BAGIAN 8

137 13 0
                                    

Tapi para penyerang pun tidak bodoh. Beberapa saat sebelum menyerang, terlihat beberapa bayang panah api menyala, melesat ke arah Rangga dan kawan-kawannya. Seketika lidah-lidah api dengan cepat membakar ranting-ranting kering. Sia-sia saja mereka berusaha memadamkannya, karena puluhan anak panah api yang lain segera menyusul cepat laksana derasnya air hujan.
"Itu mereka! Seraaang...!" teriak satu suara Memberi perintah.
Rangga dan yang lain tak bisa bersembunyi lagi. Suasana gelap kini berubah terang-benderang oleh nyala api yang membakar pepohonan.
"Heaaa...!" Si Raksasa Hati Merah lebih dulu menyambut serangan dengan ayunan gadanya. Baru kemudian disusul yang lain.
Trang! Trak!
Pertempuran pun berlangsung. Dari pihak penyerang, berusaha menghabisi lawan secepatnya. Sedangkan dari pihak yang diserang berusaha bertahan mati-matian.
"Kakang! Agaknya mereka bukan orang-orang sembarangan!" keluh Pandan Wangi.
"Ya. Aku mengerti, Pandan!"
Sring!
Pendekar Rajawab Sakti segera mencabut pedangnya yang bersinar biru berkilauan. Tubuhnya langsung berkelebat cepat membabat musuh yang berada di dekatnya.
Tras! Trak! Bret!
"Aaa...!"
Senjata Rangga memapas beberapa buah senjata pengeroyoknya. Dua orang berhasil menghindar. Namun salah seorang memekik ketika ujung pedang Rangga berhasil menebas perutnya.
"Hm itu bagianku! Menyingkirlah kalian!" dengus seorang berbaju serba hitam dan memakai topeng hitam pula. Orang berbaju serba hitam itu berdiri tegak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat terdengar suara yang dingin.
"Kudengar kau berilmu tinggi, Bocah. Bahkan seorang muridku tewas di tanganmu. Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu!"
Selesai berkata begitu, orang bertopeng ini langsung mengayunkan pedangnya yang tidak terlalu besar namun agak panjang. Kelihatannya rapuh. Namun sesungguhnya amat lentur dan kuat.
Bet! Trang!
"Hiih!" Rangga terpaksa meladeni permainan pedang lawan. Hampir saja dia terkejut, melihat senjata orang bertopeng itu berkelebat laksana kilat. Kalau tidak cepat melompat ke belakang, niscaya lehernya akan putus tersambar.
"Aku bersungguh-sungguh, Bocah! Jangan main-main denganku. Keluarkan semua kepandaianmu. Karena hari ini, akan kita tentukan siapa yang akan mati!" dengus orang bertopeng itu.
"Yeaaa!" Orang bertopeng itu kembali bergerak menyerang. Sambaran pedangnya cepat bagai kilat. Dan gerakan jubahnya lincah laksana seekor walet. Beberapa kali Rangga dibuat kebingungan. Sekali dia menangkis, maka berikutnya ujung pedang lawan nyaris merobek dada atau lehernya. Bahkan di lain kesempatan mengancam perut dan pinggangnya.
Trang! Trang!
"Ini jurus 'Badai Topan Melanda Bumi'!" dengus orang bertopeng, menyebutkan nama jurusnya.
"Aku seperti pernah mengenal nama jurus itu..." Ucapan Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika ujung pedang orang bertopeng itu meluruk ke dadanya. Untung dia melompat ke belakang untuk mengatur jarak.
"Ya...! Aku kenal! Kau adalah Raja Pedang Tanpa Tanding!" teriak Rangga.
"Hahaha...!" Orang bertopeng itu tak menyahut, melainkan tertawa lebar. Lalu diserangnya Pendekar Rajawali Sakti kembali.
"Huh!" Pendekar Rajawali Sakti menggeram. Pedangnya dikibaskan, lalu melompat ke depan memapaki serangan.
Trang! Wut! Sret!
Dua kali senjata mereka beradu, menimbulkan percik bunga api. Lalu disusul ujung pedang orang bertopeng menyambar ke leher. Cepat bagai kilat pemuda itu mencelat ke atas. Ujung pedangnya melesat ke muka.
Orang bertopeng itu terkesiap. Rasanya mata pedang Pendekar Rajawali Sakti bergerak dekat sekali ke sekelilingnya. Dan tahu-tahu baru disadari kalau penutup mukanya lepas. Kini terlihatlah wajah di balik selembar kain hitam itu. Seorang laki-laki tengah baya berkumis tipis yang tersenyum mengejek pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hahaha! Ternyata apa yang kudengar tidak semua bohong. Kau memang hebat, Bocah. Tapi bukan jaminan kalau bisa lolos dariku!" gertak laki-laki setengah baya ini.
"Di antara kita tidak ada saling permusuhan. Kenapa kau ingin membunuhku?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa itu yang kau tanyakan? Sebaiknya tanyakan dirimu sendiri, apakah kau bisa lolos dariku atau tidak?" Dan laki-laki berusia setengah baya bergelar Raja Pedang Tanpa Tanding kembali melesat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Hiih!" Mengetahui siapa lawan sebenarnya. Rangga tidak mau menganggap enteng. Maka langsung digunakan jurus lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' disertai permainan pedangnya.
Dengan jurus itu, mulai terlihat kalau Raja Pedang Tanpa Tanding kerepotan. Beberapa kali dia berusaha balas menyerang setiap kali terjadi benturan senjata, tapi selalu dikandaskan pertahanan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan dia sendiri yang terkejut mendapat serangan balasan lawan yang tiba-tiba, menusuk tajam tanpa diduga.
"Aaakh...!"
"Heh?!" Saat itu juga. Rangga terkejut ketika mendengar jeritan panjang di dekatnya. Pemuda itu mencelat ke belakang, untuk mengatur jarak dan melirik ke samping. Tampak si Raksasa Hati Merah ambruk bermandi darah. Kedua tangannya putus. Dan dari dadanya menyembur darah segar. Raksasa itu menggelepar-gelepar tak berdaya, seperti ayam disembelih.
"Terkutuk kalian!" Pedang Pendekar Rajawali Sakti kembali bergerak cepat memburu dua orang yang menghabisi laki-laki bertubuh raksasa itu. Namun Raja Pedang Tanpa Tanding secepat kilat memapak gerakannya.
Trang!
"Dia bukan lawanmu. Aku lawanmu!" dengus Raja Pedang Tanpa Tanding.
"Hiyaaa!" Rangga merangsek gemas. Pedangnya seketika meluruk beberapa kali dengan gencar. Dan sejauh itu Raja Pedang Tanpa Tanding meladeninya dengan tenang.
"Bagus! Kau mulai galak. Jadi aku akan melihat pertarungan yang sesungguhnya!" ejek Raja Pedang Tanpa Tanding.
Pendekar Rajawali Sakti tidak banyak omong. Yang ada di benaknya saat ini adalah, bagaimana melenyapkan musuh secepatnya. Hatinya tidak tenang melihat yang lainnya bertarung dengan lawan yang tidak seimbang.
Setelah kematian Ki Jatmika, yang lainnya memang sering mengeluh kesakitan. Apalagi kalau memikirkan keselamatan Pandan Wangi.
"Hehehe! Dasar bocah geblek. Ada pesta kenapa tidak bilang-bilang padaku?!" Mendadak terdengar satu suara lantang yang memenuhi tempat itu.
"Ki Sabda Gendeng...!" Rangga berseru girang ketika mengetahui siapa yang muncul.
Orang tua itu muncul bersama muridnya, Jaka Tawang. Kehadiran mereka seperti embun penyejuk yang melegakan tenggorokan kering.
"Hei, Setan Rompi Putih! Kau membohongi aku, ya?!" Kembali terdengar suara lantang lainnya.
"Hm, Ki Demong...!" seru Pendekar Rajawali Sakti girang.
"Sobat! Hari ini aku tidak sempat ramah-tamah denganmu. Kau lihat aku tengah repot! Kenapa malah berdiam diri?"
"Siapa sudi capek-capek berkeringat? Mending aku nonton! Seharian aku dikejar Nenek Penyihir itu gara-garamu!" umpat Ki Demong.
Orang tua berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul muncul bersama muridnya. Berbeda dengannya yang duduk di atas batu sambil menonton pertarungan seru itu, murid Ki Demong malah langsung turun ke arena pertarungan sambil mencabut clurit peraknya.
Rangga tidak berharap terlalu banyak kalau Ki Demong akan menolongnya. Watak orang tua itu ugal-ugalan. Dia tak bisa disuruh, apalagi dipaksa. Tapi dia yakin, kalau keadaan semakin bahaya pasti orang tua itu turun tangan. Bagaimanapun, Ki Demong bukan orang jahat dan tidak suka kawannya babar belur dipukuli lawan.
Pletak!
"Adaouuwww...!" Tengah enak-enaknya menenggak tuak, mendadak Ki Sabda Gendeng muncul di depan dan mengemplang kepala Ki Demong.
"Ngapain duduk di situ seperti tuan besar?!" bentak Ki Sabda Gendeng.
"Eh, kurang ajar! Dikira tikus eee..., tidak tahunya memang tikus betulan!" ejek Ki Demong.
"Sialan!" Ki Sabda Gendeng menggeram. Tongkat bambunya kembali mengemplang batok kepala Ki Demong. Tapi dua orang tua pemabuk itu tidak mau benjol dua kali. Tubuhnya dimiringkan, lalu mencelat ke belakang.
Ki Sabda Gendeng berbalik dan cepat mengejar. Tongkat bambunya kembali menghajar. Tapi Pemabuk Dari Gunung Kidul itu gesit sekali menghindar. Walhasil musuh yang berada di belakang Ki Demong yang kena hajar.
Bletak!
"Aaa...!" Kepala orang yang jadi sasaran kontan retak. Dia langsung ambruk dengan nyawa melayang. Itu membuktikan kalau pukulan Ki Sabda Gendeng bukan main kerasnya.
"Brengsek kau, Gendeng! Bisa modar aku kau kemplang!" omel Ki Demong. Sambil melompat ke belakang, Ki Demong menenggak tuak. Lalu disemburkannya ke arah Ki Sabda Gendeng.
"Rasakan jigongku...! Fruiihhh!"
"Huh! Jigong bau begitu siapa sudi menelannya!" ejek Ki Sabda Gendeng seraya berkelit ke samping.
Akibatnya sungguh hebat. Luncuran tuak yang disemburkan Ki Demong menghantam wajah dua orang berpakaian serba hitam. Keduanya menjerit kesakitan sambil bergulingan.
Semua itu tidak lepas dari perhatian Rangga. Disadari kalau kedua orang tua aneh itu tidak bermusuhan. Mereka malah berkawan akrab. Dan dengan cara itulah agaknya mereka menolong untuk menghajar musuh-musuhnya.
Kehadiran empat tokoh itu memang membantu sekali. Gebrakan mereka saja berhasil memakan korban yang cukup banyak. Dan ini membuat Dewa Api dan si Tombak Maut serta Pandan Wangi semakin bersemangat.
"Hehehe..! Lumayan juga kawan-kawanmu, Bocah. Tapi jumlah kami lebih banyak. Dan harus diingat, mereka bukan orang-orang sembarangan!" ejek Raja Pedang Tanpa Tanding.
Rangga menyadarinya. Maka dia tak banyak omong. Hanya pedangnya yang semakin gencar mencecar. Dan meski lawan berusaha memperbaiki sikap serta jurus-jurusnya, namun hal itu agak terlambat. Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada laki-laki setengah baya itu. Ujung pedangnya terus mengejar ke mana saja Raja Pedang Tanpa Tanding bergerak.
Trang! Trang! Sret!
"Uhh...!" Raja Pedang Tanpa Tanding mengeluh tertahan. Dalam keadaan terdesak, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil merobek bagian ketiak baju sebelah kiri dan melukai kulitnya sedikit. Meski sedikit, namun cukup menimbulkan hawa panas menyengat.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya berputar cepat dengan kaki kiri menyepak ke dada.
Begkh!
"Aakh...!" Raja Pedang Tanpa Tanding kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Kedua pipinya menggembung, menahan darah yang terkumpul di mulut. Tapi akhirnya jebol juga ketika dari perutnya bergerak-gerak menekan ke atas.
"Hoekhhh...!"
Rangga mengawasi dengan seksama, memberi kesempatan pada laki-laki itu untuk bersiap kembali.
"Heaaa...!"
"Hm." Keduanya berpaling, ketika mendengar teriakan panjang. Tampak lebih dari lima puluh pasukan berseragam dari kerajaan menyerbu tempat itu. Si Dewa Api dan si Tombak Maut berteriak memberi isyarat, sehingga para prajurit kerajaan tahu siapa lawan mereka.
Para prajurit kerajaan mungkin memiliki ilmu silat yang rata-rata rendah. Tapi kehadiran mereka dalam jumlah cukup banyak benar-benar mengejutkan pihak musuh. Dan kesempatan itu dipergunakan si Dewa Api serta yang lain untuk membabat mereka dengan cepat. Sehingga korban yang jatuh semakin banyak.
"Rangga! Kali ini kau beruntung karena adanya bantuan. Tapi di lain waktu, aku akan datang menyambangimu satu lawan satu. Saat itu, akan kita lihat siapa yang unggul!" kata Raja Pedang Tanpa Tanding seraya mencelat cepat dari tempat sambil bersuit nyaring.
Mendengar suitan, anak buah Raja Pedar Tanpa Tanding segera berlompatan dan kabur secepatnya dari tempat itu. Meski begitu, satu dua orang masih sempat dihajar Pandan Wangi dan Tombak Maut.
"Sudah! Sudah...! Aku sudah capek. Lagi pula, mereka sudah kabur. Jadi pertarungan kita kurang seru!" kata Ki Sabda Gendeng.
"Terserah kau saja...!" sahut Ki Demong. Pemabuk Dari Gunung Kidul baru saja hendak menenggak tuak ketika....
"Pemabuk edan! Awas kau...! Ke mana pun kau bersembunyi, pasti akan kukejar...!"
"Sial! Si Nenek Penyihir itu rupanya mengikuti aku ke sini!" rutuk Ki Demong.
Begitu terdengar bentakan lantang, tanpa pamit pada siapa pun Pemabuk Dari Gunung Kidul cepat-cepat kabur, disusul muridnya dari belakang.
"Guru, tunggu aku...!"
"Kurang ajar! Kenapa kau berteriak? Dia akan tahu di mana kita!"
"Oh, maaf! Aku tidak akan berteriak...!" seru Wisnupati dengan suara lantang.
"Dasar murid tolol!" umpat Ki Demong dari kejauhan.
Sementara melihat Ki Demong kabur. Ki Sabda Gendeng tenang-tenang saja. Malah dikeluarkannya papan catur seraya mendekati muridnya.
"Ayo, Jaka Tawang! Kau harus hadapi aku lagi! Kali ini kau pasti kalah!" ajak Ki Sabda Gendeng.
"Aduh, Guru! Aku lagi malas!" tolak Jaka Tawang.
"Brengsek! Hadapi aku atau kujitak kau?!"
"Dua-duanya tidak mau!"
"Kalau begitu, akan kutotok kau. Dan tidak akan kulepaskan selama dua hari dua malam"
Setelah berkata begitu, Ki Sabda Gendeng menjulurkan ujung tongkat bambunya. Tapi Jaka Tawang dengan cepat menangkis.
Tak!
"Eee..., berani melawan, ya?"
"Perjanjian kita akan main besok pagi. Tapi sekarang, belum pagi. Aku harus patuh pada perjanjian yang dibuat Guru!" kilah Jaka Tawang.
"Perjanjian itu kubuat, maka bisa pula kuhapus," dengus Ki Sabda Gendeng.
"Guru selalu menghukum kalau aku tidak mematuhi peraturan."
"Kali ini tidak!"
"Tidak!"
"Ayo main?!"
"Besok pagi!"
"Brengsek!"
Ki Sabda Gendeng mengayunkan tongkatnya, Tapi pemuda itu menghindar. Hal ini membuat orang tua itu kalap. Sementara Jaka Tawang sudah ambil jurus langkah seribu. Tapi gurunya terus mengejar.
"Setan cilik! Mau ke mana kau, he?! Akan kutotok kau lalu tidak kuberi makan."
"Biar! Berarti aku bebas tidak meladeni Guru main catur."
"Brengsek!" Ki Sabda Gendeng mengumpat-umpat dan terus mengejar muridnya sampai hilang dari pandangan orang-orang yang berada di tempat itu.
Rangga dan yang lain menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Rangga.... Pandan Wangi, aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan...," ucap Ki Pranajaya.
"Jangan merendah begitu, Ki. Mestinya aku yang berterima kasih atas bantuan yang berharga ini"
"Kau terlalu merendah. Hm! Aku berhasil menangkap salah seorang dari mereka hidup-hidup. Orang itu mengatakan, kalau pemimpin mereka sebenarnya bernama Anjani. Sedang Dewi Kencana yang nama aslinya Ambar, adalah sahabatnya. Mereka bekerjasama dengan baik. Dan yang terpenting, mereka mempunyai tujuan sama, yaitu membunuhmu! Apakah kini kau kenal mereka, Rangga?"
Rangga tertegun Ambar dan Anjani? Tentu saja Rangga kenal mereka. Ambar kekasih Kuntadewa, yang terbunuh olehnya. Sedangkan Anjani adik kandung pemuda itu. Tidak disangka, mereka begitu mendendam padanya demikian hebat.
"Kau sungguh-sungguh tidak kenal mereka, Kakang?" Pandan Wangi coba meyakinkan.
"Tidak...," sahut pemuda itu berbohong.
"Keduanya mungkin melarikan diri. Tapi dengan dendam yang dibawa, sewaktu-waktu keduanya akan mencarimu lagi."
"Ya...."
Pandan Wangi memandang Rangga berkali-kali. Dia curiga. Rangga tidak mengenal kedua gadis itu. Tapi kekasihnya itu selalu menjawab pendek setiap kali ditanya. Seperti enggan untuk bercerita padanya.
Dan sebenarnya, Rangga memang enggan. Karena hatinya khawatir akan menimbulkan kecemburuan pada diri Pandan Wangi. Urusan dengan Ratmi belum selesai, sudah akan bertambah dengan urusan lain!

***

TAMAT

189. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Berkubang DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang