5

170 31 5
                                    

"Jadi?"
Pria Kim membuka suara kala keduanya berdiri bersisian dengan masing-masing perut menempel pada kaca tebal yang memiliki fungsi sebagai pagar balkon apartemen Jungkook. Lebih tepatnya apartemen yang dibeli khusus oleh Taehyung untuk menjadi tempat tinggal Jungkook bersama putra kesayangannya.

Kerutan sebal pada dahi yang lebih muda tampak begitu kentara kala asap tembakau yang baru saja dihembuskan dari bibir Taehyung menyeruak memasuki paru-parunya. Ia beberapa kali mengibas tangannya untuk mengusir pergi asap-asap sialan yang menjadikan napasnya terasa lebih berat. Jungkook punya asma bawaan, keturunan dari sang ayah yang menjadikannya amat sangat sensitif terhadap asap-asap rokok.       "Sejak kapan merokok?"

"Oh, sorry."
Menyadari kelemahan pemuda dihadapannya, Taehyung sesegera mungkin menggerus bara api pada ujung gulungan tembakau dan membuang puntungnya dengan sentilan jemari asal.        "Tidak bermaksud."      Lanjutnya diiringi satu kekehan dengan rasa bersalah.

Maka pemuda Jeon mengangguk memaklumi.     "Kau stress?"      Tebakan yang ia yakini tidak keliru begitu menemukan pria dihadapannya tampak menegang tak mampu mengelak.       "Kenapa?"      Ia memajukan langkah mendekat. Mengulutkan sebelah tangan tanpa ragu untuk kemudian mendarat pada bahu kanan Taehyung dan mengusapnya pelan, berupaya menenangkan.

Sebagai respon, Taehyung tampak menghela napas berat dan kasar seraya menundukkan kepala beberapa saat.        "Entahlah. Akhir-akhir ini banyak hal yang kupikirkan."      Jeda sejenak, ia menatap Jungkook yang berdiri dihadapannya, tersenyum tulus seolah berkata bahwa ia akan memberikan bahu untuknya berbagi kelelahan ketika dirinya butuh sandaran.          "Perusahaan, orang tuaku, Joohyun, Junhyung, dan kau."

"Aku?"     Jungkook tidak ber-ekting ketika dirinya menunjukkan keterkejutan mendengar kalimat terakhir yang keluar dari bibir Taehyung.   

Maka pria Kim memberi anggukan ragu sebagai jawaban.      "Kau tahu, maksudku, kalian sudah hidup bersama bertahun-tahun, rasanya jahat sekali kalau tiba-tiba aku mengambilnya darimu begitu saja."

"Sejak kapan kau memikirkanku."       Pemuda Jeon terkekeh pelan ketika memberikan tanggapan.         "Lagipula, dia anakmu, Taehyung. Akan lebih jahat kalau kau meninggalkannya bersamaku dan hidup bahagia bersama keluarga barumu."        Ada jeda sejenak sebelum Jungkook kembali melanjutkan.         "Kudengar, keluarga Joohyun sudah menerima kehadiran Junhyung kan? Aku tidak sengaja mendengar obrolan kalian melalui Skype satu minggu lalu."

Taehyung yang semula bersandar lelah pada pembatas pagar balkon, tiba-tiba menegakkan tubuhnya untuk kemudian melingkarkan kedua lengan pada pinggang Jungkook. Mendekapnya erat seraya mendusalkan wajah pada perpotongan leher yang lebih muda. Menghirup aroma Jungkook yang membuatnya candu.          "Dan kau, akan sendirian."

Lagi, kekehan pelan keluar dari bibir Jungkook tanpa beban. Telapak tangannya tak henti bergerak memutar, mengusap punggung Taehyung pelan.       "Aku bisa kembali ke Busan. Nenek selalu menungguku pulang, kalau kau lupa."       Bohong, tentu saja. Jungkook tahu, berpisah dengan Junhyung tidak akan menjadi hal yang mudah. Ia merawatnya selama enam tahun, memeluknya saat tidur, mengajarinya cara makan dan menggunakan toilet dan banyak hal lain yang selalu dilakukan bersama. Rasanya seperti pincang hanya dengan membayangkan hari-harinya akan ia lalui tanpa ada Junhyung disisinya.       "Tugas terberatmu mendekatkan Junhyung pada calon istrimu. Sulit, Taehyung. Aku tidak pernah mengajarkan hal buruk, tatapi putramu sangat membenci Joohyun."


"Maaf."       Pria Kim menyahut dengan tidak begitu jelas. Suaranya teredam oleh bahu Jungkook yang tegak dan kokoh.       "Maaf sudah menyalahkanmu, pikiranku kacau sekali semalam. Maaf."

"Aku tahu, tidak masalah."         Bahunya sedikit nyeri dibebani kepala Taehyung yang kelelahan, akan tetapi ia tidak menghiraukan.        "Tetapi pikirkan ucapanku, Taehyung. Mendekatkan putramu dan calon istrimu adalah tanggung jawabmu."

Maka Taehyung mengangguk pasrah. Dadanya nyeri, bukan karena memikirkan Jungkook yang kesepian, akan tetapi memikirkan dirinya sendiri yang tak lagi punya alasan untuk datang ketika dirinya butuh sandaran.
Sebab baginya, Jungkook adalah heroin yang membuatnya kepayahan hidup dalam ketergantungan.





•••

To be continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Heartbeat  [kth+jjk]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang