Dari balik selimut hangat beraroma floral, kau masih mendengar sayup-sayup rintik hujan di luar sana. Entah mengapa hujan belum juga reda padahal jika dipikir-pikir bulan ini masih dipertengahan tahun. Saat kau memutuskan untuk lekas tidur, kau mendengar derap langkah seseorang masuk ke dalam kamarmu seusai mengetuk pintu."Anna, sudah tidur, Sayang?"
Suara lelaki itu tiba-tiba membuatmu ingin langsung terlelap. Bukan, bukan karena suaranya yang mendayu bak nyanyian penghantar tidur. Itu karena kau sangat ingin menghindari pembicaraan dengannya.
"Anna, maafkan aku."
Dia bersuara kembali, dan entah dorongan dari mana. Kau memutuskan untuk mengabaikan semua kata yang keluar darinya malam itu.
Kau berusaha mati-matian untuk mengabaikannya, sampai akhirnya kau benar-benar terlelap dalam tidurmu.
Ketika pagi hari datang, kau merasakan kepalamu sangat pusing dan berkunang-kunang. Kau tidak mengingat kapan Jung Kook pergi dari kamarmu malam tadi. Tapi kau masih mengingat kebodohanmu. Kau membiarkan Jung Kook merengkuh tubuhmu alih-alih berbaring di belakangmu.
"Selamat pagi."
Sementara sinar mentari pagi ini sangat terik dari biasanya, kau juga harus melihat senyum lelaki itu yang tampak polos dengan binar mata bulatnya. Sama-sama terik dan tak tahu diri. Bedanya, matahari terik setelah semalaman hujan, dan Jung Kook tersenyum terik seakan lupa apa yang masih membuat hatimu kesal.
Kau melangkah mengabaikannya dan mengunci kamarmu, dan merogoh saku saat mendapati benda yang kau simpan di dalamnya bergetar.
Tae.
Nama itu tertera di pup up layar. Benar, semalam kau tak jadi menginap di rumahnya. Kau menyakinkan Tae. Jika kau akan kembali ke rumah dan langsung membuat keputusan. Sudah saatnya kau harus mengakhiri hubunganmu. Meski awalnya mengumpat padamu dan melarangmu kembali pulang ke rumah, akhirnya lelaki itu mengalah setelah kau bujuk untuk traktiran akhir minggu ini—sebenarnya dia tidak peduli tentang traktiran.
"Na, aku buat omelet kesukaanmu. Duduklah. Kau mau sereal juga? Atau susu saja? Ice cream nya ada di kulkas."
Dia sudah menarik tanganmu dan menggiringmu untuk duduk di kursi makan. Dari jendela dapur yang terbuka, langit tampak benar-benar cerah. Tanaman Sekulen di pot-pot kecil yang kau beli dua bulan lalu juga masih tampak hidup dan berderet di jendela. Padahal akhir-akhir ini kau jarang menyirami mereka. Mungkin Jung Kook yang melakukannya.
"Bagaimana kuliahmu? Minggu lalu kau bilang mau ambil cuti. Apa jadi? Skripsimu bagaimana?" Jung Kook bertanya sementara kau sama sekali tak berniat menjawab. Kau memindai tiap gerakan pria itu yang kini tengah meletakkan piring dengan omelet yang dimaksudnya tadi.Dulu, kau akan senang saat Jung Kook membuatkan makanan itu. Tiap pagi, namun sekarang kau justru ingin membuang makanan itu ke tong sampah. Meski pada akhirnya kau tak benar-benar melakukannya.
"Jung."
"Ehm."
Kau lihat dia duduk di seberang, senyumnya masih terik. Dan melihat caranya makan, kau tiba-tiba kenyang.
"Kita jual rumah ini."
Saat itu dia berhenti mengunyah, mungkin roti yang sedang berada di mulutnya tertelan bulat-bulat sebelum hancur. Saat kau melihat matanya, hatimu bergetar hebat. Bagaimana bisa tatapan polos mata besar itu ternyata tengah menyembunyikan kebohongan di belakangmu.
"Kenapa?" tanyanya.
Mulutmu mengatub dan terasa kebas. Kau menatap kuku-kuku di jarimu di atas meja. Sementara dia masih terdiam lama menunggu jawabanmu.
"Aku tidak akan tinggal di sini lagi," katamu. Berusaha tegar. Dia masih terdiam beberapa detik. Namun saat kau melihat tangannya mengambil gelas berisi susu lalu meminumnya, dia memberi jawaban paling brengsek yang pernah kudengar.
"Oke."
Kau pikir Jung Kook akan mencercamu dengan berbagai pertanyaan seperti alasan kenapa kau ingin menjual rumah kalian. Kau pikir, lelaki itu akan memohon padamu tentang banyak hal. Namun saat dia berdiri dan mengangkat piring di depanmu yang belum sempat kau sentuh sama sekali itu lalu membuang isinya ke tong sampah. Kau baru tahu jika lelaki itu memang bukan Jung Kook yang kau kenal.
Punggungnya pagi itu berubah menjadi dingin. Terasa sangat tinggi seolah-olah tak bisa kau gapai. Kau tak bersuara lagi, tak mengatakan kata perpisahan yang lebih layak. Namun pagi itu Jung Kook berkata.
"Aku akan menjualnya di forum. Jika sudah ada pembeli, aku akan menyuruhnya menghubungimu."
Kalimatnya sama sekali tak membuatmu lega. Alih-alih mengucapkan kata putus, Jung Kook berlalu begitu saja. Masuk di kamarnya tanpa menghiraukan kau yang terpaku di kursimu.
Drt.
Drt.
Jika getar itu tak terdengar mungkin kau akan mati dalam keterdiaman panjang.
Semua pesan Jia sama sekali tak kau balas. Kau memilih mematikan ponselmu dan beranjak pergi pagi itu. Sementara isi kepalamu sangat bising, hatimu justru terasa sepi dan hampa.
—
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Talk Anymore ✓
Fanfiction❝Saat kau memutuskan menjadi selingkuhannya empat tahun lalu, bukan berarti kau akan menjadi yang terakhir untuknya.❞ -- Kita tak lagi saling bicara ataupun melihat sejak hari itu. Kita tak tahu kenapa waktu membiarkan hubungan ini semakin menyedihk...