2

288 48 4
                                    

"Jungkookie?"

Pemuda itu menggumam sebagai jawaban. Matanya tampak fokus pada layar laptop berisi deretan kalimat yang ia rangkai sedemikian rupa setiap kali ide cemerlang menghampirinya. Jeon Jungkook adalah novelis muda dengan karya yang selalu menjadi best seller dipasaran. Ia bahkan sudah mencetak tujuh belas judul dalam kurun waktu lima tahun.

"Jungkookie, bisa bilang ke appa tidak?"

"Bilang apa?"        Menolehkan kepala kebawah, dimana bocah laki-laki itu duduk disebelah kakinya. Mendongak menatapnya penuh harap.

"Bilang ke appa, pulangnya sendiri saja. Jangan ajak Joohyun."

Jungkook lantas terkekeh samar. Obrolan ini lagi. Memang sejauh yang ia tahu, Junhyung tidak menyukai Joohyun sejak pertama kali Taehyung memperkenalkan keduanya. Entah karena apa, sebab yang Jungkook tahu, Joohyun pun tampak sayang dan perhatian pada calon bocah manis itu.
"Bagaimana bisa, dia kan calon ibumu."

Setelahnya, terdengar hembus napas putus asa keluar dari belah bibir bocah itu.        "Jungkookie, kenapa tidak kau saja yang menjadi ibuku?"

Maka tawa Jungkook pecah setelahnya. Tangan kirinya terulur mengusap halus surai kelam Junhyung penuh afeksi.          "Tidak bisa, Junhyung."

"Kenapa?"

"Hanya seorang perempuan yang bisa menjadi ibu."

"Kenapa?"

"Karena ibu yang bisa mengandung dan melahirkan putranya. Lalu merawat dan mendidiknya hingga dewasa."

"Tapi Joohyun tidak melahirkanku! Bagaimana bisa dia menjadi ibuku?!"

"Dia akan merawatmu dan membesarkanmu nanti."

"Nanti? Sekarang kau yang merawatku kan? Appa bilang kau merawatku dari bayi. Kalau tidak ada kau, aku sudah mati dimakan koloni semut. Iya kan?"          Tandas Junhyung berapi-api.       "Kenapa tidak kau saja yang menjadi ibuku?!"

Hati Jungkook mencelos mendengar titah Junhyung yang tidak pernah sedikitpun ada dalam benaknya. Bagaimana bisa bocah usia enam bicara seperti itu.
"Junhyung ah,"

"Jungkookie, mau ya jadi ibuku?"

Pemuda itu hanya mampu menenggak liur susah payah. Permintaan Junhyung terdengar sangat tidak masuk akal baginya, akan tetapi untuk menolakpun terasa berat. Tidak sampai hati melihat bocah yang dibesarkan sakit hati karena ucapannya.
"Junhyung, dengar,"        Jeda, Jungkook membungkuk untuk mensejajarkan wajah dengan sibocah laki-laki dihadapannya.         "Kau tidak bisa memaksa sesuatu yang memang tidak bisa dan tidak harus dilakukan. Tidak sembarang orang bisa menjadi ibumu. Yang pertama sudah kujelaskan diawal, ingat?"        Bocah itu mengangguk paham sebagai jawaban.            "Yang kedua, seseorang yang harus menikah dengan ayahmu."

"Kalau begitu kau menikah saja dengan appa. Ya, Jungkookie, mau ya, nanti biar aku yang bilang ke appa."

Jungkook memejamkan mata frustasi. Tidak tau lagi harus menjelaskan seperti apa lagi supaya bocah paham kemana arah pembicaraannya.

"Junhyung, ayo tidur, sudah malam. Kau harus bangun pagi-pagi sekali, kau sudah berjanji akan menjemput ayahmu dibandara, ingat?"


Bocah itu mengangguk malas.       "Tapi kau harus menikah dengan appa, ya."

Menghembus napas lelah, Jungkook mengangguk pasrah.        "Iya."

"Janji?"       Jari kelingking mungil diulurkan kearah Jungkook untuk mengikat sebuah perjanjian. Yang mana segera dibalas dengan lilitan jari kelingking yang lebih besar sebagai tanda persetujuan.

"Iya, janji. Sekarang tidur."

"Aye kapten!"

Tiada hal yang mampu membuat hati Jungkook menghangat selain senyum kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah Junhyung. Bahkan, meski secara biologis dirinya bukan siapa-siapa, namun ikatan batin keduanya terjerat begitu erat.
Terkadang ia memikirkan, apa posisi Junhyung dihidupnya, putranya, atau adik kecilnya? Ia tidak pernah menemukan jawabannya.
Yang ia tahu hanyalah Junhyung sangat berharga baginya. Selama hampir enam tahun ia rela mengorbankan cita-citanya, mengerahkan seluruh waktu dan tenaga, mencurahkan seluruh kasih sayangnya untuk si bayi merah yang kala itu belum mampu membuka mata hingga kini pandai bicara.

Junhyung adalah mataharinya. Malaikat kecil yang selalu memberi cahaya ketika dirinya terjebak dalam kesulitan orang dewasa.

Hingga ia tak mampu, terlaku takut sekedar untuk membayangkan perpisahan yang bahkan sudah didepan mata. Sebab meski ia berteriak, mengatakan bahwa ia menyayangi Junhyung melebihi rasa sayang pada dirinya sendiri, tidak akan berguna ketika yang memiliki hak memintanya untuk menyerahkan kembali saat waktu itu tiba.


Apakah Jungkook dapat hidup dengan baik tanpa mataharinya?








To be continued

Heartbeat  [kth+jjk]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang