BAGIAN 6

124 10 0
                                    

Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sejak tadi terkekang kebisuan. Sesekali Rangga melirik. Namun si Kipas Maut agaknya masih tengah memendam kejengkelan. Sudah jemu rasanya Rangga menghibur, namun tetap saja gadis itu memasang muka cemberut.
"Kita cari penginapan di desa ini saja, ya?" ajak Rangga, berusaha lembut.
Pandan Wangi tak menjawab. Matanya lurus memandang ke depan.
"Tempat ini kelihatan ramai. Banyak umbul-umbul dipasang seperti kedatangan tamu agung...," gumam Rangga.
Pandan Wangi tetap membisu.
"Bicaralah, Pandan. Jangan membisu terus..."
"Aku tak tahu, harus bicara apa..."
"Nah, itu kan bicara namanya!" seru Rangga dengan wajah sedikit berseri.
Si Kipas Maut tersenyum. Hambar! Rangga turun dari punggung kudanya. Dihampirinya seorang penduduk yang berdiri tak jauh dari situ. Sementara Pandan Wangi pun mengikuti tindakannya. Kini kedua anak muda itu hanya menuntun kuda masing-masing.
"Kisanak.... Di mana kami bisa mendapatkan rumah penginapan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti ramah.
"Kalian hendak menginap?" tanya pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Benar."
"Wah, sayang sekali! Kalian terlambat"
"Terlambat? Mengapa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Semua tempat penginapan di desa ini telah penuh diisi para tamu Dewi Kencana," jelas pemuda itu.
"Tamu Dewi Kencana! Siapa dia?"
"Dia adalah wanita terhormat, sekaligus terkaya di desa ini. Hari ini dia melangsungkan pernikahan dengan Juragan Suwandana. Tapi sayang, suaminya terbunuh belum lama ini. Dewi Kencana menjanda lagi untuk yang kesekian kalinya," sahut pemuda itu nyerocos sendiri tanpa diminta.
"Siapa yang membunuhnya?" cecar Rangga.
"Entah!" pemuda itu mengangkat bahu.
"Orang itu amat lihai. Berbaju serba hitam dan bertopeng. Banyak yang mati olehnya."
"Hm!"
"Baiknya kau juga hati-hati, Kisanak. Kulihat kalian orang asing. Kalau kalian tamu Dewi Kencana mungkin selamat. Tapi kalau orang asing, maka kalian akan dicurigai mereka." jelas pemuda itu mengingatkan.
"Dicurigai mereka? Siapa mereka?"
"Orang-orangnya Dewi Kencana. Juga orang-orangnya Juragan Suwandana."
"Hm... aneh?"
"Kalau yang tewas orang biasa mungkin aneh Kisanak. Tapi Juragan Suwandana punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan. Siapa pun pembunuhnya, pasti tidak akan selamat. Dan mereka tetap akan mengusutnya sampai tuntas. Eh, mereka datang! Aku harus buru-buru pergi. Cari penyakit berurusan dengan mereka!" lanjut pemuda buru-buru angkat kaki ketika melihat beberapa orang menghampiri.
Rangga dan Pandan Wangi lantas melangkah tenang sambil menuntun kuda ketika orang-orang itu melewati sambil melirik tajam. Tapi baru beberapa langkah berpapasan....
"Berhenti!" bentak salah seorang, membuat Rangga dan Pandan Wangi berhenti melangkah.
"Hm ada apa, Kisanak?" tanya Rangga setelah berbalik.
Orang yang membentak tadi memperhatikan kedua anak muda itu dengan seksama. Wajahnya terlihat paling galak.
"Kalian bukan penduduk desa ini!" duga orang itu.
"Benar! Kami dua pengelana dan kebetulan singgah di desa ini mencari penginapan," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Hmm!" Orang itu kembali memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Ikut kami!" ujar laki-laki bertampang galak.
"Ke mana?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan banyak tanya! Ikut kami, atau aku terpaksa memaksamu!"
"Kisanak... Aku tidak kenal denganmu. Dan tiba-tiba saja kami diminta mengikutimu. Apa dikira kami percaya kalau kau bermaksud baik?"
"Mestinya aku yang bertanya pada kalian! Apa kalian bermaksud baik, atau pura-pura baik? Misalnya, menjadi pengelana setelah membunuh seseorang!" sentak orang itu.
"Hei, apa maksudmu?! Jangan sembarangan bicara!" hardik Pandan Wangi geram.
"Maksudku, jelas! Kalian patut dicurigai! Dan kewajibanku berbuat begitu, karena aku adalah kepala keamanan di desa ini. Sekarang ikut kami untuk diperiksa!"
"Kalau kami menolak?" dengus Pandan Wangi sinis.
"Kami terpaksa memaksamu!" tegas laki-laki yang ternyata adalah kepala keamanan.
"Huh! Kalian kira bisa seenaknya saja memaksa orang?!"
"Nisanak! Kuharap kalian tidak membuat masalah. Di desa ini baru saja terjadi kekacauan. Siapa pun pendatang asing di tempat ini, kecuali tamu-tamu yang kami kenal, maka patut dicurigai!" kata laki-laki berusia empat puluh tahun itu tegas.
"Kami tidak ada sangkut-pautnya dengan kekacauan yang kau sebutkan! Dan karena itu kami tidak sudi diperiksa!" dengus Pandan Wangi.
"Pandan, jangan begitu. Tidak ada salahnya mereka memeriksa kita. Kalau terbukti tak bersalah toh mereka bisa percaya pada kita...," ujar Rangga.
"Tidak, Kakang! Aku tidak percaya pada mereka! Kalau kau mau digiring seperti kerbau, silakan sendiri! Tapi kalau mereka berani coba-coba padaku, tahu sendiri akibatnya!" tandas Pandan Wangi.
"Pandan...."
"Tidak! Sekali kataku tidak, maka tidak. Aku tidak sudi dicurigai. Ayo, majulah kalian jangan coba paksa aku!" bentak gadis itu seraya mencabut kipas bajanya.
Srak!
Melihat sikap Pandan Wangi, para laki-laki yang mengaku sebagai tukang pukul Dewi Kencana langsung bersiaga. Rangga sudah hendak membujuk gadis itu lagi, namun kepala keamanan desa yang tadi bicara dengannya sudah langsung memberi perintah.
"Tangkap mereka!"
Serentak beberapa orang menyergap sambil mencabut senjata.
Srak!
"Yeaaa...!"
Saat itu juga, mereka menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Namun tentu saja sepasang pendekar dari Karang Setra ini tidak tinggal diam. Paling tidak, menghindar sebisa mungkin. Sementara si Kipas Maut sudah berjumpalitan, menghindari tebasan golok.
"Hup!" Tiba-tiba kedua kaki si Kipas Maut bergerak cepat menyodok leher salah seorang pengeroyok.
Duk!
"Aaakh!" Orang itu menjerit kesakitan, langsung roboh terjungkal ke belakang.
"Kurang ajar! Dia telah mencelakai Sawung. Mereka jelas tak bisa dianggap enteng. Kita mencari bantuan!" dengus kepala keamanan.
"Biar aku yang memberitahukan lainnya!" sahut seorang pengeroyok.
Orang itu seketika kabur secepatnya dari pertarungan sambil berteriak-teriak.
"Ada pengacau! Ada pengacaaaauuu...!"
"Brengsek!" dengus Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat memutar tubuhnya menghindar dua tebasan golok. Lalu dia berjongkok, seraya menyambar kerikil. Seketika, tangannya mengibas.
Wuut!
Saat itu juga, kerikil yang dilemparkan Rangga disertai tenaga dalam tinggi meluncur dahsyat. Dan....
Tuk!
"Ekh...!" Laki-laki yang lari sambil berteriak mencari bantuan itu roboh dengan suara tercekat. Ternya kerikil yang dilemparkan Rangga menghajar tengkuknya.
Tapi suara orang itu telah mengagetkan penduduk desa yang melihat kejadian itu. Mereka langsung mengambil tindakan dengan memukul kentongan bertalu-talu.
"Pandan! Kita tidak bisa terus begini! Ayo tinggalkan tempat ini!" ajak Rangga setelah merobohkan dua pengeroyok terdekat.
Setelah berkata begitu, Rangga melompat ke punggung kudanya.
"Ayo Pandan, cepat!"
"Sebentar, Kakang...!" Pandan Wangi tiba-tiba menyabetkan kipasnya. Dua orang coba menangkis dengan golok. Tapi gadis itu menarik pulang serangannya. Tubuhnya mendadak berbalik seraya mengayunkan tendangan berputar.
Diegkh! Desss...!
"Aaakh!"
"Hup!"
Setelah merobohkan dua orang lawannya, si Kipas Maut mencelat ke punggung kuda dan langsung menggebahnya.
"Heaaa...!"
"Mereka berusaha kabur! Jangan biarkan lolos! Kejaaar...!" teriak beberapa orang.
Tidak berapa lama terdengar derap langkah kaki kuda untuk memberi bantuan. Lebih dari dua puluh orang berkuda segera mengejar sepasang pendekar itu.
"Heaaa..!"
Sementara itu, meski sudah agak jauh dari pengejarnya, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tetap tidak berhenti. Mereka terus memacu kuda tunggangannya. Baru setelah merasa aman mereka memperlambat lari kuda dan mengendalikan dengan santai.
"Mimpi apa aku semalam? Kok hari ini kita apes terus?" keluh Pandan Wangi.
"Sulit jalan denganku, bukan?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Lebih sulit lagi kalau tidak."
"Kenapa?"
"Membayangkan kau berjalan bersama wanita lain. Entah berapa gadis yang telah menemanimu!" cibir Pandan Wangi.
"Pandan, jangan mulai lagi...," desah Pendekar Rajawali Sakti.
"Mulai apa?! Aku bicara tentang kebenaran kok!" sentak gadis itu.
Rangga diam saja. Kalau ditimpali, pasti gadis itu akan terus nyerocos.
"Dan kau akan semakin keenakan jalan sendiri terus! Tidak mau ajak-ajak aku lagi!" cetus Pandan Wangi lagi.
"Sekali diajak kau terus menggerutu. Capek, bosan, tak bisa diatur!" balas Rangga.
"Kalau yang lain tidak capek! Tidak bosan, dan bisa diatur, kan?!"
Rangga kembali membisu.
"Kenapa diam? Ayo, jawab!" sentak Pandan Wangi.
Tapi Rangga memilih diam. Dibiarkannya gadis itu menumpahkan kekesalannya.
"Hei, tunggu dulu!" seru Rangga tiba-tiba.
"Tidah usah mengalihkan perhatian!" desis Pandan Wangi.
"Tidak! Kita berhenti dulu. Aku mendengar suara pertarungan tidak jauh dari sini," sergah Rangga.
Meski hatinya kesal, tapi Pandan Wangi menurut juga. Karena dia tahu, Rangga tidak berbohong. Pendekar Rajawali Sakti memang memiliki aji 'Pembeda Gerak dan Suara' yang membuatnya mampu mendengar suara-suara meski jaraknya cukup jauh.
"Aku tidak ingin mencampuri urusan orang!" ketus Pandan Wangi menegaskan.
"Ya. Kita cari jalan lain saja."
Baru saja hendak menggebah kuda kembali, mendadak Rangga mengajak gadis itu bersembunyi balik semak-semak yang cukup rimbun.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi kesal.
"Seseorang menuju kemari," sahut Rangga, segera menggiring Dewa Bayu ke balik semak. Demikian pula Pandan Wangi
"Siapa?"
Rangga tak sempat menjawab, karena suara yang baru saja didengarnya semakin dekat. Bahkan dalam waktu singkat, tampak dua orang tengah melesat dengan gerakan ringan, seperti tengah berkejar-kejaran.
"Guru, jangan kencang-kencang! Perutku sakit nih...!" teriak seorang pemuda yang tengah mengejar.
"Makanya kalau makan jangan banyak-banyak!" omel orang yang dikejar.
Yang berada di depan adalah seorang laki-laki tua membawa tongkat bambu hitam. Di punggungnya bergantung bumbung bambu berisi tuak. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Ki Sabda Gendeng. Sedangkan yang mengejarnya adalah muridnya sendiri yang bernama Jaka Tawang. Dia adalah seorang pemuda bertubuh agak kekar membawa tongkat bambu merah.
"Kalau tidak makan banyak, mana bisa berpikir!" teriak Jaka Tawang.
"Kalau begitu kau sama dengan kerbau. Binatang itu makan banyak dan tetap tolol!" ejek Ki Sabda Gendeng.
"Tapi aku lebih baik ketimbang Guru."
"Huh! Mana mungkin!"
"Buktinya Guru belum mampu mengalahkanku main catur."
"Itu soal lain!" dengus Ki Sabda Gendeng.
"Dan makan juga soal lain," balas Jaka Tawang.
"Brengsek kau!"
Jaka Tawang tertawa mengikik. Agaknya mereka tidak sembarang jalan. Karena, keduanya segera menghampiri suara pertempuran yang tadi didengar Rangga.
"Siapa?" tanya Pandan Wangi.
"Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang, muridnya," jelas Rangga.
"Kakang kenal mereka?"
"Iya. Aku ingin tahu, apa yang mereka kerjakan di sini. Baiknya kita ke sana," ajak Rangga, segera menggebah kudanya, keluar dari persembunyian.
"Eee, sudah cukup mau mengalami siksaan seperti ini! Nasib kita lagi apes. Dan aku tak mau bertambah apes lagi," rutuk Pandan Wangi, juga keluar dari persembunyian.
"Mungkin ada hubungannya dengan orang-orang yang belakangan ini memburuku...?" kata Rangga, mempercepat langkah kudanya.
"Bagaimana mungkin? Jangan mengada-ada. Apa lagi mengaitkan persoalan yang belum jelas!" bentak Pandan Wangi, seraya mengikuti Rangga.
"Aku merasa yakin. Siapa tahu saja! Kalaupun tidak, ya kita buru-buru menyingkir lagi!"
"Huh!" Pandan Wangi mencibir.
Suara pertarungan itu semakin dekat terdengar Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi segera menghentikan lari kuda masing-masing. Dengan gerakan ringan, mereka turun dari kuda yang segera ditambatkan di tempat yang tersembunyi. Kemudian mereka mengendap-endap mendekati pertarungan.
Cahaya bulan yang menerangi bumi, membuat penglihatan sedikit jelas. Delapan wanita muda rambut panjang bersenjata pedang dan seorang berbaju sutera kuning bercampur hitam tengah berhadapan dengan tiga orang laki-laki berusia rata-rata setengah baya. Yang seorang bersenjata pedang. Seorang lagi membawa tombak. Dan yang terakhir bersenjata gada besar. Tidak jauh dari pertarungan, terlihat sesosok tubuh berpakaian serba hitam terkulai di bawah sebatang pohon.
"Mana Ki Sabda Gendeng dan muridnya?" tanya Pandan Wangi.
"Mungkin sembunyi juga seperti kita," sahut Pendekar Rajawali Sakti, menduga.
"Hmm."
"Rasa-rasanya aku seperti kenal wanita berbaju kuning bergaris-garis hitam...," gumam Rangga.
"Ya. Tentu saja! Kau pasti kenal dengan semua gadis cantik!" timpal Pandan Wangi mendongkol.
"Bukan begitu. Pandan. Gadis itu..., hm.... Dari sini agak samar. Lagi pula kita membelakanginya. Rasanya pun aku kenal dengan lawan mereka yang bersenjata pedang itu...."
Pandan Wangi tak menyahut.
"Ah, ya! Dia si Dewa Api!" seru Rangga, berbisik.
"Ya..., dia ayah gadis bengal itu!"
Rangga mendadak menyadari kekeliruannya. Buru-buru telapak tangannya menutup mulut seraya melirik Pandan Wangi. Sementara gadis itu melotot garang.
"Betul kataku, kan?" cibir Pandan Wangi.
Rangga tak perlu menjawab lagi, karena sesaat kemudian terdengar suara seorang gadis yang langsung terjun dalam pertarungan.
"Ayah! Aku akan membantumu...!"
''Ratmi! Apa yang kau lakukan di sini?!" teriak si Dewa Api.
"Aku mengikutimu dari istana sampai ke sini," jelas gadis berbaju merah itu.
"Gadis itu, bukan?" cibir Pandan Wangi.
"Namanya Ratmi. Kami tidak punya hubungan apa-apa, Pandan. Percayalah! Bagaimana aku mesti meyakinkanmu?" jelas Pendekar Rajawali Sakti menegaskan.
"Tidak apa. Aku mengerti."
"Oh, syukurlah...," sahut Rangga lega.
"Aku mengerti bukan berarti aku menerima!" lanjut Pandan Wangi kesal.
"Aku mengerti, karena tahu kalau kau tak bisa lihat wanita cantik dan sudah langsung ingin menggaetnya!"
"Ya, ampuuun! Kenapa malah berpikir begitu. Satu saja bagiku sudah cukup. Kalau kau tahu apa yang ada di dadaku, maka akan terlihat kalau hanya namamu yang terukir," kata Rangga dengan lagak seorang penyair yang tengah kasmaran.
"Huh! Rayuan gombal!"
"Hehehe...! Di sana seru-serunya saling kemplang, eh, di sini juga tengah seru-serunya bermesraan!"
Mendadak terdengar satu suara dari cabang pohon yang tak jauh dari tempat mereka bersembunyi.
Kontan keduanya menoleh agak mendongak. Tampak Ki Sabda Gendeng dan muridnya enak-enakan nangkring di atas pohon.
"Ki Sabda Gendeng! Apa yang sedang kau lakukan di atas sana?" tanya Rangga dengan suara berbisik.
"Kau lihat kami sedang apa, Bocah?"

***

189. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Berkubang DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang