1

464 54 2
                                    

"Jungkookie, kapan appa pulang?"

Pemuda yang dipanggil Jungkook lantas menoleh. Sejenak menghentikan aktifitas mencuci piring kotor sisa makan siang mereka berdua, sekadar tersenyum kearah bocah laki-laki yang menatapnya penuh harap.
"Rindu ayahmu?"
Bukan menjawab, Jungkook justru melontarkan kalimat tanya yang mana segera ditanggapi dengan anggukan dan gumaman kecil dari bocah tersebut.

"Sudah..."       Menjeda kalimatnya, bocah itu mengangkat tangan kiri dan menggerakkan satu persatu jemari sembari menghitungnya perlahan. Jari pertama, kedua, ketiga, dan berhenti tepat pada jari keempat. Lalu menoleh kembali kearah Jungkook yang kembali sibuk merampungkan aktifitas mencuci piring.           "...empat bulan, Jungkookie. Aku tidak bertemu appa empat bulan ternyata."         Menghembuskan napas panjang yang dramatis sekali. Menjadikan Jungkook mendengus geli dari tempatnya berdiri.            "Pantas aku kangen sekali. Setiap malam aku selalu mimpi appa pulang saat aku tidur, lalu menciumi pipiku sampai aku bangun."

Maka begitu seluruh aktivitasnya selesai, Jungkook segera meraih kain bersih untuk mengeringkan kedua tangan, kemudian menggantungkannya kembali ditempat semula, disisi kulkas. Kedua kakinya melangkah pelan menuju bocah usia enam yang duduk dengan kepala menunduk, bukan meratapi kerinduan pada sang ayah, melainkan mengerahkan seluruh fokus untuk gambar yang harus diwarnai karena besok pagi adalah hari terakhir para siswa mengumpulkan tugasnya.

Diam-diam, Jungkook mengirim pesan pada ayah bocah tersebut perihal rengekan tanpa henti mengenai kerinduan pada sang ayah. Lantas ponsel berdering hanya selang beberapa detik setelah pesan terkirim, Jungkook menekan tombol answer untuk menjawab panggilan. Hingga panggilan itu dimatikan secara sepihak, Jungkook hanya menjawab oke dan menyaku ponselnya. Sebelumnya ia sempat mengecek pesan masuk, dan baru menyadari bahwa tidak ada notifikasi dari bank yang biasa ia terima di awal bulan. Itu artinya, ayah dari bocah itu akan pulang diakhir bulan dan menyerahkan upahnya secara langsung.

"Junhyung ah,"        Bocah itu menggumam tanpa mengalihkan perhatian dari kertas bergambar yang tengah diperindah oleh jemarinya.         "Sabtu malam ayahmu pulang."      Jungkook melontarkan satu kalimat yang nyatanya mampu merenggut seluruh atensi bocah itu dari buku gambar.

"Really?"         Kedua matanya tampak berbinar bahagia ketika menatap Jungkook yang tersenyum kearahnya.

"Ayah bilang, hari minggu akan membawamu bersenang-senang di Lotte world seharian."       Timpalnya.

Senyum bocah itu melebar, sebelah tangan terangkat refleks dengan tiga jari tengah teracung semangat.      "Bertiga?"          Yang mana segera dihadiahi anggukan setuju oleh Jungkook yang kini mengusap halus rambutnya.             "Aku, kau dan appa? Yay!"

Maka senyum dibibir Jungkook perlahan meluntur. Bingung. Bagaimana cara meluruskan kesalahpahaman Junhyung tanpa harus menyakiti hati bocah tersebut.                   "Junhyung ah, bukan denganku."       Ucapnya hati-hati.
Namun pada detik berikutnya Jungkook justru menyesal luar biasa telah merampas kegembiraan bocah tersebut.

Kedua alis menukik marah dengan dua duplikat hazel yang menatapnya tajam.             "Jadi, maksudmu bertiga dengan Joohyun?"         Jungkook mengangguk kecil sebagai tanggapan seraya mengantisipasi apabila bocah itu menangis dan mengamuk seperti biasa jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Namun kali ini ia dibuat terperangah, ketika Junhyung justru melangkah kearahnya, duduk diatas pahanya yang bersila dan menghadap wajahnya.             "Jungkookie, aku tidak mau ke Lotte world."

"Kenapa?"

"Tidak suka."         Suara bocah itu terdengar lesu dan tidak bersemangat ketika menjawab pertanyaan Jungkook. Menjadikan Jungkook mengernyit tidak mengerti. Sebab seingatnya Junhyung selalu menceritakan keinginannya menghabiskan hari libur di Lotte world ketika ayahnya pulang.

"Tidak suka Lotte world?"           Bocah itu menggeleng pelan.           "Lalu?"

"Tidak suka Joohyun."

Jungkook hanya menggumam ohh dan mengusap bahu kecil Junhyung ketika bocah itu melingkarkan lengan dilehernya sembari menyandarkan kepala dibahu kokohnya. Sebab ia tau, sebanyak apapun usaha wanita mengambil hati Junhyung, sebanyak itu pula usaha Junhyung mendorong wanita itu keluar dari hidupnya. Jungkook tidak tau kenapa.
"Junhyung ah,"       Bocah itu menggumam didepan telinganya.        "Kenapa tidak suka Joohyun, setahuku, dia selalu memperlakukanmu dengan baik kan?"          Lalu gumaman pelan lagi yang Jungkook dapat sebagai balasan.           "Lalu?"

"Kau jangan tertipu. Joohyun itu jahat."         Segera, Jungkook menarik tubuh bocah itu dari pelukannya. Jahat? Seketika isi kepalanya kacau membayangkan kejahatan macam apa yang wanita itu tunjukkan pada Junhyung hingga bocah yang ia kenal polos itu berkata demikian.

"Apa, apa dia menyakitimu? Joohyun melukaimu saat ayahmu membawamu pulang bersamanya?"          Apakah Joohyun pelaku abusive? Setidaknya itulah yang ada dalam fikiran Jungkook saat ini. Membuatnya nyaris marah apabila bocah itu tidak segera menggeleng cepat. Mengonfirmasi bahwa kekhawatiran Jungkook tidak benar.              "Lalu?"       Lanjutnya.


"Dia ingin mengambil appa dari kita, Jungkookie."

Setelahnya, Jungkook mengembuskan napas lega. Lain kali ia akan menjelaskan lagi mengenai calon ibu tirinya. Untuk saat ini, ia hanya perlu memeluk Junhyung sebelum saat itu tiba. Saat dimana ia harus merelakan Kim Junhyung, bocah laki-laki usia enam yang ia rawat sejak hari ketiga kelahirannya untuk kembali pada orang tuanya.

Kim Taehyung ayahnya dan Bae Joohyun yang akan menjadi ibu tirinya.















To be continued

Heartbeat  [kth+jjk]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang