BAGIAN 7

125 11 0
                                    

Rangga memperhatikan seksama Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang. Mereka duduk bersila di cabang yang agak besar. Saling berhadapan dengan perhatian tertuju pada papan catur yang tengah dimainkan. Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala ketika mengetahui apa yang tengah mereka lakukan.
"Daripada kalian ribut mengganggu kami, kenapa tidak ribut-ribut di sana? Hitung-hitung melampiaskan ketegangan otak," lanjut Ki Sabda Gendeng, tanpa menoleh ke bawah.
Rangga akan menjawab, tapi....
"Hooiii, kalian yang berkelahi!" teriak Ki Sabda Gendeng mengundang perhatian mereka yang tengah bertempur.
"Ini masih ada dua orang lagi. Kenapa tidak sekalian diajak?! Yang satu Pendekar Rajawali Sakti dan satu lagi kekasihnya...!"
"Sial!" gerutu Rangga.
"Kurang ajar...!" maki Pandan Wangi geram.
Bagi Rangga yang tahu benar kelakuan Ki Sabda Gendeng, paling hanya bisa menarik napas sambil menggeleng-geleng. Tapi tidak dengan Pandan Wangi. Gadis itu bukan sekadar jengkel, tapi juga marah. Apalagi ketika orang tua itu terkekeh-kekeh kegirangan. Segera tubuhnya membungkuk, menarik dua buah batu sebesar kepalan tangan.
"Orang tua brengsek! Rasakan olehmu!" dengus si Kipas Maut seraya melempar dua buah batu sebesar kepalan tangan.
Siut! Siut!
Batu-batu itu meluncur deras. Namun dengan sekali mengayunkan tongkat, kedua batu itu ditepis dengan mudah oleh Ki Sabda Gendeng.
Tak! Tak!
Tapi bukan namanya Pandan Wangi kalau menyerah begitu saja. Gadis itu memungut batu-batu yang lain. Kali ini dalam jumlah banyak. Segera dilemparkannya satu persatu dengan cepat, sehingga Ki Sabda Gendeng kerepotan.
Tak! Tak!
"Hei, apa-apan kau ini?! Berhenti! Berhenti! Atau barangkali mau kukemplang?!"
"Ayo turun kau. Brengsek! Kaulah yang akan kukemplang!" balas Pandan Wangi.
"Eee, dasar perempuan edan!" maki Ki Sabda Gendeng.
"Orang tua brsengsek!"
"Biar aku brengsek, tapi kau edan!"
"Kaulah yang edan!"
"Mati...!" teriak Jaka Tawang.
Pemuda itu sejak tadi diam saja merenungi buah catur di depannya. Tak peduli gurunya berteriak-teriak. Juga tak peduli gurunya tengah bertengkar. Tapi kini wajahnya berseri-seri, membuat Ki Sabda Gendeng terpaksa menoleh. Sedangkan saat itu Pandan Wangi belum berhenti melemparinya.
Pletak! Duk!
"Adaooouww...!" Ki Sabda Gendeng menjerit kesakitan ketika sebuah batu tepat mengenai punggung dan pinggang belakang. Tubuhnya jungkir balik ke atas, lalu mencelat turun ke bawah sambil memutar tongkat bambu.
"Bocah liar, kukemplang kau!" bentak laki-laki tua gila catur.
"Guru! Jangan cari-cari alasan! Kali ini kau kalah lagi!" teriak Jaka Tawang.
"Aku belum kalah! Nanti setelah kujitak anak ini, baru kita lanjutkan permainan!"
"Seenaknya saja! Kau kira aku takut padamu?!" dengus Pandan Wangi seraya mencabut senjata kipasnya.
Srak!
"Pandan, jangan begitu...!" larang Rangga
Tapi mana mau gadis itu mendengarnya dalam keadaan seperti ini. Boro-boro niat diurungkan, tapi malah melompat menyambut serangan Ki Sabda Gendeng.
Trak!
Bet! Bet!
Kedua senjata mereka beradu. Tapi secepat itu, kipas di tangan Pandan Wangi bergerak memapas leher dua kali berturut-turut.
Ki Sabda Gendeng membungkuk ke belakang, lalu melompat ke samping seraya menyodokkan tongkat bambu melewati selangkangannya menuju ke perut.
"Jebol perutmu!"
"Tidah semudah itu, Orang Tua Brengsek!" ejek Pandan Wangi seraya mengegos sedikit ke samping.
Ujung tongkat itu luput dari sasaran. Tapi Ki Sabda Gendeng tidak berhenti sampai di situ. Tongkatnya berputar, membuat serangan berbentuk lingkaran yang langsung mengurung ruang gerak Pandan Wangi.
"Dengan jurus 'Kodok Menari di Terang Bulan Purnama' ini akan kubuat kau tak berkutik, Bocah!" ancam Ki Sabda Gendeng.
"Ini jurus tandingannya! 'Mengemplang Orang Tua Brengsek'!" kata Pandan Wangi asal-asalan menyebut jurusnya.
"Mana ada jurus seperti itu?!"
"Biar saja!"
Sementara mereka saling berkelahi. Jaka Tawang melompat turun. Dia bingung sendiri mau berbuat apa. Sama halnya Rangga.
Tapi tidak berapa lama, si Dewa Api dan dua kawannya yang tak lain si Tombak Maut dan Raksasa Hati Merah muncul di tempat itu. Juga bersama gadis berbaju ketat warna merah.
"Hm.... Kukira siapa? Rupanya tokoh-tokoh kelas atas telah berada di tempat ini!" kata si Dewa Api sambil menjura hormat pada Pendekar Rajawali Sakti serta yang lain.
Pertarungan antara Pandan Wangi dan Sabda Gendeng pun seketika terhenti.
"Kakang Rangga...! Oh, syukurlah kau baik-baik saja. Selama ini aku cemas memikirkan keadaanmu...!" seru Ratmi.
Gadis berbaju merah itu berlari mendapati Pendekar Rajawali Sakti, dan memeluknya dengan perasaan haru. Baginya mungkin hal itu tidak apa-apa. Tapi bagi Rangga, sungguh luar biasa! Apalagi Pandan Wangi!
"Kakang Rangga, singkirkan perempuan itu atau kuhajar dia?" bentak Pandan Wangi gregetan.
"Hmm!" Ratmi terkesiap dan memandang dingin pada Kipas Maut.
"Nisanak, apa maumu?! Kau boleh saja tak suka padaku. Tapi caramu itu kelewatan!" dengus Ratmi.
"Huh! Yang kelewatan itu kau atau aku?" tukas Pandan Wangi.
"Apa maumu sebenarnya?!"
"Enyahlah kau dari hadapannya!"
"Kau cemburu, bukan?" tebak Ratmi, sambil tersenyum mengejek.
"Ya. Aku memang cemburu!"
"Padahal kau tak berhak merasa cemburu. Apakah kau tidak malu pada dirimu sendiri? Kakang Rangga adalah kekasihku!"
"O, jadi dia kekasihmu, he?! Coba, ingin kudengar dari mulutnya!" desis Pandan Wangi, seraya memandang geram kepada Rangga.
"Katakan di depanku, Kakang Rangga! Apakah dia kekasihmu?!"
"Hehehe! Bocah galak, sekarang kau kena batunya!" ejek Ki Sabda Gendeng.
Tapi Pandan Wangi tak bergeming. Dia tak mau meladeni ejekan orang tua itu. Matanya menatap lurus ke depan, menanti jawaban Rangga.
"Pandan... Ini salah paham. Antara aku dan Ratmi tidak ada hubungan apa-apa. Dia kuanggap sebagai adikku."
"Kakang Rangga! Kau... kau...?!" Ratmi seperti terhenyak mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
"Ratmi... Seingatku aku belum pernah menganggapmu sebagai kekasihku...," kata Rangga hati-hati.
"Tapi bukankah dulu kau pernah menyinggungnya?" tukas Ratmi.
Rangga berpikir sebentar, lalu memandang tajam gadis itu.
"Mungkin aku lupa. Tapi coba tolong diingatkan," pinta Rangga.
"Kau katakan saat itu kalau kekasihmu cantik, galak, dan memiliki ilmu silat cukup hebat. Bukankah..., bukankah itu ditujukan padaku?!"
Rangga tersenyum.
"Ya! Aku ingat itu, Ratmi. Tapi bukan kutujukan padamu, melainkan pada Pandan Wangi. Sepintas lalu, kalian memiliki watak sama. Kau hebat. Dan dia pun hebat. Tapi bukan berarti aku menganggapmu sebagai kekasihku..." jelas Rangga, hati-hati.
"Ohh...!" Ratmi tidak kuasa menahan gejolak di hati. Wajahnya yang tadi termangu mendengar penjelasan pemuda itu, seperti sebuah gunung berapi yang siap memuntahkan lahar. Meledak dalam bentuk tangisan! Tidak kuasa dia menahannya. Maka sambil sesunggukan, ditinggalkannya tempat ini dengan berlari kencang.
Tidak ada yang bisa diperbuat Rangga untuk mencegahnya. Pemuda itu cuma memandang si Dewa Api dengan perasaan bersalah.
"Ki Pranajaya, maafkan. Aku sama sekali tidak bermaksud melukai perasaan putrimu. Percayalah.... Selama ini, aku tidak pernah menunjukkan sikap sebagai seorang kekasih. Malah dia kuanggap sebagai adikku sendiri...." ucap Rangga
''Ratmi memang keras kepala dan selalu mau menang sendiri," sahut laki-laki setengah baya itu lemah.
"Kenapa tidak disusul saja, Kang?" saran si Tombak Maut.
"Dia keras kepala, Lola Abang. Percuma saja membujuknya. Anak itu memang sulit diatur..." sahut Ki Pranajaya alias si Dewa Api masygul.
"Hmm... Kalau tidak salah, kisanak bertiga tengah berhadapan dengan musuh. Ke mana mereka sekarang?" tanya Rangga coba mengalihkan perhatian.
"Mereka telah kabur ketika Ki Sabda Gendeng berteriak," jelas Ki Lola Abang.
"Membawa seorang tawanan kami." timbal Raksasa Hati Merah.
"Siapa sebenarnya mereka?"
"Kami tengah menyelidiki kematian seorang sahabat kami, yaitu Ki Suwandana. Beliau tewas belum lama setelah melangsungkan pesta perkawinannya dengan seorang wanita di Desa Senggapring." jelas Ki Lola Abang.
"Desa Senggapring? Kami baru saja dari sana. Dan orang-orang itu mencurigai kami!" kata Rangga.
"Hm.... Agaknya mereka salah menuduh orang. Pembunuh sebenarnya telah kami tngkap. Namun sayang, kawan-kawannya menyusul dan berusaha membebaskannya ketika kami hendak membawanya kembali ke Desa Senggapring untuk membuktikan kalau dia bekerja pada seseorang."
"Jadi pembunuh itu tidak sendiri? Lantas kenapa mesti dibawa ke Desa Senggapring?"
"Menurutnya di sana dia bisa berjumpa dengan majikannya yang menyuruh membunuh Ki Suwandana"
Rangga mengangguk mengerti.
"Tapi kami telah mendapatkan titik terang siapa pembunuh itu. Dan sebentar lagi, dia akan kami tangkap!" timpal Ki Lola Abang.
"Huh! Aku sudah tidak sabar ingin memecahkan batok kepalanya!" dengus Ki Jatmika.
"Siapa sebenarnya orang itu?" tanya Rangga penasaran.
"Dewi Kencana, istrinya sendiri," sahut Ki Pranajaya.
"Hm ... Apa sebenarnya yang dicari wanita itu, sehingga tega membunuh suaminya sendiri?"
"Kekayaan. Agaknya hal itu bukan yang pertama kali. Mereka menumpuk kekayaan dengan satu maksud, yaitu menyewa tenaga-tenaga bayaran berilmu tinggi. Dan... Rangga! Kau akan kaget kalau mengetahui maksud mereka yang sesungguhnya!" jelas Ki Pranajaya.
"Melakukan keonaran dengan merebut kekuasaan raja yang sah?" duga Rangga.
"Hm, itu masih cukup bagus. Tapi ini lebih keterlaluan lagi."
"Aku tidak mengerti?"
"Mereka ingin melenyapkanmu!"
"Aku?!"
"Ya! Sebenarnya kaulah sasaran utama mereka. Kau menghadapi masalah sulit, Rangga."
Rangga terhenyak untuk beberapa saat. Dicobanya mengingat-ingat, siapa gerangan musuhnya yang mempunyai dendam begitu hebat sehingga memiliki rencana gila yang banyak mengorbankan orang lain?
"Rangga, kami menawarkan kerja sama padamu."
"Apa itu?
"Kita sama-sama menghadapi mereka."
"Ki Pranajaya.... Kurasa ini persoalan pribadi, meski aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Rasanya merepotkan kalau Kisanak ikut membantu...."
"Jangan salah! Ki Suwandana itu kawan baikku. Maka siapa pun pembunuhnya, mesti bertanggung jawab. Lagi pula..." Ki Pranajaya tak melanjutkan kata-katanya.
"Ada apa, Ki Pranajaya? Sepertinya ada yang hendak kau ceritakan."
"Aku tidak meragukan kehebatanmu. Tapi musuhmu bukan orang sembarangan. Lebih dari itu, dia memiliki jago-jago silat bayaran dalam jumlah banyak. Kau akan kerepotan kalau menghadapinya seorang diri. Itulah sebabnya, kutawarkan kerja sama. Saling membantu untuk kepentingan bersama. Karena, musuh kita ternyata orang yang sama."
Rangga berpikir beberapa saat.
"Baiklah. Langkah apa yang pertama kali mesti kita lakukan?'' tanya Pendekar Rajawali Sakti, setelah menyetujui.
"Kami tengah menunggu prajurit kerajaan tiba, untuk menggempur Desa Senggapring. Di sana kekuatan Dewi Kencana berada. Dan di sana pula berkumpul jago-jago silat bayarannya," jelas Ki Pranajaya.
"Berapa lama para prajurit itu akan tiba?" tanya Rangga.
"Menjelang fajar mereka akan tiba di sini. Jumlah mereka memang tidak banyak, karena yang kuminta untuk menggempur desa itu adalah para prajurit yang berada di beberapa kadipaten. Kita mesti bergerak cepat. Sebab kalau sedikit terlambat, maka para prajurit yang ada di Desa Senggapring akan mereka bunuh."
"Jadi di Desa Senggapring telah ada prajurit lainnya?"
"Mereka datang ke sana sebagai tamu. Dan saat kekacauan terjadi, mereka masih di sana. Berita ini mungkin tidak akan diketahui. Mereka tidak menyadari kalau musuh yang sebenarnya berada di depan mata."
"Sayang, Ki Sabda Gendeng agaknya tidak tertarik soal ini..." sesal Ki Lola Abang.
Kalau saja laki-laki setengah baya itu tidak menyinggung soal Ki Sabda Gendeng, mungkin Rangga tidak menyadari kalau Ki Sabda Gendeng dan muridnya telah meninggalkan tempat ini secara diam-diam.
"Orang tua itu memang sulit dimengerti."
"Apa kita akan menunggu semalaman di sini?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi berdiam diri.
"Kami telah berjanji pada para prajurit itu untuk menunggu di sini," jelas Ki Pranajaya.
"Kuharap kau bisa bersabar, Nisanak." lanjut Ki Lola Abang.
"Kisanak semua! Agaknya kita tak bisa berlama-lama di sini," kata Rangga.
"Apakah kau sudah tidak tidak sabaran?" tanya Ki Pranajaya.
"Bukan itu, Ki. Tapi tampaknya para pengejarku sebentar lagi tiba di sini. Seperti yang kuceritakan, orang-orang desa itu menyangka kalau kami pelaku pembunuhan terhadap Ki Suwandana. Mereka mengejar dalam jumlah yang cukup banyak. Dan aku mulai mendengar derap langkah kawanan hewan itu menuju ke sini," jelas Rangga.
"Hm, ini keadaan yang sulit bagi kita!"
"Kisanak semua! Saat ini lebih baik kita bersembunyi dan menghindar dulu dari mereka."
"Bagaimana kalau para prajurit itu muncul? Mereka akan diserang tiba-tiba. Dan..., akan jatuh korban banyak di pihak mereka." kata Ki Lola Abang cemas.
"Mereka datang untuk berperang. Maka sebelum mereka sampai di sini, kita akan menggempur para pengejarku. Salah seorang memberitahu para prajurit, sehingga mereka tidak salah membunuh orang. Ini juga kalau para pengejarku masih berada di sini. Tapi kalau mereka jalan terus, maka aku akan membuntutinya," kata Rangga.
"Biar aku yang akan membuntuti mereka!" cetus si Raksasa Hati Merah.
"Jangan, Jatmika. Biar aku saja," kata Ki Lola Abang.
Bukan tanpa alasan Ki Lola Abang berkata begitu. Ki Jatmika bukan jenis orang yang sabar, sedangkan membuntuti seseorang, dibutuhkan kesabaran. Tanpa kesabaran, mereka akan mudah kesal dan marah. Sifat yang terakhir itu ada pada Ki Jatmika. Ki Jatmika baru mau mengungkapkan ketidaksenangannya....
"Menyerahlah kalian kalau ingin selamat!"
"Hmm!"
Terdengar bentakan nyaring, membuat orang-orang itu tersentak kaget. Dan secepatnya mereka hendak bergerak bersembunyi.
"Tidak perlu kalian menyelamatkan diri. Tempat ini telah terkepung rapat!" teriak suara tadi.
"Hm.... Agaknya rencana kita tidak berjalan mulus, Rangga!" desah Ki Lola Abang.
"Ya. Kita tidak punya pilihan...."
"Huh! Akan kulumatkan mereka semua!" desis Ki Jatmika.
"Bersiaplah. Sebaiknya kita coba melawan dalam kegelapan. Untung, kalau kita selamat Tapi kekhawatiran juga ada. Takutnya, mereka terlatih bertarung dalam gelap." kata Rangga.
"Tapi bulan bersinar terang. Mereka pasti akan menemukan kita!" keluh Ki Lola Abang.
"Tempat ini dekat hutan. Kita bisa ke sana."
"Jangan berlama-lama lagi! Kita ke sana secepatnya!" ajak si Dewa Api.
Maka tanpa banyak bicara lagi, mereka menuju semak-semak serta pepohonan yang lebat untuk bertahan menghadapi serangan nanti.
"Habisi mereka...!" teriak suara itu kembali.
"Yeaaa...!"

***

189. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Berkubang DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang