BAGIAN 2

144 9 1
                                    

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih termangu di tepi telaga. Matanya menatap bayangannya sendiri di permukaan air yang jernih. Tapi tak lama bayangan wajahnya tersapu gelombang yang datang dari curahan air terjun berjarak lima belas langkah dari tempatnya duduk.
"Baaa...!" Tiba-tiba seorang gadis belia mengagetkannya dari belakang. Pemuda itu berbalik, dan pura-pura kaget. Sementara gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Rasakan! Makanya jangan suka bengong!" Pemuda itu tersenyum.
"Mikir apa sih, Kakang Rangga?"
"Tidak," elak pemuda itu.
"Aaah.... Ratna perhatikan dari tadi ngelamun terus di sini!"
"Masa'?"
"Iya! Hampir setengah harian. Apa sih yang dipikirkan?"
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang lalu memindang gadis belia di hadapannya.
Gadis bernama Ratna ini cantik. Tubuhnya agak bongsor, tapi kelakuannya seperti bocah usia sembilan tahun.
"Telah berapa lama Kakang berada di sini?" tanya Ratna.
"Mana kutahu!" sahut Rangga.
"Telah lama sekali. Kakang rindu hendak bepergian...."
"Kakang hendak pergi?" tanya Ratna dengan wajah muram.
"Tidak usah sedih, Ratna. Di sini toh, kau masih punya banyak kawan. Ada Paman Seda, ada kijang peliharaanmu. Lalu ada puluhan ekor merpati yang setiap saat menghiburmu...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu terdiam. Dan tiba-tiba saja dia kabur dari tempat itu disertai ledakan isak tangisnya. Masih terdengar suara isaknya yang membuat bingung Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa saat kemudian, tampak seorang wanita setengah baya memakai baju berwarna-warni terbuat dari sutera halus. Wajahnya cantik, namun dandanannya kelihatan aneh.
Wanita biasanya bangga dengan kecantikan yang dimiliki. Dengan demikian dia berusaha berhias sebaik mungkin agar kelihatan lebih cantik. Tapi tidak dengan wanita ini. Bibir merahnya saja acak-acakan. Ada yang melebar melebihi sudut-sudut bibirnya. Juga, melebar mendekati dagu dan lubang hibung. Mukanya putih dibaluri bedak tidak rata. Sepasang alisnya tebal saling bertautan. Rambutnya yang indah berwarna pirang, dibiarkan terlepas begitu saja. Menjela-jela sampai ke bawah pinggang.
"Aku tidak pernah memaksamu untuk kawin dengan Ratna Gumilang. Tapi jangan sakiti hatinya!" cerocos wanita itu, dingin.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan menjura hormat.
"Nyai Dukun Gila Berambut Pirang, harap jangan salah duga. Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati Ratna Gumilang...."
"Tapi kau buat dia menangis."
"Ini cuma salah paham...."
"Bocah! Luka dalammu telah kusembuhkan. Keadaanmu pun telah sehat. Maka kau boleh pergi sekarang juga!" bentak wanita aneh yang dipanggil Dukun Gila berambut Pirang.
"Nyai mengusirku?" tukas Rangga.
"Bukankah itu yang kau inginkan?"
"Nyai...."
"Pergilah!"
Rangga ingin menyahut, tapi terpenggal oleh hentakan wanita itu. Pendekar Rajawali Sakti menarik napas panjang. Dipandanginya Dukun Gila Berambut Pirang sejurus lamanya.
"Apalagi yang kau tunggu? Kau boleh angkat kaki sekarang juga!"
"Nyai.... Aku berhutang budi padamu atas pertolonganmu. Suatu saat budi baikmu ini akan kubalas. Terima kasih. Aku pergi dulu!"
Beberapa waktu tinggal di sini, Rangga telah paham adat wanita ini. Sekali tersinggung, dia akan marah bukan kepalang. Apalagi kalau ada yang terjadi pada putrinya yang semata wayang. Maka tidak peduli siapa pun orangnya akan menjadi sasaran marahnya. Rangga memakluminya. Dan dia tidak bisa berkata banyak. Wanita ini meski berwatak aneh, tapi tak dapat dipungkiri kalau dialah dewi penolongnya ketika mendapat luka dalam setelah bertarung melawan Kuntadewa (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Warisan Terkutuk).
Maka dengan langkah besar Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan tempat itu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, dan melihat wanita berambut pirang itu masih tegak berdiri di tempatnya semula dengan sorot mata mengawasi. Namun nun jauh di belakang wanita itu, dalam sebuah pohon, sepasang mata yang lain memperhatikan dengan perasaan kesal bercampur sedih.
"Maaf, Ratna. Aku pergi dulu...," desah Rangga pelan.
"Suatu saat bila ada umur panjang, kita akan bertemu kembali."
Lalu sekali lagi Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, dan melihat wanita itu masih mengawasinya. Rangga menarik napas, kemudian berkelebat cepat. Dalam sekejapan mata, tubuhnya telah melesat laksana sebatang anak panah. Dan dalam waktu singkat, dia telah jauh meninggalkan tempat lembah itu.
Menjelang sore hari, Pendekar Rajawali Sakti tiba di pinggiran sebuah desa yang tidak begitu ramai. Tapi saat ini, ada kejadian yang menyebabkan penduduk ramai-ramai keluar dari rumah. Mereka agaknya tengah menyaksikan tontonan seru. Seorang gadis tengah dikeroyok empat orang laki-laki. Dua orang berdiri mengawasi, sedangkan dua lainnya berusaha meringkusnya.
"Hmm! Kenapa lama sekali?" tanya salah seorang laki-laki yang berdiri mengawasi.
"Tenanglah, Senggarong. Gadis ini agak liar. Tapi tak lama lagi, dia pasti teringkus!"
"Kenapa kau menyusahkan dirimu, Jenggala? Bunuh saja dia!" sahut laki-laki yang dipanggil Senggarong.
"Hm, sayang sekali gadis secantiknya dibunuh. Alangkah baiknya kalau digarap lebih dulu!" cetus laki-laki lain yang tengah membantu meringkus gadis berbaju biru itu.
Laki-laki itu tersenyum-senyum kecil. Mukanya kelihatan culas dan sorot matanya menunjukkan kalau dia tergolong lelaki hidung belang.
"Dasar hidung belang kau, Katila!" umpat Senggarong.
Laki-laki bernama Katila tersenyum lebar. Lalu perhatiannya kembali terpusat pada gadis berbaju ketat berwarna biru.
"Lebih baik kau menyerah saja, Manis. Barangkali dengan begitu kami akan mengampunimu!" ujar laki-laki yang bernama Jenggala.
"Keparat! Dasar manusia rendah! Akan kutebas leher kalian semua!" dengus gadis berbaju biru ini.
"Hahaha...! Sayang sekali.... Meski dibantu sepuluh orang pun, kau tidak akan mampu mengalahkan kami!"
"Dia tak perlu dibantu sepuluh orang. Cukup aku sendiri!"
"Heh?!" Mereka yang berada di tempat itu seketika menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tegak berdiri di dekat pertarungan.
Untuk saat ini tak ada seorang pun yang berani menanggung akibatnya untuk mencampuri pertarungan itu. Bisa-bisa mereka dihajar babak belur. Tapi lain halnya dengan pemuda itu. Bukan saja tidak takut pada keempat laki-laki berbaju serba hitam itu, malah kelihatan menantang.
"Kakang Rangga...!" teriak gadis berbaju biru.
Wajah gadis ini kelihatan cerah berseri-seri. Dan dengan serta-merta dia menghambur. Langsung dipeluknya pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti. Ditumpahkannya perasaan terpendam yang selama ini mendesak-desak dalam dada.
"Pandan Wangi...," sebut Rangga.
"Kau tak apa-apa, Kakang?" tanya gadis berbaju biru yang ternyata Pandan Wangi. Dalam rimba persilatan, dia dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Seperti yang kau lihat, aku sehat-sehat saja."
"Ada yang mengatakan kalau kau telah tewas. Aku cemas, lalu menyusulmu," lapor Pandan Wangi manja.
"Rupanya Yang Maha Kuasa belum berkenan mencabut nyawaku...," sahut Pendekar Rajawali Sakti lembut.
"Hmm! Pertemuan yang indah. Tapi akan berakhir disini!" dengus Senggarong.
Kedua anak muda yang juga dikenal sebagai sepasang pendekar dari Karang Setra, seperti terjaga kalau di tempat ini bukan cuma ada mereka berdua. Serentak keduanya menoleh. Dan wajah Pandan Wangi pun kembali terlihat galak.
"Kakang! Katanya mereka mencari-carimu," lapor si Kipas Maut ini.
"Untuk urusan apa?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Membunuhmu!"
"Hmm!"
"Apakah kau kenal mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak," sahut Rangga, pendek.
"Lalu, apa urusannya?"
"Pandan, aku sendiri bingung..."
"Pendekar Rajawali Sakti! Terimalah kematianmu!" seru Senggarong.
Sring!
Seketika itu juga, Senggarong mencabut pedang panjang yang terselip di punggung.
"Kisanak! Aku tidak kenal kalian. Dan kurasa di antara kita tidak pernah ada urusan. Kenapa kalian tiba-tiba ingin membunuhku?"
"Kau tak perlu tahu. Cabutlah pedangmu. Dan pertahankan dirimu. Tunjukkan kehebatanmu yan selama ini digembar-gemborkan orang. Heaaa...!"
Agaknya Rangga tidak diberi kesempatan untuk mengorek keterangan secara panjang lebar, karena cepat sekali Senggarong lompat menerjang dengan pedang terhunus.
Wet! Wet!
"Heaaat...!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping, membuat serangan itu luput. Namun Senggarong berbalik cepat. Senjatanya kembali menyambar. Dan kali ini, batok kepala serta perut Rangga yang diincarnya.
"Hup!"
Bet!
Rangga cepat menjatuhkan diri. Lalu sambil bergulingan, sebelah kakinya menyodok keperut. Namun Senggarong telah mencelat ke atas sambil berputar. Begitu meluruk ditebasnya Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja bangkit.
Bet!
"Hup!" Namun Rangga lebih cepat melenting ke atas. Sehingga pedang Senggarong hanya menyambar angin kosong. Dan tiba-tiba Senggarong melanjutkan dengan tendangan geledek ke dada, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja mendarat.
Wut!
Sambil menggeser kakinya ke samping, Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan tangan kiri.
Plak!
Tap!
Begitu terjadi benturan tangan Rangga bergerak cepat, menangkap pergelangan kaki Senggarong.
"Hiih...!" Senggarong berputar. Dan kulitnya terasa licin hingga cekalan Pendekar Rajawali Sakti terlepas. Namun tak disangka-sangka Pendekar Rajawali Sakti berbalik sambil mengayunkan kaki kanannya.
Begkh!
"Aaakh...!" Tendangan Rangga tepat menghajar dada Senggarong hingga terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh tertahan.
"Biar kubantu!" ujar salah satu teman Senggarong yang sejak tadi berdiam diri.
Dan tanpa menunggu jawaban, orang itu langsung mencabut pedang. Seketika rubuhnya meluruk sambil menebas dengan cepat.
"Jangan sampai luput, Kudia!" teriak Senggarong seraya ikut membantu.
"Jangan khawatir! Tidak ada yang pernah lolos dari serangan kita berdua." sahut laki-laki yang dipanggil Kudia.
"Hmm!" Rangga mundur tiga langkah mengambil kuda-kuda. Dan tubuhnya langsung melejit ke samping, sambil mem-bungkuk menghindari tebasan senjata Kudia. Pada saat yang sama, pedang Senggarong berkelebat dari samping. Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencelat keatas menghindarinya.
"Bedebah licik! Apakah kalian hanya bisa main keroyok?! Kami pun bisa berbuat begitu!" teriak Pandan Wangi, seraya melompat hendak membantu Rangga.
Tapi dua laki-laki yang bernama Katila dan Jenggala tidak mendiamkan begitu saja. Mereka pun bergerak menghadang sambil menghunus senjata.
"Biarkan mereka menyelesaikan urusannya. Sedangkan urusanmu pada kami," kata Katila kalem.
"Setan! Mampuslah kalian...!" Bukan main geramnya Pandan Wangi melihat keadaan ini. Maka tanpa tanggung-tanggung lagi ia pun mengeluarkan dua senjata sekaligus Kipas Baja dan Pedang Naga Geni.
"Hiyaaat..!"
Seketika segera meluruk sambil membabatkan pedangnya. Sedikit saja si Kipas Maut menggeser kakinya, lalu mengebutkan kipasnya.
Trak!
Kipas Pandan Wangi menepis senjata Katila yang mengincar ke dada. Sementara laki-laki itu terkekeh. Serangannya berkesan kurang ajar karena hendak menyentuh dua bukit kembarnya. Dan itu membuat Pandan Wangi geram bukan main. Pada saat yang sama serangan senjata Jenggala datang dari samping. Cepat si Kipas Maut berputar seraya menangkis dengan pedangnya.
Trang!
Dan tiba-tiba Pandan Wangi melompat mengejar Katila. Pedangnya terhunus menyambar-nyambar leher.
"Yeaaat!"
Dari belakang pedang Jenggala berusaha menebas punggung gadis itu. Terpaksa Pandan Wangi membatalkan serangannya. Dan dengan gerakan segesit walet tubuhnya melejit ke atas menghindar. Pada saat itu, ujung pedang Katila meluruk, dan lagi-lagi mengincar bagian dada!
"Bangsat rendah, akan kubuntungi tanganmu itu!" teriak Pandan Wangi garang, seraya mengebutkan kipasnya, menangkis.
Trak!
"Boleh saja... Asal perlihatkan dulu tubuhmu yang mulus itu," sahut Katila, terkekeh-kekeh.
"Cuihhh! Bedebah busuk! Minggatlah kau ke neraka!" bentak si Kipas Maut
Dan kembali Pandan Wangi menyerang dengan mengerahkan segenap kepandaiannya. Tapi lagi-lagi usahanya selalu kandas dan dapat dipatahkan.
Katila dan Jenggala memang tidak bisa dianggap enteng. Selain memiliki ilmu pedang hebat, mereka pun memiliki gerakan gesit. Sehingga sulit bagi Pandan Wangi untuk menghajar mereka.
Demikian pula halnya Senggarong dan Kudia. Kedua orang ini bahkan memiliki kepandaian setingkat di atas kedua kawannya. Sehingga tidak heran kalau dalam waktu singkat saja Rangga terdesak hebat. Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat berbuat banyak menghadapi gempuran kedua bilah pedang yang menyerang cepat dan kompak.
"Hup!"
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang untuk mengatur jarak. Senggarong telah bersiap mengejar dengan pedang terhunus. Sementara Kudia melompat ke samping kanan untuk berjaga-jaga.
"Hmm!" Rangga merasa tak punya pilihan cepat tangan kanannya bergerak ke punggung.
Sring!
Ketimbang binasa, maka Pedang Pusaka Rajawali Sakti terpaksa keluar dari warangkanya. Seketika dari pedang itu memancarkan sinar biru berkilauan.
Senggarong dan Kudia bergumam pendek. Namun sorot mata mereka terlihat kaget, melihat batang pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bercahaya biru. Itu menunjukkan kalau pedang di tangan pemuda itu memiliki pamor dahsyat.
"Bagus! Akhirnya kau melawan juga. Ayo, perlihatkan ilmu pedangmu pada kami!'' dengus Senggarong, menutupi kekagetannya. "Heaaa...!"
Senggarong langsung meluruk, mengebutkan pedangnya. Maka saat itu juga, Pendekar Rajawab Sakti memutar pedangnya.
Trak!
"Heh?!" Kedua orang itu sama-sama terjajar beberapa langkah. Sementara Senggarong terkejut melihat pedang kebanggaannya rompal ketika beradu.
Sebaliknya Rangga pun memuji di dalam hati akan kehebatan pedang milik Senggarong. Meski kelihatan biasa saja, namun ternyata batang pedang itu terbuat dari baja pilihan. Tapi hal itu tidaklah menarik perhatiannya. Terbukti, Pendekar Rajawali Sakti langsung menebas dengan pedangnya.
Senggarong terkesiap. Namun tubuhnya cepati mencelat ke belakang. Dari belakang Pendekar Rajawali Sakti, Kudia menerjang hebat.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti mendengus dingin. Tubuhnya tiba-tiba membungkuk. Dan tanpa menoleh ke belakang, ujung pedangnya menusuk lurus ke belakang.
Blesss!
"Aaa...!" Kudia kontan memekik menyayat. Tubuhnya bergetar dengan mata mendelik lebar, ketika pedang Rangga menembus perutnya
Bruk!
Begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang seraya menggeser. Tubuh Kudia ambruk. Dari perutnya terlihat luka tusukan pedang yang memancurkan darah.
"Sengga... rong...," panggil Kudia lirih, lalu tak bersuara lagi. Mati!
Kejadian itu bukan saja mengejutkan Senggarong, tapi juga Jenggala dan Katila. Mereka bermaksud menyerang Rangga, namun Senggarong menahannya.
Dengan wajah muram, Senggarong menghampiri dan menggotong mayat kawannya. Lalu ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan tajam.
"Pendekar Rajawali Sakti! Untuk saat ini kau aman! Tapi urusan ini belum selesai. Kalau memang kau bukan pengecut, maka siap-siaplah menerima pembalasan kami!" desis Senggarong.
"Aku tidak bermusuhan dengan kalian. Tapi lawan datang tidak pernah kutolak. Kisanak, jangan khawatir. Aku tunggu kapan saja kalian siap, selama nyawaku masih melekat!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, mantap.
Maka tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera angkat kaki dari situ membawa mayat Kudia.

***

189. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Berkubang DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang