BAGIAN 3

120 10 0
                                    

"Kudamu kutemukan, Kakang..." kata Pandan Wangi seraya menunjuk kuda hitam bernama Dewa Bayu tertambat di dekat kuda putih miliknya.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum gembira. Sejenak Dewa Bayu diusap-usapnya, lalu naik ke punggungnya.
"Heaaa...!" Rangga menggebah Dewa Bayu, mengikuti Pandan Wangi yang telah lebih dulu menggebah. Kini kedua kuda itu melesat cepat, seperti ingin berlomba.
Setelah agak jauh, barulah mereka melambatkan kuda. Sementara waktu telah beranjak gelap. Hewan-hewan kembali ke sarang masing-masing. Dan angin bertiup lembut membawa udara dingin.
"Mestinya Kakang tidak melepaskan mereka," sesal Pandan Wangi.
"Mereka bersikap ksatria, Pandan. Aku harus menghormati sikap mereka," kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi mereka ingin membunuhmu! Buat apa menghormati segala? Apakah jika aku terbunuh. Mereka akan menghormatimu pula? Lagi pula mereka bermaksud kotor padaku, Kakang! Itu membuatku marah!" omel Pandan Wangi, jengkel.
"Hmm...!"
"Jangan cuma bergumam! Kau tidak boleh lemah pada orang-orang yang hendak membunuhmu! Belakangan ini, malah namamu terdengar semakin santer. Banyak orang yang mencari-cari untuk melenyapkan nyawamu. Sampai-sampai mereka menuduhmu pengecut karena selama beberapa waktu tidak terdengar kabar beritanya. Ada apa sebenarnya, Kakang? Dan... kenapa mesti bersembunyi? Apakah kau takut pada mereka?" cecar Pandan Wangi.
"Aku tidak bersembunyi, Pandan. Tapi tengah mengobati luka dalam yang kuderita. Dan..., aku tidak tahu-menahu ada orang-orang yang berkeliaran hendak membunuhku." jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Luka? Kakang terluka? Kenapa? Apakah kau bertemu musuh yang lebih tangguh? Bagaimana lukamu sekarang?" Suara Pandan Wangi kedengaran cemas. Demikian pula raut wajahnya.
"Aku tidak apa-apa, Pandan. Seseorang telah mengobati. Dia seorang tabib hebat," Rangga menegaskan.
"Bagaimana mulanya hingga Kakang mendapat luka seperti ini?"
"Aku bertarung dengan seseorang yang memiliki ilmu harimau. Sejenis ilmu 'Cindaku'. Dia bernama Kuntadewa. Aku terkena pukulannya sebelum dia tewas. Hhh..., Kalau saja saat itu Dukun Gila Berambut Pirang tidak menolongku, niscaya aku tak akan selamat. Dia merawatku selama beberapa minggu," jelas Rangga, singkat.
"Hmm...! Dukun Gila Berambut Pirang?" gumam Pandan Wangi.
Terasa kalau gadis itu merasa cemburu mendengar nama itu disebutkan. Belum lagi terbayang olehnya kejadian selama beberapa minggu, saat Rangga dirawat.
"Pandan... Dia seorang wanita setengah baya berwatak aneh," jelas Rangga lagi.
"Dandanannya pun seperti orang tak waras. Nanti kapan-kapan kalau bertemu dengannya akan kukenalkan."
Pandan Wangi tak menjawab. Tapi kelihatan kalau hatinya merasa lega mendengar jawaban Rangga tadi.
"Orang-orang yang hendak membunuhmu....Tidakkah Kakang bisa mengingat? Barangkali ada persoalan yang tidak beres sebelumnya?"
"Semua urusan yang kulakukan tidak akan tuntas. Mereka yang saudara atau keluarganya terbunuh, mungkin mendendam. Dan aku tidak merasa aneh kalau mereka menginginkan kematianku ..."
"Kau telah lama bertualang, Kakang. Kalau satu dua menemukan orang yang hendak membunuhmu, mungkin tidak aneh. Tapi dalam waktu singkat dan sekian banyak orang yang ingin membunuhmu, apakah hal itu tidak menarik perhatian?" tukas Pandan Wangi.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga.
"Aku kira ada yang mengatur semua ini," duga Pandan Wangi.
"Siapa?"
"Mana kutahu! Tidak setiap urusanmu aku mengetahuinya."
"Aku tidak bisa menebaknya satu persatu. Mereka yang keluarga atau saudaranya terbunuh di tanganku cukup banyak."
"Nah, itulah tugas kita. Mencari biang keladi semua ini!"
"Hoaaaah!" Rangga menguap panjang.
"Biarlah urusan itu ditunda dulu. Aku mengantuk sekali. Saat ini enaknya cari penginapan, lalu tidur sampai puas."
"Di dekat hutan begini mana ada penginapan!" cibir Pandan Wangi.
"Kau salah! Coba lihat di sebelah sana!" Rangga menunjuk ke sebelah kiri. Nun agak ke tengah hutan, terlihat cahaya obor.
"Aku yakin itu sebuah rumah. Kita ke sana sebentar, dan numpang menginap," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi Kakang... Aku curiga," kata si Kipas Maut setengah berbisik.
"Curiga kenapa? Paling-paling penghuninya penebang hutan. Itu kan biasa."
"Tapi Kakang...."
"Sudahlah. Kita ke sana, tapi tetap waspada."
"Baiklah."
Dengan hati-hati Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati pondok yang ditemukan di tengah hutan. Rangga menajamkan penglihatan serta pendengarannya. Namun sampai di depan pondok yang dituju, tidak terjadi apa-apa. Segera diketuknya pintu. Sementara Pandan Wangi berada di sebelahnya.
"Siapa?" sahut suara di dalam. Terdengar berat, seperti menahan kantuk.
"Kami dua orang pengembara yang tengah kemalaman. Kalau tidak keberatan, bolehkah kami menumpang menginap di sini?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
Tak ada jawaban, kecuali suara langkah terseret.
Krieeettt..!
Sebentar kemudian pintu terbuka. Tampak seraut wajah perempuan tua menyembul di balik pintu. Mukanya kelihatan masam. Rambutnya acak-acakan. Sorot matanya tajam memandang kedua anak muda itu. Dia lantas keluar, dan melangkah dua tindak.
"Bolehkah kami numpang menginap?" ulang Rangga seraya tersenyum.
Tapi sebelum perempuan tua itu sempat menjawab, dari dalam terdengar suara lain.
"Siapa, Nek?"
"Ada tamu...," sahut perempuan tua ini dengan suara serak.
Lalu seorang pemuda menyembulkan wajahnya. Sepasang matanya merah seperti baru bangun tidur. Wajahnya juga kelihatan dingin. Pemuda itu pun keluar, dan berhenti di belakang nenek ini. Tapi bukan karena itu yang membuat Pandan Wangi curiga. Melainkan karena melihat tangan kanan pemuda itu yang menggenggam sebilah kapak.
"Kakang... Ini pertanda tidak baik. Lagi pula, mereka tidak ramah...!" bisik Pandan Wangi.
"Ya. Kita pergi saja dari sini." sahut Rangga seraya menatap perempuan tua itu dan kembali tersenyum.
"Maaf telah mengganggu kalian. Kalau begitu kami pergi saja. Mungkin tak ada tempat bagi kami."
"Kalau kalian ingin menginap, masih ada tempat di sini." kata perempuan tua itu. Suaranya masih terdengar dingin dan tak bersahabat. Bibirnya sama sekali tidak menyunggingkan senyum.
"Silakan saja masuk. Kau bisa tidur denganku. Dan gadis itu tidur bersama nenekku. Atau barangkali sebaliknya." timpal pemuda di belakang perempuan tua itu. Seperti neneknya, dia juga kelihatan tidak ramah. Wajahnya kaku, tanpa senyum.
"Tidak. Terima kasih. Kami akan melanjutkan perjalanan saja," tolak Rangga, halus.
"Kalian telah berada di sini dan kuterima. Karena itu, maka kalian tak boleh pergi seenaknya. Jatikusumo! Ambilkan mainanku!" ujar nenek ini sembari mendengus geram.
"Baik, Nek!"
Pemuda bernama Jatikusumo segera beranjak. Tak lama, dia kembali membawa apa yang diminta neneknya. Apa yang disebut nenek itu sebagai mainan, ternyata sebuah kapak bermata dua yang cukup besar. Betul-betul tidak cocok dengan tubuhnya yang kurus dan terlihat ringkih.
Melihat gelagat itu. Rangga dan Pandan Wangi langsung menduga kalau sebentar lagi ada yang tak beres. Makanya mereka bersiap-siap dengan melangkah mundur dua tindak.
"Kau mau masuk dan menginap di sini atau tidak?!" bentak nenek ini.
"Kalau tidak, kepala kalian akan dipenggal nenekku!" timpal Jatikusumo.
"Diam kau, Jatikusumo!"
"Iya. Nek!"
"Ayo, cepat beri keputusan!" bentak nenek ini.
"Kakang... Aku mulai tidak suka hal ini," bisik Pandan Wangi geram.
"Aku juga," balas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kalian malah bisik-bisik, he?!" hardik nenek itu dengan mata melotot lebar.
"Maaf, Nek...."
"Aku bukan nenekmu!"
"Maaf. Nyisanak. Kami tidak bisa memenuhi permintaanmu."
"Kalau begitu kalian harus serahkan batok kepala masing-masing."
Habis berkata begitu, perempuan tua aneh ini langsung lompat sambil mengebutkan kapak. Senjata yang bergagang panjang dan bermata kapak lebar itu tampak seperti ringan sekali. Bahkan nenek ini hanya memegang dengan sebelah tangan.
Wuuuk!
"Uhh...!" Rangga membungkuk. Meski begitu, deru angin kelebatan senjata kapak sempat mengibas-ngibaskan rambutnya. Bukan hanya itu yang membuatnya kaget. Ternyata kaki kiri nenek ini tiba-tiba saja menyodok ke dada. Tidak ada waktu untuk menghindar, sehingga Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menangkisnya.
Plak!
Tangan kiri Rangga terasa linu ketika memapak tendangan. Itu menandakan kalau nenek itu memiliki tenaga dalam cukup hebat. Gerakannya gesit. Terbukti, kepalan kirinya tiba-tiba hampir memecahkan muka Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga mengegos ke kanan. Namun nenek itu langsung menyusuli serangan lewat ayunan kapak menyambar ke leher.
"Hup!" Rangga melejit ke atas dan jungkir balik beberapa kali. Begitu mendarat, Rangga kembali memasang kuda-kuda.
Sementara itu Pandan Wangi langsung melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebenarnya, siapa dia Kakang?" tanya Pandan Wangi geram.
"Melihat gerakannya aku baru ingat kalau dia adalah Pemenggal Kepala Bermuka Masam. Aku pernah dengar tentang tokoh itu. Dia sebenarnya tidak jahat. Hanya saja kelakuannya suka aneh...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Keanehannya yang bisa mencelakakan orang lain. Kelihatannya dia bersungguh-sungguh hendak membunuh kita! Baiknya jangan dikasih hati, Kang!" desis Pandan Wangi, geram.
"Jangan berbisik-bisik di depanku! Ayo, tentukan pilihan. Menginap di tempat ini, atau kupenggal kepala kalian?!"
"Kurasa tidak ada salahnya kita menuruti keinginannya, Pandan," cetus Rangga.
"Tidak!" tolak Pandan Wangi, tegas.
"Kurasa mereka tidak bermaksud buruk...."
"Mungkin saja. Tapi sekali kita masuk ke pondoknya, maka keinginan mereka akan macam-macam. Dan di saat itu, akan semakin sulit bagi kita untuk menolaknya," kilah Pandan Wangi dengan wajah kesal.
"Ya, kau benar."
"Kurang ajar! Kalau begitu kalian memang harus kupenggal!" desis perempuan tua berjuluk Pemenggal Kepala Bermuka Masam, geram.
"Nyisanak! Kau yang mulai, maka aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Terpaksa harus melindungi kepalaku," sahut Rangga enteng. Tapi sebelum mereka bergerak....
"Nek, lihat! Lihaaat!" Mendadak Jatikusumo berteriak-teriak ketika melihat cahaya api menyambar-nyambar ke arah mereka.
"Ada apa kau ini?!" bentak Pemenggal Kepala Bermuka Masam.
"Aku lihat seekor naga sedang kemari!"
"Dasar dungu! Mana ada naga di tempat ini."
"Aku lihat di sana!" tunjuk Jatikusumo.
"Dia tengah mempermainkan lidah apinya."
"Mana?"
Tapi pemuda itu tak bisa membuktikannya. Tempat yang baru saja ditunjuknya tidak ada apa-apa, selain kegelapan dan pepohonan yang diam membisu.
"Ta..., tadi dia di sana..." sahut Jatikusumo ragu.
"Dasar penakut! Tidak ada naga di tempat ini. Pemenggal Kepala Bermuka Masam kembali memalingkan muka, bermaksud mengejar ketika melihat Rangga dan Pandan Wangi mendadak berkelebat kabur. Agaknya kedua anak muda itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan sedikit pun. Langsung mereka menaiki kuda masing-masing dan menggebahnya.
"Kurang ajar...!" maki Pemenggal Kepala Bermuk Masam.
"Nek lihat...!" teriak Jatikusumo lagi.
Pemuda itu tidak hanya mengejutkan, tapi juga menarik sebelah lengan Pemenggal Kepala Bermuka Masam, sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah.
"Heh?!" Meski tidak terlalu jelas, tapi perempuan tua ini memang melihat sekilas sebuah nyala api agak panjang yang bergerak-gerak seperti mendekati mereka dari kejauhan.
"Betulkan kataku? Itu memang seekor naga! Aku takut, Nek! Naga itu nanti akan menelanku. Menelan kita! Oh, aku harus sembunyi! Ayo kita sembunyi, Nek...!" teriak Jatikusumo, sambil menarik-narik lengan Pemenggal Kepala Bermuka Masam untuk kembali ke pondok.
Cukup mengherankan, ternyata perempuan tua ini sama terbirit-biritnya dengan pemuda itu. Sekencang-kencangnya mereka berlari, lalu mengunci pintu pondok rapat-rapat.
"Hehehe...!" Sepeninggal mereka terdengar tawa mengekeh di tempat itu.
Dan pada saat itu Rangga dan Pandan Wangi sudah cukup jauh dari tempat itu. Mereka sama kali tidak menghentikan lari kudanya, karena belum merasa yakin kalau Pemenggal Kepala Bermuka Masam akan melepaskan begitu saja.
Namun setelah agak jauh dari hutan itu mendadak Rangga menarik tali kekang kudanya. Sepertinya dia teringat sesuatu. Tindakannya diikuti Pandan Wangi dengan kening berkerut.
"Tunggu, Pandan! Sepertinya aku kenal dengan...."
"Buat apa berlama-lama lagi, Kakang? Sudah. Lebih jauh dari dua orang sinting itu akan lebih bagus bagi kita!" potong si Kipas Maut.
"Ki Demong!" seru Rangga setelah mengingat-ingat sebentar.
"Siapa?"
"Ki Demong. Ya! Dia yang tadi mengalihkan perhatian nenek sinting itu."
"Huh!"
"Dia sahabatku, Pandan...."
"Terserahmu. Yang jelas, kita tak bisa berlama-lama di sini. Apa kau mau nenek sinting itu menemukan kita lagi di sini?"
"Baiklah. Kita lanjutkan perjalanan...."
"Hehehe...! Apakah kau akan meninggalkan seorang kawan begitu saja?" tanya satu suara dari kegelapan malam.
"Hmm! Sahabatku Ki Demong, keluarlah! Kami tengah membicarakanmu!" sahut Rangga, langsung mengenali suara itu.
"Hehehe...!"

***

189. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Berkubang DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang