Ⓕⓘⓚⓢⓘ
Dari ambang pintu, kau mendengar suara kekasihmu yang terus memanggil namamu. Namun alih-alih menjawab, kau justru menutup pintu rumah kalian setelah menghela napas berat. Menghadapi pria itu membuat tubuh dan perasaanmu benar-benar lelah.
Untuk sampai di detik ini, kau berusaha mati-matian untuk menghindar darinya. Bahkan hanya untuk menatap matanya yang bulat seperti kelinci saja kau harus mengesampingkan amarahmu. Kau bersumpah untuk tidak lagi peduli tentangnya. Padahal dulu kau adalah orang yang selalu ingin tahu apa yang dia lakukan sepanjang hari. Kau bahkan rela mengikutinya kemanapun di saat tugas kuliahmu menumpuk. Kau segila itu mencintai pria itu sampai kau rela membuang semua uang tabunganmu—yang kau kumpulkan dari hasil kerja paruh waktu—untuk membeli rumah dan tinggal dengannya alih-alih memperpanjang kos-an.
“Anna.”
“Annaya!”
Kau menoleh malas saat tangannya menyentuh lenganmu dan berhasil membuatmu berbalik memandangnya.
Dulu, saat dia mendekatimu dengan cara ini, kau nyaris kehilangan alat pemompa darahmu. Jantungmu berdetak tak karuan dan pipimu akan memanas malu. Tapi saat ini, meski sentuhan tangannya di lenganmu tak berubah kau sama sekali tak merasakan hal-hal seperti dulu.
“Aku memanggilmu kenapa kau tak berhenti?”
Lagi-lagi kau mendengar suara lembutnya yang biasanya disetiap penghujung malam kerap menemanimu dengan petikan gitarnya. Tapi saat ini, kau merasa sekujur tubuhmu dijalari rasa perih. Kenangan manis seperti itu tiba-tiba membuatmu mual. Dan akhirnya kau menatap matanya setelah mencoba menghindar hari ini.
“Aku tidak dengar.” katamu pelan. Itulah mengapa kau benar-benar ingin pergi saat ada dia. Kau merasa hanya dengan menatap hazle indahnya itu, kau bisa dengan mudah terlena. Amarah yang sempat melambungkanmu secara tiba-tiba akan terperosok ke dasar bumi. Hanya dengan mendapati tangannya menggenggam dan mengecup jemarimu saja kau bisa meleleh seperti permen kapas yang tertiup angin. Seperti saat ini. Jika tidak segera pergi dari rumah, mungkin kau diam-diam akan memaafkannya sebelum dia meminta maaf.
“Aku mau pergi,” katamu memilih mengalah. Melepas tautan jemarinya.
“Kau mau ke mana? Sudah malam.”
Jung Kook masih mencoba menghentikanmu, meraih tanganmu dan kau mau tidak mau menatap matanya.
Jung Kook menggenggam tanganmu dengan tangan yang ia gunakan untuk menggenggam tangan wanita lain yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatmu sendiri.
Awalnya kau tak peduli dengan dirinya yang mulai aneh pada dirimu akhir-akhir ini. Kau tak peduli saat Jung Kook mulai berbeda dari biasanya. Kau tak pernah berpikir kotor tentangnya karena kau berikan segala kepercayaanmu pada pria itu. Tapi sekarang. Kau benar-benar ingin menyudahi semua.
Kau tak mempermasalahkan jika dia tak lagi semanis dulu. Tapi ini persoalan yang tak bisa membuatmu tetap tenang setenang hari-hari yang telah berlalu. Kau tak bisa lagi memaklumi setiap alasan yang dilakukannya.
Jung Kook, menjalin hubungan dengan sahabatmu sendiri dan dia tak pernah mengatakan hal itu padamu meski kalian sama-sama tahu jika hubungan kalian begitu buruk akhir-akhir ini. Sialnya, Jung Kook tak bicara tentang kalian yang harus mengakhiri hubungan ini. Dia membiarkanmu bertahan di sisinya. Dan kau juga gila karena masih mau memberi lelaki itu kesempatan sampai saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Talk Anymore ✓
Fanfiction❝Saat kau memutuskan menjadi selingkuhannya empat tahun lalu, bukan berarti kau akan menjadi yang terakhir untuknya.❞ -- Kita tak lagi saling bicara ataupun melihat sejak hari itu. Kita tak tahu kenapa waktu membiarkan hubungan ini semakin menyedihk...