus Jonggol Pitu.
"Kurasa mereka kawan-kawan kedua keledai yang kita bunuh tadi," sahut Jalidira.
"Bagus! Kalau begitu biar mereka sekalian menemani kawannya ke neraka!"
"Pembunuh busuk! Kalian kira bisa lari dari tempat ini?!" bentak salah seorang pengepung, laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Tulahnya tegap. Kumisnya tebal. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang besar.
"Hadapi dulu Kaliangga...!"
"Kerbau busuk! Apakah kau sudah bosan hidup? Ke sinilah. Biar lebih cepat kau kukirim ke neraka!" desis Jonggol Pitu.
"Manusia biadab! Dua kawan seperguruan kami telah kalian bunuh! Huh! Kepala kalian mesti menggantikannya!" balas laki-laki yang mengaku bernama Kaliangga.
"Tidak usah banyak mulut! Ke sinilah. Dan terima kematianmu!" dengus Jonggol Pitu.
Kelihatannya Jonggol Pitu betul-betul menganggap enteng. Karena meski Kaliangga telah mengeluarkan pedang, sikapnya tenang-tenang saja. Bahkan bermaksud menghadapinya dengan tangan kosong.
"Bangsaaat...!" Kaliangga menggeram marah. Sekali melompat, dia telah bergerak menyerang. Pedangnya menyabet Jonggol Pitu dan Jalidira dengan cepat.
Wuut!
"Uts!" Kedua laki-laki berpakaian serba hitam ini membungkuk. Maka sabetan pedang Kaliangga hanya memapak angin. Seketika Jonggol Pitu maju dua langkah, lalu berbalik sambil mengibaskan tendangan.
Dukkk...!
"Aaakh...!" Telak sekali tendangan Jonggol Pitu mendarat di punggung Kaliangga. Maka tak ampun lagi tubuh laki-laki tegap itu tersungkur ke depan sambil mengeluh kesakitan. Namun seketika dia bangkit dengan wajah merah padam menahan malu sekaligus marah.
"Gunakan pedangmu yang besar, sebelum kepalamu kubuat menggelinding!" desis Jonggol Pitu, sombong.
"Keparat! Kepalamu yang akan kubuat menggelinding!" desis Kaliangga. Dengan bernafsu, kembali Kaliangga menyerang.
"Yeaaa...!"
"Huh!" Jonggol Pitu mendengus. Ketika Kaliangga sedikit lagi sampai, maka secepat itu pula pedangnya dicabut dan dikebutkan.
Trakkk...!
Pedang besar Kaliangga kontan patah. Dan ini membuatnya gugup. Namun sebelum kegugupannya hilang, pedang Jonggol Pitu telah mengelebatkan pedangnya kembali. Lalu....
Cras!
"Arkh!" Dan laki-laki tegap itu menjerit tertahan, ketika pedang di tangan Jonggol Pitu terus menebas lehernya sampai putus.
"Kaliangga...!"
Kejadian itu mengejutkan kawan-kawan Kaliangga. Tapi sebelum mereka berbuat apa-apa kedua orang berbaju serba hitam itu telah berkelebat begitu cepat meninggalkan tempat ini. Seketika mereka menghilang dari pandangan, bagai ditelan bumi.
"Mereka lenyap!"
"Tidak mungkin! Masa' secepat itu?"
"Siapa mereka...?"
"Siapa pun mereka, tapi tiga kawan kita mati secara mengenaskan. Kita tidak bisa membiarka begitu saja! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal. Kita harus melaporkan kejadian ini pada Guru. Biar Guru yang memutuskan, apa yang harus kita perbuat!" tandas salah seorang.
"Ya. Saat ini kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik mereka kita bawa segera!"
Mereka baru saja hendak membawa tiga mayat itu, muncul seorang gadis baju serba merah. Pada mulanya gadis itu sama sekali tidak menaruh perhatian. Wajahnya yang cantik kelihatan murung dan dipenuhi perasaan kesal. Tapi melihat tiga orang mayat dengan luka aneh, mau tak mau menarik perhatiannya pula.
"Maaf, Kisanak semua. Apa yang tengah kalian bawa?" tegur gadis ini.
"Ini mayat tiga kawan kami," sahut salah seorang.
"Mayat? Hm, apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka dibunuh oleh dua orang berbaju serba hitam."
"Hm.... Kedua mayat ini sama-sama memakai baju rompi putih. Apa maksudnya? Apakah ini seragam perguruan kalian?" tanya gadis ini, setengah menggumam.
"Ah, tidak! Mereka memang sangat mengagumi Pendekar Rajawali Sakti. Jadi berusaha meniru-niru cara berpakaiannya. Tapi hari ini nasib mereka tengah apes...."
"Kenapa? Apakah karena baju yang mereka kenakan?"
"Entahlah. Mungkin juga begitu...."
"Mungkin? Kenapa? Apa hubungannya antara baju itu dengan tewasnya mereka?" kejar gadis ini.
"Belakangan ini terdengar kabar gencarnya beberapa orang mencari Pendekar Rajawali Sakti. Kabarnya mereka hendak membunuhnya," jelas laki laki lain.
"Kurang ajar! Sebelum mereka berhadapan dengannya, lebih baik berhadapan denganku lebih dulu!" dengus gadis itu, geram.
"Nisanak.... Sebenarnya kau ini siapa? Kelihatannya sangat membela Pendekar Rajawali Sakti."
"Aku..., kawan baiknya."
"Kekasihnya, barangkali?"
Gadis ini tersenyum. "Yaaa, mungkin begitu...."
"Hm.... Senang berkenalan denganmu. Ini suatu kehormatan besar. Tapi hendaknya kau berhati-hati mulai sekarang."
"Huh! Aku tidak perlu berhati-hati kepada siapapun!"
"Nisanak... Orang-orang yang menginginkan kematian Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh kalangan biasa. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat kalangan atas. Mungkin semacam pembunuh bayaran. Kerja mereka cepat. Dan kehebatan mereka pun sulit ditandingi."
"Terima kasih atas peringatanmu, Kisanak. Kepada orang lain, mereka boleh menakut-nakuti. Tetapi tidak padaku!"
"Yaaah. Itu sih, terserah kau! Yang jelas, kami telah memperingatkan. Itu karena kami hormat pada Pendekar Rajawali Sakti...."
"Kalian katakan ketiga orang ini tewas di tangan kedua pembunuh berbaju serba hitam, bukan? Nah! Katakan padaku, ke mana mereka menghilang?"
"Sayang sekali, kami tidak tahu. Mereka menghilang begitu saja. Nisanak...."
"Huh! Brengsek. Tapi jangan harap aku akan membiarkan mereka begitu saja!" dengus gadis berbaju serba merah ini.
"Nisanak.... Kami tak bisa berlama-lama di sini. Kematian tiga orang kawan kami harus diberitahukan pada Guru. Maka dari itu kami mohon pamit."
"Hmm!" Gadis itu mengangguk. Sementara para murid perguruan ini memberi salam hormat padanya. Setelah rombongan itu berlalu, gadis ini masih termangu di tempat.

***

189. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Berkubang DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang